Hedonisme (Filipi 3:18-29)

Posted on 01/07/2018 | In Teaching | Leave a comment

Dalam beberapa khotbah sebelumnya kita sudah belajar bagaimana kita diselamatkan melalui Injil. Keberdosaan manusia sudah begitu parah sehingga membutuhkan transformasi radikal melalui Injil. Dalam anugerah-Nya yang besar Allah melahirbarukan orang berdosa melalui berita Injil, yaitu kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.

Sesudah diselamatkan, setiap orang Kristen masuk dalam tahap pengudusan. Dengan pertolongan Roh Kudus melalui firman Tuhan, kita dimampukan untuk mengalahkan kedagingan dalam diri kita. Hari demi hari kita terus bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Proses ini tidak terjadi secara spontan dan instan. Tidak pula diraih dengan mudah. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan untuk mencapai keberhasilan.

Yang paling jelas tentu saja adalah mengenali titik akhir. Tanpa mengenali tujuan, seseorang hanya akan berputar-putar dalam kesesatan. Menurut Paulus, tujuan hidup harus berpusat pada Kristus. Setiap kita seyogyanya terus-menerus mengarahkan diri pada keserupaan dan persekutuan dengan kematian dan kebangkitan Kristus (3:10-11).

Mengenali titik akhir adalah satu hal. Menyadari bahwa kita belum tiba di titik itu adalah hal yang berbeda. Jangan merasa diri sudah baik. Orang yang merasa diri baik tidak akan menjadi lebih baik. Tidak ada seorang pun yang pantas merasa bahwa dirinya sudah sempurna (3:12-16). Setiap orang harus menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah pertandingan yang masih panjang.

Dalam pertandingan ini diperlukan fokus yang benar. Ini tentang apa yang kita lihat terus-menerus. Bagaimana kita memandang akan menentukan hasil perjalanan. Tidak cukup hanya memandang pada hadiah (3:13-14) atau garis akhir (3:15-16). Kita juga perlu memperhatikan orang-orang lain yang lebih dahulu telah bertanding secara benar (3:17). Mereka memberikan teladan untuk diikuti. Mereka menyediakan penyemangat di kala kita penat.

Kita juga perlu memperhatikan halangan-halangan di depan yang bisa membuat kita tersandung. Kewaspadaan adalah sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan. Kita memperhatikan setiap halangan, tetapi tidak menjadikannya pusat perhatian. Hanya dilihat supaya tidak terhalang, bukan menjadikannya tujuan.

Nah, di antara beragam halangan tersebut, salah satunya adalah hedonisme. Istilah ini merujuk pada gaya hidup duniawi yang hanya mengejar dan menekankan kesenangan. Kebahagiaan diidentikan dengan kepuasan duniawi. Semua ini dikejar oleh para seteru salib Kristus di 3:18-19.

 

Siapakah para seteru salib itu?

Dari petunjuk yang ada di 3:18-19, tidak banyak yang kita bisa ketahui tentang identitas para seteru salib ini. Tidak ada keterangan yang eksplisit maupun detil yang diberikan oleh Paulus. Minimnya petunjuk ini menyiratkan bahwa jemaat Filipi sudah memahami siapa yang dimaksud.

Dugaan ini tidak berlebihan. Di awal ayat 18 Paulus berkata: “seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu”. Ini bukan kali pertama dia menyinggung tentang para seteru salib.

Persoalannya, pembaca Alkitab sekarang tidak berbagi pengetahuan yang sama dengan jemaat Filipi. Kita hanya mengandalkan petunjuk yang ada di dalam teks. Keterbatasan seperti ini telah menimbulkan beragam pandangan dari para penafsir Alkitab tentang identitas seteru salib.

Sebagian ahli berpendapat bahwa seteru salib tidak lain adalah para pengajar sesat dari kalangan Yudaisme (agama Yahudi). Mereka yang memegang pandangan ini meyakini bahwa para seteru salib identik dengan anjing-anjing dan para penyunat palsu di 3:2-3. Mereka adalah orang-orang yang mengagungkan sunat dan membanggakan hal-hal jasmaniah. Jadi, di 3:18-19 Paulus masih membahas tentang persoalan yang sama. Tidak ada pergeseran topik sama sekali.

Berdasarkan perspektif ini, semua petunjuk di ayat 19 ditafsirkan dalam konteks Yudaisme. Ungkapan “Tuhan mereka adalah perut mereka” dikaitkan dengan penekanan Yahudi terhadap aturan-aturan relijius tentang makanan halal. Ungkapan “kemuliaan mereka adalah aib mereka” dihubungkan dengan sunat, karena alat kelamin juga bisa disebut sebagai bagian tubuh yang memalukan (bdk. ungkapan Indonesia “kemaluan”). Perkara-perkara duniawi merujuk pada semua kebanggaan jasmaniah di 3:2-3.

Pendapat ini cukup menarik. Ada analisa konteks yang dijadikan dukungan (kesinambungan 3:2-3 dan 3:18-19). Penafsiran ayat 19 dari kacamata Yudaisme juga terlihat tidak mengada-ada.

Walaupun demikian, kita sebaiknya memilih alternatif yang lain. Tidak ada petunjuk yang jelas bahwa Paulus masih membicarakan tentang persoalan yang sama di 3:2-3 dan 3:18-19. Sebaliknya, aplikasi di 3:15-16 terlihat sangat sesuai sebagai penutup dari sebuah pembahasan (ayat 15 “karena itu…”). Di samping itu, sapaan “saudara-saudara” di ayat 17 sangat mungkin menyiratkan sebuah topik yang baru.

Penafsiran dari perspektif Yudaisme juga perlu dikaji ulang. Di surat-suratnya yang lain Paulus tidak pernah menyatakan bahwa penekanan pada makanan halal merupakan bentuk pemberhalaan terhadap makanan atau perut (bdk. “Tuhan mereka adalah perut mereka”). Dalam situasi tertentu dia malah tidak mau mempersoalkan hal tersebut (1Kor. 9:20; Rm. 14:1-17). Paulus juga tidak menganggap bahwa sunat adalah hal yang memalukan (1Kor. 7:18-19; Flp. 3:5-6). Dia juga tidak sepenuhnya anti terhadap keunggulan bangsa Yahudi secara jasmaniah (Rm. 9:4-5; 11:29).

Alternatif lain yang lebih baik tentang identitas para seteru salib adalah mereka yang tidak mau hidup sesuai dengan salib Kristus. Nasihat untuk hidup sesuai dengan prinsip salib sudah diutarakan Paulus sebelumnya di Surat Filipi. Tujuan hidup Paulus adalah “mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” (3:10). Setiap jemaat perlu untuk memiliki pikiran dan perasaan yang sama dalam Kristus Yesus (2:5). Semua yang ada pada Kristus harus ada dalam komunitas Kristen (2:1-4; ayat 1 “Jadi, karena di dalam Kristus ada…karena itu…”).

Jika penjelasan di atas diterima, para seteru salib di 3:18-19 tidak lain adalah orang-orang tertentu yang mengaku percaya pada Kristus, tetapi hidupnya tidak selaras dengan pengakuan itu. Itulah sebabnya Paulus mengatakan keprihatinannya sambil menangis (3:18). Itulah sebabnya dia hanya mengacu pada hidup mereka (3:18; lit. “berjalan”), bukan pada konsep atau ajaran mereka.   

Hal ini tidak terlalu mengagetkan. Beberapa pekabar Injil melakukan aktivitas mulia ini dengan motivasi yang keliru (1:15-17). Beberapa pemimpin yang sedang berkonflik dinasihati untuk sehati-sepikir di dalam Tuhan (4:2). Kita pun kadangkala mengadopsi gaya hidup yang bertentangan dengan prinsip Injil Yesus Kristus. Kehidupan hedonistik adalah salah satunya. Jadi, para seteru salib adalah mereka yang tidak mau menempuh jalan penderitaan dan kehinaan sebagai wujud dari pengakuan mereka terhadap Kristus.

 

Apa saja karakteristik seteru salib yang hedonistik?

Sebelum menjelaskan karakteristik para seteru salib di ayat 19, Paulus menyinggung tentang kesudahan mereka dahulu. Kata “kesudahan” (telos) di ayat ini tampaknya dimaksudkan sebagai sebuah permainan kata yang bersifat mengontraskan para seteru salib dengan orang-orang yang sempurna (teleios) di ayat 15. Mereka yang sempurna (baca: matang) akan mencapai titik akhir yang indah, yaitu keserupaan dengan Kristus (3:10-11). Mereka yang mengejar kepuasan duniawi akan berujung pada kebinasaan (3:19a).

Ada tiga karakteristik dari gaya hidup hedonistik yang bertabrakan dengan prinsip salib. Tiga poin ini sangat berkaitan erat. Yang satu tidak bisa diceraikan dari yang lain.

Karakteristik pertama berhubungan dengan hawa nafsu. Kata “perut” (koilia) di sini sebaiknya dipahami sebagai perwakilan dari seluruh hawa nafsu. Hanya saja di sini Paulus lebih berfokus pada kerakusan.

Menafsirkan koilia secara lebih luas (merujuk pada beragam hawa nafsu) bukanlah tanpa alasan. Di surat-suratnya yang lain Paulus mengaitkan perut dengan hawa nafsu yang lain. Para pengajar sesat di Roma yang memberhalakan perut adalah orang-orang yang mencoba mencari keuntungan materi dengan cara memperdayai orang-orang yang naif (Rm. 16:17-18). Kepada jemaat Korintus yang menganggap remeh dosa percabulan, Paulus menyinggung tentang perut, makanan, dan dorongan seksual (1Kor. 6:13).

Karakteristik kedua lebih bersentuhan dengan kebanggaan. Dengan bahasa yang ironis sekaligus sarkastik Paulus mengatakan bahwa kemuliaan (doxa) para seteru salib adalah aib (aischynē) mereka. Dua kata ini – kemuliaan dan aib – merupakan poros kehidupan dalam budaya Mediteranian kuno. Hampir semua yang dilakukan oleh seseorang dimaksudkan untuk memperoleh kehormatan dan menghindari aib. Sayangnya, tidak semua orang mampu membedakan antara kemuliaan dan aib.

Para seteru salib telah memutarbalikkan posisi kemuliaan dan aib. Mereka justru membanggakan apa yang sebenarnya adalah aib. Dengan sengaja mereka menunjukkan tindakan mereka yang memalukan.

Kemungkinan besar apa yang memalukan di sini berhubungan erat dengan dosa-dosa seksual. Ketelanjangan disebut sebagai sesuatu yang memalukan (aischynē) di Wahyu 3:18. Homoseksualitas adalah sebuah kemesuman (Rm. 1:27, aschēmosynē). Apa yang memalukan ini justru dibanggakan dan dipamerkan oleh mereka yang melawan salib.

Karakteristik yang terakhir berkaitan dengan orientasi pikiran. Pikiran di sini bukan hanya tentang apa, melainkan bagaimana. Bukan isi pikiran, tetapi cara berpikir. Kata kerja phroneō sudah muncul di surat ini dengan arti yang sama (1:7; 2:2, 5; 3:15). Jadi, frasa “pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” (LAI:TB) sebaiknya diterjemahkan secara hurufiah menjadi: “mereka yang terus-menerus meletakkan pikiran (hoi phronountes) pada perkara-perkara duniawi”.

Apa yang dipikirkan seseorang tidak selalu mencerminkan bagaimana dia berpikir. Namun, bagaimana seseorang berpikir akan menentukan apa yang dia pikirkan. Pikiran menentukan tindakan. Cara berpikir menentukan isi pikiran. Mereka yang selalu meletakkan pikiran pada hal-hal duniawi pasti akan terjebak pada gaya hidup yang duniawi pula.

Sebagai orang-orang yang sudah diselamatkan oleh salib Kristus dan terus berjuang menuju kesempurnaan dengan kematian Kristus, kita patut mewaspadai hedonisme. Gaya hidup ini bukan hanya menjauhkan kita dari salib, tetapi juga menabrak prinsip salib. Sudahkah Anda mempercayai Injil Yesus Kristus? Apakah kuasa Injil sudah menentukan keinginan, kebanggaan dan orientasi pikiran Anda? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko