Apa yang harusnya kita lakukan saat orang lain mencelakai kita? Jawaban Yesus sangatlah radikal. Posisi Yesus tidak hanya jangan membalas, tetapi juga tidak perlu meng-klaim hak kita bahkan memikirkan kepentingan orang lain lebih daripada kepentingan diri kita sendiri. Maka tidak aneh di ayat berikutnya, Yesus berkata: “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Ajaran di perikop ini terdengar radikal, dan memang harusnya terasa seperti itu. Kenapa? Karena saya percaya itulah yang sebenarnya kita rindukan. Sama seperti kita mau semua orang berkata jujur sehingga tidak perlu bersumpah, kita juga mau hidup di dunia dimana semua orang punya kebaikan hati yang membuat punah pertikaian dan perselisihan.
Ajaran jangan membalas pada jaman Yesus (ayat 38)
Frase “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” adalah rangkuman dari hukum Taurat (Kel 21:24, Im. 24:20, Ul 19:21) tentang prinsip keadilan yang sebanding. Prinsip ini juga disebut dengan lex talionis, yang sebenarnya diterapkan untuk mengurangi atau mencegah aksi balas dendam pribadi yang sering kali tidak sebanding dengan kejahatan yang sudah dilakukan. Kedua organ tubuh yang disebutkan, terutama mata, adalah organ yang sensitif. Sehingga kita bisa membayangkan kalau sampai hilang atau rusak, maka akan sangat terasa kerugiannya. Hal itu tentu mendorong orang untuk membalas jauh lebih daripada luka yang dia rasakan. Maka, prinsip lex talionis diberikan untuk menyamaratakan hukuman, agar sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Dengan kata lain, menurut ajaran ini, keadilan adalah saat hukuman sesuai dengan pelanggaran.
Prinsip lex talionis mengajarkan satu kebenaran penting lain, yaitu, semua manusia memiliki nilai intrinsik yang sama. Nilai hidup orang yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah daripada hidup orang lain. Orang yang bersalah, tidak perduli status mereka, perlu dihukum. Orang yang menjadi korban, tidak perduli situasi mereka, perlu mendapat semacam kompensasi. Pada jaman Yesus, pada umumnya kompensasi ini berupa uang (atau hal setimpal yang bersifat finansial). Jadi para pendengar Matius mengerti bahwa “mata ganti mata” bukanlah sesuatu yang hurufiah. Pada prinsipnya, seseorang harus mendapat perlakuan setimpal dengan pelanggaran yang dia sudah lakukan.
Ajaran Yesus untuk tidak membalas (ayat 39a)
Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk hidup melebihi standard ini. Untuk menjadi orang-orang yang tidak membalas sesuai dengan perlakuan yang mereka terima. “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat” bukan berarti tidak melawan segala macam kejahatan sama sekali. Karena kata “melawan” misalnya juga dipakai di Yakobus 4:7 dan 1 Petrus 5:9 sebagai perintah untuk melawan iblis. Kita tidak boleh membiarkan kejahatan merajalela. Kita tidak boleh tinggal diam atas kejahatan di depan mata.
Yang Yesus ingin tekankan disini adalah saat kita dirugikan atau dilukai orang, pelanggaran mereka tidak memberi kita ijin otomatis untuk membalas. Saat anak Tuhan menjadi korban dosa, tidak ada hak khusus untuk membalas dengan tangan kita sendiri. Paulus memberi gambaran yang sama di Roma 12:17-20. Yesus tidak sedang menyepelekan kejahatan disini. Yesus juga tidak sedang merekomendasikan sikap acuh tak acuh, asal menerima perlakuan buruk orang lain. Tidak begitu. Ajaran radikal dari ayat ini adalah orang-orang ini benar-benar berbuat jahat. Mereka tidak pura-pura jahat, atau setengah jahat, atau kita salah paham tentang kejahatan mereka, atau bahkan sampai kita merasa jangan-jangan kita sendiri yang salah. Bukan. Yang jahat ya jahat. Kita perlu mengakui kejahatan mereka, kita perlu menyebut luka ato kerugian yang kita terima, kita harus sadar bahwa sesuatu yang jahat telah terjadi; tetapi itu-pun tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk melawan.
Ilustrasi Yesus untuk tidak membalas (ayat 39b-42).
Kalau tidak boleh membalas, bagaimana harusnya respon kita? Siap menerima perlakuan yang lebih parah. Untuk itu Yesus memberikan 4 ilustrasi. Ilustrasi pertama adalah tamparan di pipi. Menampar di pipi adalah sebuah penghinaan yang serius. Hukum kuno yang beredar pada jaman itu yaitu kode Hammurabi misalnya, menuliskan bahwa hukuman untuk tamparan pipi bisa dari bayar denda (penalti finansial) sampai memotong telinga si pelanggar (penalti fisik). Menampar pipi kanan adalah pelanggaran yang lebih serius karena itu artinya menampar dengan punggung tangan kita (dengan asumsi si pelanggar bukan orang kidal, seperti pada umumnya banyak orang). Ini tindakan yang sangat memalukan. Sakit yang diderita lebih bersifat emosional, bersangkutan dengan martabat ato nilai diri seseorang yang dilanggar. “Berikan juga pipi kirimu” artinya tidak usah menuntut denda, jangan terpancing dengan tantangan dia, jangan kamu menjadi seperti dia. Tamparan di pipi kiri lebih tidak serius dibandingkan di pipi kanan.
Ilustrasi kedua adalah mengenai baju. Ini bukan skenario perampokan, tetapi skenario pengadilan karena ada kalimat “mengadukan engkau.” Semua terjemahan Alkitab bahasa Inggris lebih jelas karena menggunakan kata “sue” atau menuntut. Jadi lewat jalur hukum, orang ini melapor ke pengadilan untuk meminta baju. Kehilangan baju sudah cukup parah, apalagi sampai memberikan jubah. Jubah adalah tipe pakaian yang lebih besar, lebih berat, dan lebih mahal. Hukum Taurat di Keluaran 22:25-27 menuliskan bahwa jubah seseorang itu tidak boleh diambil. Jubah itu dianggap hak paling mendasar, karena fungsinya tidak hanya untuk menutupi kulit tetapi juga dipakai untuk selimut tidur. Dengan kata lain, secara legal, jubah tidak bisa diminta. Tetapi murid Yesus dengan sukarela harus siap menyerahkannya. Hasilnya dia akan telanjang dan kedinginan.
Ilustrasi ketiga adalah mengenai kerja paksa. Kita tahu pada jaman Yesus, orang Israel dijajah oleh kerajaan Romawi. Tentara Romawi punya hak untuk mendaftarkan orang Israel menjadi tenaga kerja. Tugas mereka biasanya membawa barang-barang berat milik tentara itu untuk segala keperluan mereka, baik militer maupun non-militer. Kata yang sama digunakan saat Simon dari Kirene dipaksa untuk mengangkut salib Yesus. Nah tentu aturan seperti ini dibenci oleh penduduk Israel. Tetapi murid Yesus diminta tidak hanya menerima untuk berjalan satu mil, tetapi dengan sukarela berjalan satu mil lagi. Dan ini berjalan bersama dia, yang adalah nota bene seorang musuh. Dengan kata lain, murid Yesus melakukan sesuatu lebih dari yang diharuskan.
Ilustrasi keempat adalah mengenai pemberian. Agama Yahudi mengajarkan untuk memberi sedekah kepada pengemis. Aksi ini adalah tindakan moral, bukan sebuah kewajiban. Beberapa rabi Yahudi juga menentang keras peminjaman dengan bunga yang tinggi. Namun yang terjadi di lapangan berbeda, dan banyak orang harus kehilangan tanah mereka karena tidak mampu membayar hutang. Rabi-rabi Yahudi juga memberikan batasan untuk pemberian amal, yaitu sekitar 20 persen setelah pemasukan perpuluhan, supaya orang tidak jatuh miskin. Di tengah iklim yang seperti ini, Yesus memberi gambaran yang radikal. Dia tidak membatasi pemberian yang diberikan. Dia juga tidak membatasi kondisi penerimanya. Murid Yesus harus siap memberi kepada siapapun yang meminta, layak maupun tidak layak. Jangan menolak pinjaman berarti tidak ada kepastian ato garansi uang kita akan kembali.
Ajaran Yesus untuk jangan membalas mengingatkan kita bahwa senjata terkuat kita adalah kasih. Membalas hanya akan melipatgandakan kejahatan. Menghukum mungkin bisa membereskan kejahatan, tetapi itu hanya solusi sementara. Mengampuni, bahkan mengasihi musuh kita, adalah kehendak Tuhan bagi kita. Karena hanya kasih-lah yang mampu mengobati luka hati kita dan mampu mengubah orang yang sudah mencelakai kita.
Ajaran Yesus untuk jangan membalas menantang kita untuk introspeksi diri dengan bertanya: hal apa yang sebenarnya paling berharga buat saya? Apakah kehormatan atau martabat kita, seperti ilustrasi tamparan pipi? Apakah hak kita, seperti ilustrasi baju? Apakah waktu dan usaha kita, seperti ilustrasi kerja paksa? Apakah harta dan uang kita, seperti ilustrasi memberi? Ato apakah yang paling berharga buat kita adalah Tuhan dan Kerajaan Allah? Perintah Yesus disini mustahil dilakukan, bahkan tidak akan dicoba, kalau kita masi mementingkan hal-hal lain diatas Tuhan.