Injil dan Kepuasan Allah (Roma 3:21-26)

Posted on 10/06/2018 | In Teaching | Leave a comment

Seandainya Surat Roma diakhiri dengan 3:19-20, surat ini layak disebut sebagai surat horor. Sangat menakutkan. Semua manusia berada di bawah murka Allah. Mereka gagal mencapai standar kebaikan yang dituntut oleh Allah. Bahkan dalam hal ini bangsa Yahudi yang mempunyai pengalaman rohani luar biasa dengan Allah pun tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lain: semua orang adalah pendosa yang pantas dimurkai oleh Allah (3:9).

Puji Tuhan! Allah tidak membiarkan manusia tanpa harapan. Apa yang gagal dilakukan oleh manusia telah dilakukan oleh Allah sendiri. Dosa-dosa kita memang besar, namun anugerah-Nya jauh lebih besar. Ada harapan dan kepastian di dalam Tuhan.

Dalam teks kita hari ini, subjek utama adalah Allah. Dia yang melakukan segalanya untuk melepaskan kita dari murka-Nya. Kebenaran ini sangat berbeda dengan agama-agama lain. Sebagian agama mengajarkan kebaikan timbal-balik: manusia memenuhi keperluan para dewa (misalnya melalui sesajen, dsb), sedangkan para dewa bertugas memelihara hidup manusia (misalnya memberikan berkat atau menghindarkan dari bahaya). Sebagian agama yang lain mengajarkan keadilan retribusi: taat untuk mendapatkan berkat, tidak taat mendatangkan kutukan. Kesamaan fundamental dari agama-agama semacam ini terletak pada usaha manusia sebagai penentu. Dengan kata lain, agama-agama ini berpusat pada manusia (anthroposentris). Manusia harus melakukan sesuatu supaya mendapatkan sesuatu dari Allah. Dalam kekristenan konsep ini dibalik: Allah melakukan segalanya bagi kita.

Apa yang dilakukan oleh Allah untuk melepaskan kita dari murka-Nya? Ada dua hal yang dilakukan-Nya: merencanakan keselamatan (ayat 21) dan mengerjakan keselamatan itu melalui Yesus Kristus (ayat 22-26).

 

Allah merencanakan keselamatan (ayat 21)

Kata sambung “tetapi” (de) dan kata keterangan “sekarang” (nyni) menyiratkan sebuah pergeseran dari sisi waktu. Ada kontras antara yang lama dengan yang baru. Yang lama berdasarkan Hukum Taurat, sedangkan yang baru tanpa Hukum Taurat. Kata “Hukum Taurat” (nomos) di sini sebaiknya dipahami sebagai rujukan untuk pekerjaan-pekerjaan Taurat (erga tou nomou di ayat 20; LAI:TB “melakukan Hukum Taurat”; mayoritas versi “pekerjaan-pekerjaan Hukum Taurat”). Maksudnya, Paulus sedang mengontraskan kebenaran ilahi di dalam Kristus dengan upaya bangsa Yahudi untuk dibenarkan di hadapan Allah melalui ketaatan mereka pada Taurat.

Keselamatan melalui anugerah tidak dapat disandingkan dengan keselamatan melalui perbuatan baik. Dua hal ini bersifat eksklusif: yang satu meniadakan yang lain (3:27-28; 4:2, 4-5). Dengan tegas Paulus berkata: “tanpa Hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan”. Perbuatan baik adalah bukti dan tujuan keselamatan, bukan syarat keselamatan. Kita berbuat baik bukan supaya diselamatkan. Kita berbuat baik karena sudah diselamatkan.

Sesudah menegaskan bahwa keselamatan di dalam Kristus diperoleh tanpa Hukum Taurat (nomos) di ayat 21a, Paulus selanjutnya membicarakan tentang Hukum Taurat (nomos) di ayat 21b, tetapi dalam arti yang berbeda. Nomos kali ini merujuk pada Kitab Taurat. Pergeseran arti ini terlihat dari pemunculan ungkapan nomos kai prophētai (LAI:TB “Kitab Taurat dan Kitab-kitab Para Nabi”), yang seringkali digunakan sebagai rujukan untuk seluruh Perjanjian Lama (misalnya Mat. 5:17; Luk. 16:16; Yoh. 1:45; Kis. 13:15). Dengan kata lain, Paulus ingin mengajarkan bahwa kebenaran Allah melalui karya penebusan Kristus bukanlah sebuah ide atau gagasan yang baru. Allah sudah merencanakan dan memberitakan hal itu sejak lama di dalam kitab suci. Dengan demikian Paulus sedang menekankan ulang apa yang dia sudah beritakan di awal surat: “Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci” (1:2).

Kita tidak tahu teks Perjanjian Lama yang mana yang sedang dipikirkan oleh Paulus di 3:21b. Dia mungkin memikirkan perjanjian baru atau Taurat dalam hati yang melampaui perjanjian/Taurat Musa yang sudah dinubuatkan oleh para nabi (Yer. 31:31-34; Yeh. 36:26-27). Dia mungkin sedang merujuk pada keselamatan universal yang mencakup bangsa-bangsa non-Yahudi (Yes. 42:6-7; 43:5-7; 48:20-22). Atau, dia mungkin tidak sedang memikirkan teks tertentu. Opsi manapun yang dipilih, poin yang diutarakan tetap sama: kebenaran Allah di dalam Kristus sudah direncanakan sejak lama dan dinyatakan dalam kitab suci.

 

Allah mengerjakan keselamatan (ayat 22-26)

Merencanakan adalah satu hal. Mengerjakan rencana itu adalah hal yang lain. Bagaimanapun, bagi Allah, dua hal itu sama saja. Apa yang Dia rencanakan, Dia juga kerjakan. Dia mengerjakannya melalui Yesus Kristus. Di dalam Kristus, Allah menyatakan kebenaran-Nya. Kebenaran ilahi ini mencakup dua hal: yang berkaitan dengan kita (kebenaran yang diberikan oleh Allah kepada kita, ayat 22-24) dan yang berkaitan dengan Allah (Allah menyatakan diri sebagai Allah yang benar, ayat 25-26). Dua-duanya diperoleh melalui penebusan Yesus Kristus.

 

Kebenaran yang berkaitan dengan kita (ayat 22-24)

Kebenaran Allah yang dinubuatkan dalam kitab suci tidak lain adalah kebenaran “karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya” (ayat 22a). Hampir setiap kata dalam frasa ini perlu digarisbawahi. Ayat 22b-26 menerangkan frasa ini secara lebih detil.

Poin pertama yang diterangkan adalah bagian terakhir dari frasa di atas, yaitu “bagi semua orang yang percaya”. Keselamatan tidak dibatasi pada bangsa Yahudi. Allah tidak membuat pembedaan, karena memang tidak ada perbedaan (3:22b). Terlepas dari berbagai keragaman yang ada antar suku bangsa, mereka semua memiliki satu kesamaan: “semua telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (3:23). Tidak ada satu orang pun yang dikecualikan (3:10-18). Semua membutuhkan kebenaran dari Allah karena semua telah melanggar hukum Allah.

Sesuai dengan pandangan populer seperti yang ada dalam literatur Yahudi kuno pada masa itu, pemunculan “dosa” dan “kehilangan kemuliaan” berkaitan dengan dosa Adam. Berbagai tulisan tersebut menyinggung tentang kemuliaan Adam yang memudar tatkala dia jatuh ke dalam dosa. Allah telah menciptakan Adam dengan kemuliaan, namun kondisi ini berubah seiring dengan kejatuhannya ke dalam dosa. Sejak saat itu, seluruh keturunan Adam mewarisi kondisi yang sama (3:23).

Karena semua manusia berada dalam kondisi yang sama, Allah membuka jalan keselamatan yang sama bagi semua orang. Jalan ini tidak mungkin melalui sunat dan Taurat, karena tidak semua orang mempraktekkan maupun memilikinya. Bukan pula memulai ritual relijius tertentu yang hanya bisa ditempuh oleh orang-orang tertentu. Jalan ini adalah melalui iman dalam Yesus Kristus (3:22a). Secara lebih spesifik, objek iman ini adalah Allah yang dalam anugerah-Nya telah memberikan kebenaran-Nya kepada kita secara cuma-cuma melalui penebusan Yesus Kristus (3:24). Tidak peduli etnis seseorang atau kelebihan seseorang secara relijius, Allah yang tunggal telah menetapkan jalan keselamatan yang tunggal pula, yaitu melalui iman (3:29-30).

 

Kebenaran yang berkaitan dengan Allah (ayat 25-26)

Yesus Kristus merupakan “jalan pendamaian” (hilastērios, ayat 25a). Beberapa orang mempersoalkan arti kata ini: “pendamaian” (LAI:TB/KJV/ASV/NASB/ESV) atau “penebusan” (NIV/RSV/NRSV) atau dua-duanya? Arti pertama menyiratkan Allah yang sedang murka dan darah Kristus sebagai cara untuk menyurutkan murka itu, sehingga Allah dan manusia kembali bisa berdamai. Arti yang kedua lebih ke arah penghapusan dosa. Darah Kristus membayar hutang dosa.

Mempertimbangkan pemunculan hilastērios dalam literatur Yahudi dan konteks Roma 3:21-26, kita sebaiknya tidak perlu memisahkan dua arti di atas secara tajam. Baik ide tentang pendamaian maupun penebusan sama-sama populer pada masa itu. Analisa konteks pun tidak memihak pada salah satu arti. Jadi, kita memahami korban Kristus di atas kayu salib sebagai jalan pendamaian antara Allah dan orang berdosa sekaligus penghapusan dosa mereka.

Konsep tentang pendamaian di sini tidak boleh dimengerti seperti dalam konteks mitologi kuno. Dalam mitologi-mitologi kuno sering diajarkan tentang dewa-dewa yang sedang murka dan perlu untuk diberi korban tertentu supaya murka mereka reda, misalnya melalui sesajen. Paulus tidak sedang memikirkan Allah yang seperti itu. Yang meredakan murka adalah Allah sendiri (ayat 25a), bukan manusia. Murka ini juga lebih berkaitan dengan keadilan dan murka Allah yang kudus (ayat 25b-26a), bukan karena “kebutuhan-Nya” yang tidak terpenuhi.

Selain sebagai jalan pendamaian dan penghapusan dosa, darah Kristus sekaligus menjadi demonstrasi keadilan atau kebenaran ilahi (keterangan: kata “keadilan” dan “kebenaran” dalam teks Yunani adalah sama: dikaiosynē). Frasa “untuk menunjukkan keadilan-Nya” muncul dua kali sebagai penekanan (ayat 25b-26a). Frasa ini dipertegas lagi dengan “supaya nyata bahwa Dia benar” (ayat 26b).

Mengapa Paulus perlu bersusah-payah memberi penekanan pada keadilan Allah? Dia ingin menerangkan bahwa Allah tidak hanya membiarkan dosa (bdk. ayat 25 “karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya”). Jika hanya ini yang Dia lakukan, Dia memang sabar, tetapi Dia tidak benar atau tidak adil. Sebagai Allah yang kudus dan adil, Dia harus melakukan sesuatu terhadap dosa-dosa dan para pendosa. Pendeknya, harus ada yang dihukum untuk memuaskan keadilan Allah. Dalam kasih, keadilan, hikmat, dan kedaulatan-Nya, Allah telah menentukan Yesus Kristus sebagai solusi bagi keberdosaan manusia.

Apa yang dijelaskan di 3:25-26 menjawab beberapa pertanyaan sekaligus secara memadai: Bagaimana kebenaran Allah yang menyelamatkan sekaligus mengadili berkaitan satu dengan yang lain? Bagaimana Allah dapat menyelamatkan manusia berdasarkan kemurahan-Nya tanpa mengurbankan keadilan-Nya? Jawabannya terletak pada penebusan Kristus. Semua sifat Allah dipuaskan melalui salib. Tidak ada satu pun yang dikurbankan. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko