Jangan Bercerai (Matius 5:31-32)

Posted on 02/10/2016 | In Teaching | Leave a comment

Bagian ini masih berhubungan dengan bagian sebelumnya (5:27-30). Keduanya sama-sama berbicara tentang perzinahan. Bahkan kata “berzinah” yang digunakan juga sama (moicheuō). Tidak heran, keduanya diletakkan secara berdekatan.

Matius 5:31-32 dapat dikatakan sebagai versi ringkas dari 19:1-12. Idealnya, dua teks ini seharusnya dikupas secara bersamaan. Mengingat 19:1-12 sudah pernah diuraikan secara detil dalam seminar (lihat saluran Grace Alone di YouTube), khotbah hari ini hanya akan berfokus pada 5:31-32.

Banyak orang telah meletakkan sorotan yang salah pada dua teks ini. Mereka cenderung mendiskusikan teks-teks tersebut untuk mengetahui alasan-alasan apakah yang diperbolehkan sebagai dasar perceraian. Secara khusus, mereka berkutat pada frase “kecuali karena zinah”. Kcenderungan ini justru bertentangan dengan maksud Tuhan Yesus. Dua teks ini justru diberikan untuk menegaskan kekuatan dari komitmen pernikahan. Sikap yang terlalu lunak terhadap perceraian justru sedang dikritik melalui dua teks ini.

Isi perintah: menceraikan isteri dan memberikan surat cerai (ayat 31)

Semua pendengar Tuhan Yesus pasti mengerti bahwa Dia sedang membicarakan Ulangan 24:1-4. Dalam teks ini Musa memerintahkan laki-laki Israel untuk memberikan surat cerai kepada isteri mereka apabila mereka memutuskan untuk bercerai karena alasan tertentu. Para rabi Yahudi terus-menerus memperdebatkan alasan apa saja yang boleh dijadikan landasan bagi perceraian.

Inti persoalan terletak pada arti “yang tidak senonoh” (ayat 1). Pada zaman Musa, “yang tidak senonoh” tidak mungkin merujuk pada perzinahan, karena hukuman untuk perzinahan adalah hukuman mati (Im 20:10), bukan perceraian. Masalah ini menjadi lebih pelik karena ada alasan lain lagi untuk perceraian, yaitu “tidak menyukai lagi” (Ul 24:1) dan “tidak mencintai lagi” (Ul 24:3). Yang pertama memang secara eksplisit dikaitkan dengan hal yang tidak senonoh, tetapi yang kedua tidak ada penjelasan sama sekali. Suami yang baru “tidak cinta lagi,” tanpa disebutkan alasan bagi sikap tersebut. Seberapa jauh “hal yang tidak senonoh” dan “tidak menyukai lagi” seharusnya ditafsirkan?

Kepada para suami Yahudi yang ingin menceraikan isteri mereka, Musa memerintahkan mereka untuk memberikan surat cerai. Alasan di balik aturan ini adalah keadilan bagi perempuan yang diceraikan. Surat cerai akan memperjelas status dari perempuan tersebut, sehingga ia bisa diperisteri oleh laki-laki lain tanpa laki-laki tersebut (suami yang baru) melanggar hak atau milik laki-laki yang lain (mantan suami).

Pernikahan ulang ini sendiri juga dimaksudkan untuk kelangsungan hidup para perempuan yang diceraikan. Dalam tradisi Yahudi yang patriakhal, sangat sukar bagi seorang perempuan untuk memperoleh penghasilan dan perlindungan yang layak tanpa kehadiran seorang suami. Tidak jarang para janda muda memang akhirnya menikah kembali.

Perdebatan tentang alasan perceraian terus berlangsung sampai pada zaman Tuhan Yesus. Secara umum terdapat dua penafsiran utama tentang alasan yang sah bagi perceraian. Rabi Shammai memegang tafsiran yang lebih ketat. Ia menafsirkan “hal yang tidak senonoh” dalam konteks perbuatan seksual yang tidak terpuji, misalnya perzinahan maupun penampilan/perilaku yang tidak senonoh (membiarkan rambut terurai di depan umum atau memperlihatkan ketiak). Rabi Hillel mengambil posisi yang lebih terbuka: apa saja bisa dijadikan alasan perceraian (bdk. Mat 19:3b “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”). Tidak harus berkaitan dengan hal-hal seksual. Bahkan sekadar perasaan tidak suka lagi sudah cukup dijadikan dasar bagi sebuah perceraian. Berbagai tulisan Yahudi kuno menunjukkan bahwa pandangan Hillel merupakan pandangan mayoritas.

Di tengah situasi yang sangat terbuka dan terbiasa dengan perceraian seperti ini, bagaimana Tuhan Yesus menyikapinya? Apakah pandangan-Nya lebih ke arah Shammai atau Hillel?

Penafsiran ulang (ayat 32)

Apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus berbeda dengan pandangan umum pada waktu itu, baik yang mengikuti aliran Shammai maupun Hillel. Yang pertama, Tuhan Yesus lebih menekankan permanensi pernikahan. Berbeda dengan mayoritas orang Yahudi yang menganggap ikatan pernikahan berakhir pada saat surat cerai diberikan, Tuhan Yesus memandang perceraian yang tidak sah tetap mengikat kedua belah pihak, tidak peduli apakah surat cerai sudah diberikan atau tidak. Karena dianggap masih mengikat, pernikahan ulang dipandang sebagai sebuah perzinahan. Suami yang menceraikan isterinya sama saja dengan mendorong isterinya maupun laki-laki lain yang menikahi isteri itu untuk melakukan perzinahan.

Penekanan pada permanensi pernikahan ini terlihat lebih kentara pada saat Tuhan Yesus menjawab jebakan orang-orang Farisi di 19:3-6. Permanensi tersebut didasarkan pada konsep penciptaan. Sejak awal Allah hanya mengesahkan pernikahan heteroseksual monogamis. Ikatan pernikahan berasal dari Allah sendiri (“apa yang sudah dipersatukan Allah”).

Kedua, Tuhan Yesus menekankan akibat buruk dari perceraian. Masih berkenaan dengan poin sebelumnya, 5:31-32 lebih menyoroti konsekuensi dari sebuah perceraian. Orang yang menceraikan isterinya secara tidak sah berarti telah membawa dampak buruk bagi isterinya maupun laki-laki yang menikahi mantan isteri tersebut. Keduanya dianggap melakukan perzinahan.

Sikap ini sangat kontras dengan mayoritas orang Yahudi. Mereka memandang pemberian surat cerai bukan sebagai strategi perizinan untuk menghindari hal yang lebih buruk, melainkan sebagai sebuah perintah. Perzinahan tidak hanya dinilai sebagai sebuah alternatif alasan untuk perceraian tetapi sebagai keharusan. Siapa saja yang dipandang melakukan tindakan tidak senonoh harus diceraikan. Apa yang terjadi sesudah perceraian itu tidaklah penting, sehingga perlu dipikirkan.

Tuhan Yesus tidak mau berkutat pada poin ini. Ia lebih memilih untuk melihat konsekuensi buruk di balik tindakan itu. Pemberian surat cerai bukan berarti penyelesaian masalah. Ada dampak buruk yang perlu dipertimbangkan pasca perceraian itu. Perceraian hanyalah pelarian dari sebuah masalah, bukan penyelesaian tuntas.

Ketiga, Tuhan Yesus meminimalisasi perceraian. Banyak orang Kristen menafsirkan frase “kecuali karena zinah” di 5:32 maupun 19:9 sebagai sebuah kelonggaran terhadap perceraian. Ini jelas keliru. Dalam konteks budaya Yahudi yang sangat terbuka terhadap perceraian, frase ini justru berfungsi sebaliknya. Pandangan Tuhan Yesus terhadap perceraian lebih ketat daripada Shammai dan Hillel.

Bagaimana kita sebaiknya menafsirkan “zinah” di ayat ini? Kata Yunani porneia memiliki jangkauan arti yang sangat luas. Dari persetubuhan dengan pelacuran, perselingkuhan, sampai pelanggaran seksual lain dapat dikategorikan sebagai porneia.

Secara tradisional gereja-gereja Reformed memahami porneia sebagai perzinahan dalam konteks perkawinan dan dalam bentuk persetubuhan tubuh. Sikap ini tercermin dalam Pengakuan Iman Westminster XXIV.5 “Dalam kasus perzinahan sesudah pernikahan, adalah sah bagi pihak yang tidak bersalah untuk menuntut sebuah perceraian, dan, sesudah perceraian itu, untuk menikahi yang lainnya, seolah-olah pihak yang melakukan perzinahan itu sudah meninggal dunia”. Pemikiran di balik rumusan ini cukup jelas: hukuman bagi pezinah adalah kematian. Karena pada zaman Tuhan Yesus hukuman ini tidak boleh dilaksanakan oleh orang-orang Yahudi, maka secara esensial orang yang berbuat zinah dianggap sudah mati.

Penafsiran ini masih menyisakan sebuah kesulitan. Jika itu yang dipikirkan oleh Tuhan Yesus, maka pandangannya terhadap perceraian hanya sedikit lebih ketat daripada Shammai. Hal itu juga tampaknya tidak akan menimbulkan reaksi berlebihan dari murid-murid-Nya yang berkata: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin” (19:10). Lagipula untuk memahami hal itu tidak diperlukan kasih karunia Allah (19:11). Di bagian lain Alkitab perceraian dilarang tanpa tambahan frase “kecuali karena zinah” (Mrk 10:11-12; Luk 16:18). Paulus juga mengajarkan bahwa perceraian berakhir dengan kematian (1 Kor 7:39; Rm 7:1-3). Jika perzinahan turut menjadi akhir bagi pernikahan, mengapa Paulus tidak menyinggung tentang hal itu sama sekali? Walaupun kita tidak boleh berspekulasi berdasarkan ketidakadaan data semacam ini, tetapi hal itu bisa saja menyiratkan pandangan Paulus bahwa hanya kematian yang bisa menyudahi sebuah pernikahan.

Mengingat frase “kecuali karena zinah” hanya muncul dalam tulisan Matius, kita sebaiknya lebih memperhatikan pemunculan kata porneia dalam kitab injil ini. Berdasarkan penggunaannya dalam Injil Matius, kata ini tampaknya dibedakan dari moicheia. Keduanya muncul terpisah tetapi berdekatan dalam daftar dosa di 15:19 (LAI:TB “percabulan” = moicheia; “perzinahan” = porneia). Di 5:32 maupun 19:9 kata benda porneia (sebagai alasan perceraian) juga dibedakan dari kata kerja “berzinah” (moicheuō).

Bagaimana dua kata tersebut – porneia dan moicheia – sebaiknya dibedakan? Di antara beragam alternatif yang ada, saya sepakat dengan beberapa penafsir yang membatasi porneia pada pelanggaran seksual sebelum ikatan pernikahan yang resmi, sedangkan moicheia terjadi di dalam pernikahan. Hal ini didukung oleh pemunculan dua kata itu di 5:32 dan 19:9. Alasan perceraian memakai porneia, sedangkan perzinahan sebagai akibat dari perceraian itu menggunakan moicheia atau moicheuō.

Dukungan lain juga didapat dari kasus Yusuf di 1:18-19. Tatkala ia mengetahui bahwa Maria sudah hamil sebelum mereka melakukan persetubuhan, Yusuf bermaksud untuk menceraikan Maria secara diam-diam. Ia berpikir bahwa Maria telah melakukan porneia (bandingkan sindiran orang-orang Yahudi kepada Yesus sebagai anak hasil porneia di Yoh 8:41). Rencana Yusuf untuk bercerai ini ternyata tidak mendapat celaan sama sekali di dalam teks. Sebaliknya, tindakan ini bahkan dikaitkan dengan karakternya yang tulus hati. Dari sini terlihat bahwa porneia merupakan alasan yang sah bagi perceraian dalam konteks pertunangan. Sesudah memasuki ikatan pernikahan, tidak ada alasan apapun yang pantas untuk dijadikan dasar perceraian. Komitmen terhadap pernikahan merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar (19:6 “Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”).

Bagi kita yang belum menikah, marilah kita secara serius menggumulkan pasangan kita karena pernikahan merupakan keputusan terbesar kedua sesudah memilih Yessus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Bagi kita yang terikat dengan pernikahan, marilah kita melakukan apapun yang kita bisa untuk mempertahankan pernikahan kita. Bagi kita yang sudah terlanjur bercerai, marilah kita datang kepada Tuhan Yesus untuk memohon pengampunan dan tuntunan untuk  fase kehidupan selanjutnya. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko