Teks ini bukan hanya terkenal, tetapi sangat penting. Dari sisi sejarah, Allah telah menggunakan teks ini untuk mempertobatkan Martin Luther, salah satu tokoh reformasi gereja di abad ke-16. Sekian lama berupaya untuk memperoleh kebenaran di hadapan Allah melalui perbuatan baik tetapi tanpa kepastian dan kedamaian, Luther akhirnya menyadari bahwa kebenaran merupakan anugerah Allah bagi orang berdosa yang beriman kepada Yesus Kristus. Pembenaran adalah melalui iman.
Dari sisi theologi, pembenaran melalui iman secara esensial membedakan iman Protestan dari Yudaisme, Roma Katholik, maupun agama-agama lain. Yang lain menambahkan perbuatan baik pada iman sebagai syarat untuk dibenarkan oleh Allah. Roma 1:16-17 menegaskan bahwa pembenaran hanya melalui iman.
Bahkan dari sisi konteks Surat Roma, teks di atas juga memainkan peranan sentral. Hampir semua penafsir Alkitab sepakat bahwa inti keseluruhan Surat Roma terletak pada bagian ini. Ini adalah tema surat. Bagian yang lain, terutama 1:18-8:39, hanyalah penjelasan terhadap 1:16-17.
Keyakinan terhadap injil (ayat 16a)
Kata sambung “sebab” di awal bagian ini menunjukkan bahwa ayat 16a merupakan alasan tambahan bagi kerinduan Paulus untuk berkunjung ke Roma. Selain karena dia merasa berhutang kepada orang-orang Yahudi maupun non-Yahudi (1:14), dia juga mempunyai keyakinan yang kokoh dalam injil (ayat 16a). Secara lebih hurufiah, ayat ini berbunyi: “sebab aku tidak malu terhadap injil” (semua versi Inggris).
Pernyataan ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Mengapa Paulus perlu mengungkapkan bahwa dia tidak malu terhadap injil? Hal ini menyiratkan ada alasan atau situasi tertentu yang bisa membuat seseorang malu terhadap injil. Yesus Kristus sendiri pernah memperingatkan para pengikut-Nya untuk tidak malu karena Dia atau perkataan-Nya (Mrk. 8:38). Paulus menasihati Timotius untuk menjadi “seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2Tim. 2:15).
Malu di sini tentu saja mencakup perasaan seseorang (secara psikologis). Ada orang yang merasa malu mengungkapkan keyakinannya di depan publik atau orang lain. Dia mungkin beranggapan bahwa berita injil terkesan terlalu sederhana, bahkan aneh. Di telinga orang-orang Yahudi berita injil terdengar sebagai batu sandungan, sedangkan di telinga orang-orang non-Yahudi sebagai kebodohan (1Kor. 1:23). Bagaimana seorang mesias yang diharapkan akan datang untuk menyelamatkan bangsa Israel justru tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri (bdk. Mat. 27:40; Luk. 23:37, 39)? Bagaimana mungkin seorang dewa yang menjadi manusia justru mati secara hina dan mengerikan di atas kayu salib?
Malu dalam kaitan dengan injil sebenarnya lebih daripada sekadar perasaan. Konsep malu ini juga harus dipahami secara sosial, dalam konteks budaya Mediteranian kuno yang mengedepankan rasa hormat (honor) dan rasa malu (shame). Secara khusus hal ini berhubungan dengan penolakan, penghinaan, dan penganiayaan yang bisa saja diterima oleh orang-orang Kristen maupun para pemberita injil. Dugaan ini didukung oleh konteks dari nasihat Yesus Kristus (Mrk. 8:38) maupun Paulus (2Tim. 2:15). Keduanya sama-sama memberikan peringatan untuk tidak malu terhadap injil dalam konteks penganiayaan (lihat Mrk. 8:34-37; 2Tim. 2:8, 12). Ada resiko yang mungkin menyertai pemberitaan injil. Resiko yang membuat seseorang serasa ditimpa aib di dalam masyarakat.
Bagi Paulus sendiri, memberitakan injil di kota Roma merupakan sebuah tantangan baru yang lebih besar. Dia tidak pernah menjejakkan kaki di kota ini sebelumnya. Sebagai ibukota kekaisaran Romawi, kota Roma sekaligus menjadi pusat kebudayaan, ekonomi, dan keagamaan. Ada banyak orang pintar, kaya, dan berpengaruh di sana. Jikalau di kota-kota lain yang tidak sebesar Roma saja Paulus sering menerima penolakan, bahkan penganiayaan (misalnya 2Kor. 11:23-27), alasan apa yang membuat dia begitu berhasrat ke Roma? Bukankah kemungkinan untuk ditentang di sana semakin besar?
Jawabannya sederhana: dia percaya pada injil. Keyakinan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Bukan sebuah iman yang buta. Bukan pula sebuah rasa yakin yang naif.
Alasan di balik keyakinan terhadap injil (ayat 16b-17)
Keyakinan Paulus terhadap injil langsung diikuti oleh alasan di baliknya. Kata sambung “karena” pada frasa “karena injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan” menerangkan mengapa Paulus tidak malu terhadap injil. Dia meyakini bahwa injil adalah kekuatan Allah. Kekuatan untuk menyelamatkan. Konsep yang sama juga diajarkan oleh Paulus di tempat lain: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor. 1:18).
Kebenaran ini perlu digarisbawahi. Pemberitaan injil bukan hanya sebuah informasi maupun inspirasi, melainkan transformasi. Pemberitaan injil bukan hanya membuat keselamatan menjadi mungkin, melainkan juga mempengaruhi dan menentukan keselamatan orang-orang pilihan. Keselamatan seseorang merupakan bukti bahwa dia adalah orang pilihan dan bahwa injil mengandung kuasa yang menyelamatkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Paulus: “Dan kami tahu, hai saudara-saudara yang dikasihi Allah, bahwa Ia telah memilih kamu. Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh” (1Tes. 1:4-5).
Kekuatan ilahi yang menyelamatkan ini diterima seseorang melalui iman. Roma 1:16b berbunyi: “karena injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani”. Poin ini tampaknya mendapatkan penekanan di 1:16-17. Kata “iman” muncul sebanyak tiga kali di ayat 17.
Karena keselamatan diterima melalui iman, maka tidak ada tembok rasial atau kultural yang dapat membatasi efektivitas pemberitaan injil. Keselamatan disediakan bagi “setiap orang” (panti). Jikalau keselamatan adalah melalui Hukum Taurat, mungkin hanya bangsa Yahudi yang mampu memperolehnya, itu pun jikalau mereka mampu menaati Taurat secara sempurna (bdk. Rm. 3:19-20). Jikalau keselamatan adalah melalui sains dan filsafat, mungkin orang-orang Yunani yang paling berhak mendapatkannya. Jikalau sarana keselamatan adalah kepandaian dan kekayaan manusia, bagaimana nasib orang-orang yang bodoh dan miskin? Puji Tuhan! Allah sudah mempersiapkan sarana keselamatan yang universal. Universal, bukan dalam arti bahwa setiap orang pada akhirnya akan diselamatkan, namun dalam arti bahwa siapa saja yang percaya kepada pemberitaan injil akan diselamatkan. Tidak ada batasan apapun. Allah tidak memandang muka.
Mengapa injil merupakan kekuatan Allah yang menyelamatkan (Rm. 1:16b)? Jawabannya disediakan di ayat 17: “sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah”. Dalam terjemahan yang lebih hurufiah, bagian ini berbunyi: “sebab kebenaran Allah sedang dinyatakan di dalamnya”.
Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kata “nyata” (LAI:TB), berbentuk kekinian (apokalyptetai, lihat semua versi Inggris “is revealed”). Menariknya, kata yang sama persis (apokalyptetai) juga muncul di ayat 18 dan dikaitkan dengan murka Allah atas semua manusia yang menindas kebenaran. Sama-sama menggunakan kata dasar apokalyptō, bahkan dengan bentuk gramatikal yang identik (present tense pasif). Sama-sama dikaitkan dengan kebenaran.
Kesamaan ini tentu saja bukan sebuah kebetulan. Pemberitaan injil harus mencakup kabar baik (kebenaran Allah sedang dinyatakan) dan kabar buruk (murka Allah sedang dinyatakan). Surga dan neraka. Pengharapan dan penghukuman. Kasih dan keadilan.
Melalui pemunculan kata apokalyptetai di ayat 17 dan 18 Paulus ingin menunjukkan bahwa semua manusia diperhadapkan hanya pada dua pilihan saja: menerima kebenaran Allah melalui iman atau terus-menerus menindas kebenaran dengan kelaliman. Tidak ada alternatif ketiga. Setiap orang yang menolak untuk percaya dan mempercayakan diri kepada Allah di dalam Yesus Kristus berarti sedang mendirikan kebenaran sendiri; dengan demikian mereka sedang menindas kebenaran dengan kelaliman.
Di mana posisi Anda berdiri sekarang? Apakah Anda sedang berusaha untuk membuat Allah terkesan dengan perbuatan baik Anda ataukah Anda membiarkan dirimu terkesan dengan kebaikan Allah bagimu? Apakah Anda memandang perbuatan baik sebagai syarat atau bukti keselamatan?
Poin penting kedua di ayat 17 adalah arti “kebenaran Allah” (dikaiosynē theou). Frasa ini diperdebatkan sedemikian rupa oleh para penafsir Alkitab. Khotbah hari ini bukanlah momen yang pas untuk menguraikan perdebatan tersebut secara mendalam.
Pilihan yang paling bijaksana adalah mengartikan frasa ini secara foreksik sekaligus efektif. Secara forensik, dikaiosynē theou merujuk pada status legal kita di hadapan Allah. Berdasarkan kebenaran Kristus dan melalui iman, kita diperhitungkan sebagai orang-orang yang benar di mata Allah. Dalam hal ini, kebenaran Allah merupakan deklarasi.
Secara efektif, dikaiosynē theou lebih mengarah pada tindakan Allah yang membuat seseorang menjadi benar. Bukan hanya sebatas status, melainkan perubahan nyata. Bukan hanya sebuah deklarasi, tetapi transformasi. Kebenaran ilahi yang kita terima pada saat percaya kepada Yesus Kristus bukan hanya mengubah status kita dahulu sebagai orang berdosa tetapi benar-benar membebaskan kita dari dosa (Rm. 6:7 “sebab siapa yang telah mati, dia telah bebas dari dosa”).
Memahami dikaiosynē theou secara forensik dan efektif berarti mengakui objektivitas dan subjektivitas dari kebenaran tersebut. Secara objektif kita sudah dianggap benar di mata Allah. Ini terjadi di luar diri kita. Sebuah deklarasi legal. Secara subjektif kita mengalami kekuatan dari kebenaran itu. Ini terjadi di dalam diri kita. Sebuah transformasi riil. Allah menyediakan keduanya bagi setiap orang yang percaya pada berita injil. Soli Deo Gloria.