Immaterial Part of Man That Can Exist Without His Body (Wahyu 6:9-11)

Posted on 10/11/2013 | In Teaching | Leave a comment

Pemisahan antara hakekat jasmani dan rohani dalam diri manusia diajarkan dalam beragam cara dalam Alkitab. Kita tidak mungkin membahas semuanya. Walaupun demikian, teks yang dipilih untuk minggu ini sangat eksplisit menunjukkan bahwa jiwa/roh manusia dapat eksis tanpa tubuh.

Bagaimana keadaan manusia yang sudah mati (terutama orang-orang percaya)? Apakah mereka sedang tertidur di tempat perhentian sementara sebelum mereka masuk ke surga? Apa yang mereka lakukan di sana? Mari kita bersama-sama membahas dari Wahyu 6:9-11.

Para syahid di surga (ayat 5)

Ayat ini mengajarkan beberapa hal yang kontras dengan ajaran populer yang beredar di kalangan kekristenan tertentu. Tatkala orang percaya mati, mereka langsung berada di surga. Mereka tidak perlu menunggu di tempat perhentian sementara.

Jiwa mereka ada di bawah mezbah. Karena kata “mezbah” (thysiastērion) muncul berkali-kali dalam Kitab Wahyu dan selalu merujuk pada tempat di hadirat Allah di surga (8:3, 5; 9:13; 14:18; 16:7), kita harus menafsirkan para syahid di ayat 5 sedang berada di surga. Hal ini sesuai dengan ucapan Tuhan Yesus kepada seorang penyamun di sebelah-Nya: “Hari ini juga engkau bersama dengan Aku di Firdaus” (Luk 23:43; untuk “Firdaus = surga”, lihat 2 Kor 12:4; Why 2:7). Paulus pun menggambarkan kematiannya dengan “diam bersama-sama dengan Kristus” (Flp 1:23).

Beberapa orang mencoba menafsirkan teks ini sebagai sebuah nubuat yang akan terjadi nanti di akhir jaman, tetapi ini bertentangan dengan ucapan para syahid di ayat 10 tentang orang-orang percaya di bumi yang masih hidup dan dianiaya. Sebagian lagi mencoba menggunakan penafsiran simbolis sebagai bantahan, namun hal itu tetap tidak meniadakan apa yang disimbolkan. Walaupun “mezbah” di sini adalah simbolis, tetapi letaknya selalu di hadapan tahta Allah di surga. Seandainya posisi mezbah adalah simbolis, maka posisi tahta Allah juga harus ditafsirkan secara simbolis pula. Ini jelas membingungkan.

Ajaran populer lain yang ditentang dalam ayat ini adalah pembedaan antara roh dan jiwa. Yang dilihat Rasul Yohanes pada meterai kelima adalah “jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh” (6:9; 20:4). Manusia hanya dapat membunuh tubuh, tetapi tidak dapat membinasakan jiwa (Mat 10:28). Kata Yunani yang digunakan di Wahyu 6:9 memang “jiwa” (psychē), bukan “roh” (pneuma). Bahkan kata pneuma yang merujuk pada manusia muncul dua kali Kitab Wahyu dan merujuk pada “nyawa” (11:11; 13:15). Kesimpulannya, jiwa dan roh adalah sinonim. Pada saat dua kata ini muncul bersama-sama, hal itu hanya untuk gaya bahasa belaka (1 Tes 5:23 untuk menekankan totalitas; Ibr 4:12 untuk menekankan bahwa tidak ada bagian terkecil apapun yang tidak diterangi oleh kuasa firman).

Jiwa-jiwa di 6:9 tersembelih karena firman Allah dan kesaksian yang mereka miliki. Kata “tersembelih” (sphazō) tidak boleh diartikan secara sempit dalam arti “pemenggalan kepala” (bdk. 18:24). Kata ini digunakan untuk pembunuhan Kain kepada Habel (1 Yoh 3:12; bdk. Kej 4:8). Kata sphazō juga berkali-kali dikenakan pada Yesus (Why 5:6, 9, 12; 13:8). Di 13:3 kata ini merujuk pada tusukan di kepala (bukan di leher), tetapi tidak menyebabkan kematian. Penyembelihan ini sebaiknya dipahami sebagai rujukan pada segala penderitaan karena iman yang dihadapi orang percaya selama mereka ada di dunia.

Frase “firman Allah dan kesaksian” memang beberapa kali muncul bersamaan di Kitab Wahyu (1:2, 9; 20:4). Penggunaan bersamaan menyiratkan bahwa para syahid bukan hanya menaati firman Allah, namun juga memberitakannya kepada orang lain (bdk. 12:17 “hukum-hukum Allah dan kesaksian”). Walaupun ada resiko besar dalam menyaksikan Yesus (11:7), tetapi kuasa Iblis justru dikalahkan oleh darah Anak Domba dan kesaksian orang-orang Kristen (12:10-11). Betapa hebatnya kesaksian kita!

Yang menarik dari 6:9 adalah posisi jiwa para syahid. Mereka ada di bawah (hypokatō) mezbah. Diskripsi ini tidak mungkin merujuk pada kurban bakaran untuk pengampunan dosa. Hanya Yesus yang darah-Nya memiliki kuasa penebusan (Ibr 9:26; 10:12). Pencurahan darah di bawah mezbah mungkin merujuk pada kurban dedikasi para imam (Kel 29:12) atau kurban ukupan (Im 4:7). Pilihan ke-1 didukung oleh pemunculan kata “jubah” (6:11; bdk. Kel 29:4-9). Pilihan ke-2 didukung oleh bagian lain dari Kitab Wahyu yang mengaitkan doa-doa orang kudus (bdk. 6:10) dalam konteks persembahan ukupan (5:8; 8:3).

Desakan untuk pembalasan ilahi (ayat 10)

Berbeda dengan pandangan populer yang menganggap orang-orang yang mati sedang tidur atau istirahat, ayat ini menggambarkan aktivitas mereka. Mereka memang istirahat di surga (bdk. ayat 11 “beristirahat sedikit waktu lagi”), tetapi hal itu tidak berarti tanpa kesadaran maupun aktivitas. Walaupun Alkitab memang menggambarkan kematian sebagai tidur (Mat 27:52; Yoh 11:11; Kis 7:60; 13:36; 1 Tes 4:13-15), makna yang disiratkan adalah kesementaraannya (bdk. Yoh 11:11), bukan ketidaksadarannya.

Para syahid di Wahyu 6:9 menuntut pembalasan atas darah mereka. Apakah tindakan ini bisa dibenarkan? Bukankah membalas dendam adalah dosa (bdk. Mat 5:44-45; 6:12)? Yang perlu kita pahami adalah bahwa para syahid tidak membalas dendam sendiri. Mereka justru menyerahkannya ke dalam tangan Allah. Doa mereka menunjukkan ketaatan mereka pada firman Allah yang mengajarkan bahwa pembalasan adalah hak Allah (Ul 32:35, 36; Rom 12:19; Ibr 10:30).

Di samping itu, di surga tidak ada lagi kesusahan (21:4). Seruan para syahid tidak mungkin didasarkan pada rasa sakit yang harus dipuaskan. Mereka justru mendapati kematian mereka sebagai kebahagiaan (14:13). Mereka tidak mungkin berdosa dalam seruan ini, karena tidak ada kejahatan di surga (21:27). Seandainya permintaan mereka adalah salah, maka mereka akan ditegur oleh Tuhan di ayat 11. Kenyataannya, mereka justru diberi jawaban yang melegakan.

Para penafsir secara tepat mengaitkan doa para syahid di sini dengan kemuliaan surgawi yang mereka sudah alami di surga. Kemuliaan yang hebat itu membuat mereka memiliki hasrat yang kuat untuk membelanya. Ini terlihat dari ungkapan yang mereka pakai. Mereka memanggil Allah dengan sebutan “Penguasa” (ho despotēs). Beberapa versi Inggris memilih “Tuhan yang berdaulat” (RSV/NRSV/NIV/ESV “Sovereign Lord”). Makna yang ditekankan pada kata despotēs memang kekuasaan yang penuh (kedaulatan).

Selanjutnya mereka memanggil dengan sebutan “Yang Kudus dan Benar” (ho hagios kai alēthinos). LAI:TB menggabungkan frase ini dengan despotēs di bagian sebelumnya, tetapi pemunculan artikel ho di depan despotēs dan hagios kai alēthinos menyiratkan pemisahan (bdk. semua versi Inggris). Frase “kudus dan benar” muncul di 3:7 dan ditujukan pada Tuhan Yesus. Sebagai Allah yang kudus, Tuhan pasti tidak tahan dengan dosa (Hab 1:12-13). Sebagai Allah yang benar, Ia pasti akan menggenapi janji-Nya, yaitu melakukan pembalasan pada orang-orang fasik (Ul 32:35-36). Karena itu, permohonan untuk pembalasan didahului dengan permohonan untuk penghakiman (ayat 10 “menghakimi dan membalaskan”). Pembalasan ini tidak membabi-buta dan mengabaikan keadilan.

Dengan kata lain, para syahid sebenarnya sedang menyandarkan seruan mereka pada sifat-sifat Allah. Mereka ingin agar kemuliaan Allah sebagai Pribadi yang berdaulat, kudus, dan benar ditegakkan. Ini adalah tentang Allah, bukan mereka. Ini tentang kemuliaan Allah, bukan kenyamanan manusia. Mereka tidak pernah meragukan keselarasan antara sifat dan tindakan Allah. Pertanyaan mereka bukan “apakah Engkau akan...”, tetapi “berapa lama lagi”. Ini berkaitan dengan waktu, bukan ya atau tidak.

Jawaban ilahi (ayat 11)

Keadilan yang didoakan oleh para syahid nanti akan dikabulkan oleh Allah (19:2). Untuk sementara waktu, Allah menetapkan sesuatu yang berbeda. Allah memberikan jubah putih kepada setiap mereka (ayat 11a). Penggunaan kata “setiap” (hekastos) berfungsi untuk menekankan bahwa tidak ada seorang pun yang dilupakan. Bisa mengenakan baju putih merupakan sebuah kehormatan. Hanya orang-orang yang dipandang layak yang boleh memilikinya (3:4). Ini berbicara tentang kemenangan (3:5), kesucian (3:18; 7:9, 13-14), dan kehormatan (4:4). Dalam budaya Romawi kuno, sebuah perayaan kemenangan perang diadakan dengan mengenakan pakaian serba putih.

Pemberian jubah putih mengajarkan bahwa penderitaan karena Kristus bukan sebuah kehinaan, kemalangan atau kesedihan. Menderita bagi Kristus adalah sebuah kehormatan besar. Kita dipandang layak untuk berjalan bersama Yesus (3:4). Sama seperti Dia telah menderita bagi Allah, demikian pula kita harus berhasrat untuk mengikuti jejak-Nya.

Pada saat Allah membiarkan penganiayaan terjadi atas umat-Nya, Ia tidak sedang menyiksa mereka. Ia juga tidak sedang mengkompromiskan sifat-Nya yang berdaulat, kudus, dan benar. Allah sedang berbuat baik kepada umat-Nya dengan cara memberi mereka kesempatan untuk menderita bagi Dia, dan dengan demikian akan menikmati, kemenangan, kesucian, dan kehormatan bersama Dia. Pendeknya, mengikuti teladan penderitaan Kristus adalah berkat (bdk. 1 Pet 2:19-24).

Jawaban lain untuk seruan para syahid adalah beristirahat sedikit waktu lagi (ayat 11b). Penggunaan kata “istirahat” (anapauō) di sini perlu untuk digarisbawahi. Seperti sudah disinggung di bagian awal, kata ini tidak menyiratkan kepasifan. Kata ini juga tidak sama dengan “menunggu”. Dalam Kitab Wahyu kata anapauō muncul dalam konteks keadaan terberkati (14:13 lit. “diberkatilah orang-orang yang mati di dalam Tuhan sejak sekarang ini... supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka”).

Berapa lama mereka harus menunggu? Sedikit waktu lagi! Frase “sedikit waktu” bukan berarti “beberapa tahun”. Ini merujuk pada sebuah kegenapan waktu dari kedatangan Kristus pertama sampai kedatangan-Nya yang kedua (12:12; 20:3).

Berapa lama mereka harus menunggu? Sampai genap jumlah sesama hamba dan saudara! Kitab Wahyu mencatat bahwa jumlah orang percaya adalah sangat banyak (7:9 “tidak dapat terhitung banyaknya”). Kita tidak pernah tahu siapa yang sudah dipilih Allah sejak kekekalan untuk diselamatkan. Yang jelas adalah bahwa Allah sudah menentukan jumlah mereka. Sama seperti Paulus waktu mengalami penganiayaan di Kota Korintus dihiburkan oleh perkataan “sebab banyak umat-Ku di kota ini” (Kis 18:10), demikian pula para syahid di surga dihiburkan dengan jumlah orang percaya yang besar. “Penundaan” hukuman bukan menunjukkan kelemahan dan keterbatasan Allah. Sebaliknya, hal itu justru mengajarkan bahwa Allah sedang merealisasikan rencana-Nya di muka bumi.

Penutup

Allah menjamin keselamatan dan kebahagiaan jiwa kita. Semua dikontrol oleh Allah secara sempurna. Karena itu, kita tidak perlu terlalu menguatirkan tubuh kita. Tubuh jasmani kita boleh semakin lemah, tetapi jiwa kita harus tetap kuat. Kita tidak boleh takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, namun tidak sanggup membinasakan jiwa. Kematian kita justru merupakan jalan masuk pada perhentian yang penuh berkat. Penderitaan karena Kristus yang kita sedang jalani justru merupakan anak tangga menuju kehormatan dan kemenangan. Soli Deo Gloria. Amin.

Yakub Tri Handoko