Injil adalah dasar persekutuan (1 Yohanes 1:3)

Posted on 07/07/2019 | In Teaching | Leave a comment

“Persekutuan” bukanlah kata yang asing di telinga orang-orang Kristen. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan terlibat secara aktif dalam beragam jenis persekutuan, dari persekutuan doa sampai persekutuan antar gereja. Menjamurnya persekutuan-persekutuan semacam ini mungkin menyiratkan manfaat besar bagi yang mengikutnya.

Ini adalah tanda positif. Orang-orang Kristen menginginkan kebersamaan. Mereka menyadari nilai penting persekutuan.

Sayangnya, tidak semua orang memahami istilah “persekutuan” secara sama. Persekutuan lebih daripada sekadar perkumpulan atau kebersamaan. Mereka juga gagal menangkap fondasi kokoh dalam persekutuan. Seringkali yang dijadikan landasan kebersamaan hanyalah kesamaan suku, hobi, usia, domisili, atau status. Walaupun pada dirinya sendiri persekutuan seperti ini tidak salah, tetapi rawan terjadi perpecahan. Mereka membutuhkan fondasi yang lebih kokoh.

Apa yang dimaksud dengan persekutuan? Bagaimana persekutuan seperti ini dibangun?

 

Makna persekutuan

Jika kita mau jujur dengan keadaan yang ada, banyak “persekutuan” sebetulnya belum bisa disebut persekutuan dalam arti yang sesungguhnya. Dalam kaitan dengan konsep populer tentang “persekutuan doa”, persekutuan hanya dilihat sebagai kebersamaan dalam hal tempat, waktu, dan aktivitas. Mereka berdoa bersama-sama, di tempat dan waktu yang sama. Ironisnya, mereka seringkali tidak mendoakan satu dengan yang lain. Masing-masing hanya datang dengan persoalan sendiri-sendiri.

Begitu pula dengan persekutuan antar gereja di beberapa tempat (tidak semua). Persekutuan hanya dipahami sebagai kepanitiaan bersama. Jika tidak ada kegiatan khusus, persekutuan itu juga mati suri. Yang lebih menyedihkan, perselisihan dan perpecahan justru seringkali terjadi di dalam. Walaupun peranan dan kontribusi yang diberikan oleh organisasi-organisasi seperti ini sudah dirasakan oleh banyak gereja, apa yang mereka lakukan belum mencapai apa yang disebut “persekutuan” dalam Alkitab.

Apa arti “persekutuan” yang sesungguhnya? Dari sisi Bahasa Yunani, kata “persekutuan” (koinōnia) secara hurufiah berarti “partisipasi”. Dalam bentuk kata kerja, koinōneō berarti “mengambil bagian”. Jemaat Filipi mengambil bagian dalam pelayanan Paulus melalui  bantuan materiil yang mereka berikan (Flp. 4:15). Sebagai bentuk solidaritas Kristus dengan manusia, Dia mendapat bagian dalam keadaan mereka, yaitu mengambil daging (Ibr. 2:14). Orang-orang Kristen yang menderita karena kebenaran telah mengambil bagian dalam penderitaan Kristus (1Pet. 4:13). Gereja mula-mula yang masih beribadah di rumah-rumah dilarang menerima pengajar sesat dan memberi dia kesempatan untuk berbicara di rumah mereka. Menerima orang seperti itu berarti mengambil bagian dalam kesesatan mereka (2Yoh. 1:11).

Dari semua contoh penggunaan kata koinōneō di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa persekutuan mengandung arti yang lebih mendalam daripada yang seringkali dipikirkan. Ada partisipasi dalam pelayanan (seperti yang dilakukan jemaat Filipi kepada Paulus atau larangan untuk menerima pengajar sesat). Ada simpati dan solidaritas (seperti dalam kasus inkarnasi Kristus Yesus dan partisipasi kita dalam penderitaan-Nya).  

 

Dasar persekutuan

Persekutuan tidak hanya harus benar secara arti. Persekutuan juga harus benar secara fondasi. Apa yang melandasi sebuah persekutuan? Apakah sekadar kesamaan hobi, etnis, usia dan status?

Walaupun semua kesamaan tersebut memiliki manfaat praktis dalam taraf tertentu, mereka tidak boleh dijadikan landasan persekutuan. Persekutuan yang kuat wajib didirikan di atas teologi yang tepat. Persekutuan sejati dibangun di atas teologi yang murni. Teologi yang benar akan menopang sebuah kebersamaan dengan semua perbedaan yang ada di dalamnya.

Poin di atas sangat ditekankan dalam teks kita hari ini. Tidak semua orang yang berada dalam gereja atau menyebut diri “Kristen” merupakan bagian dari persekutuan orang percaya. Semua diukur oleh apa yang mereka percayai.

Salah satu ukuran yang dipakai oleh Yohanes adalah doktrin tentang Kristus (kristologi). Ukuran ini sangat wajar, karena kesatuan Kristiani memang berada dalam Kristus. Apa artinya berbicara tentang persekutuan dalam Kristus apabila Kristus yang dipercayai ternyata berbeda? Apa artinya menyebut diri sebagai orang percaya jika yang dipercayai bukanlah Injil Yesus Kristus?

Pertama, Kristus yang menjadi manusia (ayat 3a). Frasa “apa yang telah kami lihat dan apa yang telah kami dengar” merujuk pada ayat 1-2. Yohanes dan rasul-rasul lain telah melihat Firman (1:1) yang menjadi manusia (1:2). Sang pemberi hidup yang kekal telah menyatakan diri di tengah-tengah manusia (1:2).

Berita ini bukan isapan jempol belaka. Berkali-kali Yohanes menandaskan dirinya sebagai saksi mata: dia mendengar, melihat, menyaksikan dan meraba (1:1). Dia mengulangi kesaksian ini lagi di ayat 3. Berita Injil bukan dongeng karangan manusia.

Penegasan ini sangat diperlukan. Pada waktu itu ada sebagian orang yang mengakui diri sebagai orang Kristen, tetapi tidak memercayai inkarnasi Kristus. Tentang mereka, Yohanes telah memberi peringatan: “Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah” (4:2-3). Di suratnya yang lain Yohanes berkata: “Sebab banyak penyesat telah muncul dan pergi ke seluruh dunia, yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Itu adalah si penyesat dan antikristus” (2Yoh. 1:7).  

Kedua, kesatuan Kristus dan Bapa (ayat 3b). Yohanes menyebut persekutuan ini sebagai “persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus” (1:3). Jenis kesatuan seperti ini sangat mendalam dan sudah ada sejak kekekalan (ayat 1 “apa yang telah ada sejak semula”; ayat 2 “tentang hidup kekal, yang bersama-sama dengan Bapa”).

Poin ini selaras dengan ajaran Yohanes di kitab injilnya. Tidak ada seorangpun pernah melihat Allah; hanya Yesus Kristus yang menyatakan tentang Dia (1:18). Begitu kuatnya persekutuan antara Bapa dan Anak ini sampai-sampai Yesus berkata: “Aku dan Bapa adalah satu” (10:30). Kepada murid-murid-Nya, Dia berkata: “Barangsiapa melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (14:9).

Kesatuan yang sama seharusnya tercermin dalam kehidupan kita. Apa yang kita katakan atau lakukan harus mencerminkan Allah. Dalam beberapa ayat sesudah teks hari ini Yohanes mengajarkan bahwa kehidupan kita harus merefleksikan sifat-sifat Allah: “Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran” (1Yoh. 1:6). Di ayat selanjutnya dia menambahkan: “Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain” (1:7a).

Semua teks di atas menunjukkan bahwa persekutuan dengan Bapa melalui Kristus bukanlah perkara gampangan dan asal-asalan. Persekutuan ini didirikan di atas ajaran dan perilaku yang benar. Jika seseorang menolak kesatuan kekal antara Kristus dan Bapa, bagaimana dia bisa mencerminkan persekutuan antara Kristus dan Bapa? Jika dia tidak hidup seperti Allah, bagaimana mungkin dia mengaku kalau dia memiliki persekutuan dengan Bapa?

Marilah kita memikirkan ulang arti dan kualitas persekutuan di antara kita. Apakah persekutuan kita hanya sekadar perkumpulan dan kebersamaan? Apakah persekutuan tersebut dibangun di atas ajaran yang benar tentang Kristus? Apakah persekutuan itu mencerminkan persekutuan Kristus dan Bapa? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko