Minggu lalu kita sudah membicarakan tentang tanggung-jawab para isteri Kristen, yaitu menundukkan diri kepada suami dan menunjukkan kesederhanaan hidup sehingga kecantikan dari dalam menjadi lebih terlihat (3:1-6). Khotbah hari ini akan difokuskan pada sisi para suami.
Kata sambung “demikian juga” (homoiōs) di awal ayat 7 sebaiknya tidak dipahami secara sempit, seolah-olah isteri dan suami memiliki tanggung-jawab yang sama (misalnya menundukkan diri satu sama lain). Kata ini hanya menyiratkan bahwa dua pihak sama-sama memiliki tanggung-jawab, tetapi jenis tanggung-jawab yang diemban masing-masing pihak tetaplah berbeda. Menghormati isteri (3:7b) berbeda dengan menundukkan diri kepada suami (3:1). Kata Yunani yang digunakan berbeda. Alasan di balik masing-masing perintah juga berlainan. Baik suami maupun isteri sama-sama mengemban tanggung-jawab, namun tanggung-jawab masing-masing tetap berbeda.
Tanggung-jawab suami
Apakah tanggung-jawab suami terhadap isteri? Dalam teks ini Petrus secara khusus menyinggung dua tanggung-jawab.
Pertama, hidup dengan bijaksana bersama isteri (ayat 7a). Penerjemah LAI:TB menerjemahkan bagian awal dari ayat ini dengan: “Hiduplah bijaksana dengan isterimu”. Beberapa versi Inggris memilih “Hiduplah bersama isterimu dengan pengertian” (NASB/NIV/ESV). Yang lain mengambil: “Tinggallah bersama isterimu menurut pengetahuan” (KJV/NKJV). Di antara semua opsi ini, yang terakhir lebih hurufiah. Frasa synoikountes kata gnōsin memang berarti “hiduplah bersama menurut pengetahuan”.
Mengetahui terjemahan hurufiah bukan berarti mengetahui maksud penulisnya. Apa artinya “hidup bersama” (synoikeō)? Apa pula arti “menurut pengetahuan” (kata gnōsin)?
Beberapa penafsir memahami synoikeō sebagai rujukan untuk hubungan seksual suami-isteri. Dalam Septuaginta (LXX), kata ini memang kadangkala digunakan dalam arti yang lebih sempit seperti itu (Ul. 22:13; 24:1; 25:5). Dalam konteks 1 Petrus 3, kita sebaiknya memahami kata ini secara lebih luas. Tidak ada nuansa maupun rujukan seksual sama sekali di teks ini. LXX juga sering menggunakan kata synoikeō untuk hidup bersama dalam sebuah pernikahan, tanpa penekanan pada aspek seksual (Kej. 20:3; Hak. 14:20; 2Mak. 1:14, dll).
Berkaitan dengan frasa “menurut pengetahuan”, kita sebaiknya mengaitkan pengetahuan ini dengan Allah. Sebagaimana ketundukan isteri kepada suami bukan didasari oleh ketakutan terhadap suami, melainkan terhadap Allah (3:1, 6), demikian pula pengetahuan di 3:7a berkaitan dengan Allah. Sebagaimana ketidakadilan perlu disikapi dengan kesadaran tentang kehendak Allah (2:19), demikian pula kehidupan bersama dalam sebuah pernikahan perlu diwarnai dengan kesadaran yang sama (3:7a). Maksudnya, dalam bagian ini Petrus memerintahkan para suami untuk selalu menggumulkan apa yang menjadi kehendak Allah dalam pernikahan mereka. Perlakuan mereka terhadap isteri masing-masing harus sesuai dengan pengetahuan mereka tentang Allah.
Tanggung-jawab kedua yang diemban suami adalah memberikan hormat kepada isteri (ayat 7b). Nasihat ini merupakan ide yang asing menurut budaya Yunani-Romawi pada waktu itu. Dalam berbagai literatur kuno pada masa itu, yang lebih banyak dibicarakan adalah tanggung-jawab isteri kepada suami. Kalaupun kebalikannya sempat dibicarakan, pemberian hormat (timē) kepada isteri tidak termasuk di dalamnya. Kehormatan adalah milik para suami.
Apa yang dinasihatkan oleh Petrus di bagian ini merupakan penyeimbang dari apa yang disampaikannya di ayat 1-6. Para isteri memang harus tunduk kepada suami, bukan sebaliknya. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa para isteri tidak layak mendapatkan penghormatan. Ketundukan isteri kepada suami dan penghormatan suami kepada isteri harus berjalan beriringan. Yang satu tidak meniadakan yang lain.
Apa arti “memberikan hormat kepada isteri”? Kata timē sebelumnya sudah muncul dua kali di surat ini (1:7; 2:7). Keduanya berkaitan dengan sesuatu yang sangat mahal atau berharga. Dari data ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa memberikan hormat kepada isteri berarti menganggap dia berharga. Bentuk yang labih praktis, memuji isteri sebagai bagian kehidupan yang bernilai.
Dua tanggung-jawab di atas – hidup bersama menurut pengetahuan tentang Allah dan memberikan hormat kepada isteri – bukanlah pilihan. Ini merupakan perintah ilahi. Jika dilanggar, ada konsekuensi yang mengikutinya. Secara khusus Petrus menyebutkan doa yang terhalang (ayat 7b). Apa yang dilakukan suami kepada isteri turut menentukan apa yang Allah lakukan kepadanya. Suami yang tidak menghiraukan perintah Allah tidak akan mendapat pengabulan doa dari Allah. Ayat 12 memberikan penjelasan penting tentang hal ini: “Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat”. Keenganan suami untuk menunaikan tangung-jawab kepada isteri merupakan kejahatan di mata Tuhan, sehingga Dia tidak akan menghiraukan permohonan suami.
Isteri di mata suami
Sikap seorang suami terhadap isterinya ditentukan oleh bagaimana dia memandang isterinya. Cara pandang menentukan tindakan. Cara pandang yang keliru akan menghasilkan tindakan yang keliru pula.
Yang terutama, isteri adalah kaum yang lebih lemah (ayat 7a). Kata “kaum” (LAI:TB) secara hurufiah berarti “bejana” (skeuei). Walaupun semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, bisa disebut sebagai “bejana” (Kis. 19:15; bdk. Rm. 9:21-23), tetapi ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan merupakan bejana yang lebih lemah (asthenesterō skeuei).
Kelemahan ini tentu saja tidak bersifat emosional, intelektual, moral, atau spiritual. Tidak ada bukti theologis maupun historis bahwa perempuan secara emosional, intelektual, moral, dan spiritual lebih lemah daripada laki-laki. Alkitab bahkan mencatat bahwa para perempuan tetap setia mengikuti Yesus sampai ke kayu salib (Luk. 23:49), sedangkan para pengikut laki-laki justru meninggalkan Dia (Mat. 26:31).
Yang dipikirkan oleh Petrus adalah kelemahan atau kekuatan secara fisik. Harus diakui, laki-laki memang lebih kuat daripada perempuan. Hal ini terlihat kentara dalam bidang olah raga. Walaupun kesejajaran laki-laki dan perempuan sudah diterapkan di banyak bidang, perbedaan keduanya tetap dipertahankan dalam olah raga. Bukan berarti bahwa setiap perempuan pasti lebih lemah daripada semua laki-laki. Namun, secara umum laki-laki memang lebih kuat secara fisik. Dengan bobot dan latihan yang sama, laki-laki lebih kuat daripada perempuan.
Isteri juga merupakan teman pewaris kasih karunia (ayat 7b). Ide tentang warisan menunjukkan bahwa kasih karunia ini bersifat eskhatologis. Ini akan digenapi nanti di akhir zaman. Dalam dunia ini perempuan tetap berbeda dan dibedakan dari laki-laki. Perbedaan seks dan gender seringkali menempatkan perempuan pada situasi yang sulit. Diskriminasi dan pelecehan sukar diberantas sama sekali. Puji Tuhan! Di surga kelak perbedaan ini tidak lagi relevan. Laki-laki dan perempuan akan memiliki titik akhir yang sama. Mereka akan menikmati warisan yang sama.
Warisan ini berkaitan dengan kehidupan (ayat 7b). Banyak versi Inggris menggunakan terjemahan hurufiah yang agak kabur, yaitu “grace of life”. Penerjemah LAI:TB secara tepat memperlakukan kata “kehidupan” (zōēs) sebagai penjelasan terhadap “kasih karunia” (apositional genitif). Kasih karunia, yaitu kehidupan. Kehidupan yang dimaksud di sini tentu saja bukan sekadar kehidupan yang terus-menerus ada. Bukan hanya kekekalan (1:3-5). Yang disorot adalah keberhargaan dan kebahagiaan dari kehidupan kekal tersebut. Untuk apa hidup terus-menerus tetapi di dalam siksaan? Bagi kita semua yang percaya kepada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus tersedia sebuah janji yang luar biasa indah, yaitu kita akan “memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1:7). Inilah warisan yang tersimpan bagi kita. Inilah kekayaan kita yang sesungguhnya. Soli Deo Gloria.