Teks kita hari ini menceritakan respon para rasul dan jemaat mula-mula terhadap ancaman dari para pemimpin Yahudi. Petrus dan Yohanes sempat ditangkap dan diperingatkan dengan keras agar tidak memberitakan tentang kebangkitan Yesus. Setelah keduanya dilepaskan karena para pemimpin Yahudi takut terjadi kerusuhan sehubungan dengan banyaknya orang yang takjub pada mujizat kesembuhan yang dilakukan Allah melalui Petrus dan Yohanes, keduanya segera menemui teman-teman mereka (ayat 23). Dalam teks Yunani kata “teman-teman” secara hurufiah berarti “milik mereka sendiri”. Kata yang sama muncul di 24:23 dan merujuk pada sahabat-sahabat Paulus.
Doa gereja mula-mula
Respon “berdoa” yang dilakukan gereja mula-mula sekilas terkesan klise dan sederhana. Bagaimanapun, ada beberapa poin penting sehubungan dengan cara mereka berdoa. Yang terutama, doa mereka merupakan respon spontan terhadap persoalan yang mereka hadapi. Begitu mereka mendengar apa yang sedang dihadapi Petrus dan Yohanes, mereka langsung meresponi itu dengan doa. Tidak ada waktu bagi mereka untuk menyalahkan para pemimpin atau memikirkan sejumlah solusi yang mereka pikirkan sendiri. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa kita harus berserah total tanpa berpikir. Poin yang hendak ditekankan adalah spontanitas mereka dalam berdoa. Apakah kita juga secara spontan meresponi semua persoalan kita dengan doa? Ataukah kita justru cenderung mengkuatirkan banyak hal terlebih dahulu, baru setelah itu kita berdoa ketika tidak ada jalan keluar?
Doa gereja mula-mula juga dilandasi dengan kesehatian. Terjemahan LAI:TB “bersama-sama” di ayat 24a kurang begitu jelas, karena kata “bersama-sama” dapat merujuk pada tempat atau waktu yang sama. Kata keterangan homothumadon sebenarnya lebih tepat diterjemahkan “sehati” (1:14; 2:46; 5:12). Jadi, kesatuan dalam doa mereka bukan terletak pada tempat atau waktu, pada hati. Aspek inilah yang seringkali kurang diperhatikan dalam berbagai persekutuan doa modern. Jemaat hanya berdoa di tempat dan waktu yang sama, namun tidak ada kesatuan di antara mereka.
Hal lain yang menarik dari doa gereja mula-mula adalah keselarasan antara doa dan situasi yang mereka hadapi. Walaupun Tuhan Yesus pernah mengajarkan Doa Bapa Kami kepada para rasul, tetapi bukan doa itu yang dipanjatkan oleh gereja mula-mula saat menghadapi tantangan. Mereka juga tidak menyapa Allah dengan sebutan “Bapa”. Karena mereka menghadapi ancaman dari para pemimpin Yahudi yang berkuasa atas mereka, mereka datang kepada Allah sebagai Tuhan yang berdaulat atas segala sesuatu, termasuk atas para pemimpin tersebut.
Poin terakhir yang kita dapat petik dari doa gereja mula-mula adalah pemahaman mereka yang luar biasa terhadap Allah. Doa mereka dicatat sepanjang 7 ayat: ayat 23-28 berisi pengakuan terhadap Allah, ayat 29-30 berisi permohonan. Dengan demikian, apa yang mereka akui di depan Allah jauh lebih banyak daripada yang mereka minta dari Dia. Mereka juga menempatkan pengakuan di depan permohonan (seperti Doa Bapa Kami di Matius 6:9-13). Konsep teologis yang mendalam ini sangat menarik jika dilihat dari sisi gereja mula-mula baru saja mengalami hal-hal spektakuler dari Roh Kudus (Kis 2). Tidak seperti gereja-gereja modern yang mengakui dipenuhi Roh Kudus tetapi membenci doktrin, gereja mula-mula tidak mengabaikan kebenaran teologis.
Pengakuan terhadap kedaulatan Allah (ayat 24b-28)
Gereja mula-mula menyapa Allah sebagai despota (berasal dari kata despotēs). Pemilihan ini cukup menarik, karena kata “Tuhan” yang biasa digunakan adalah kurios (bdk. ayat 26, 29). Aspek yang dipentingkan dalam kata despotēs adalah kedaulatan. Beberapa penerjemah Alkitab bahasa Inggris dengan tepat memilih “Tuhan yang berdaulat” (RSV/NIV/ESV “Sovereign Lord”). Terjemahan ini juga didukung oleh isi doa yang juga menyoroti kedaulatan Allah.
Kedaulatan Allah terlihat dari fakta bahwa Allah menciptakan segala sesuatu (ayat 24b). Dalam terjemahan LAI:TB ada dua hal yang tidak terlalu jelas. Dalam teks Yunani kata “Engkau” mendapat penekanan. Di samping itu, frase “dan segala isinya” berbentuk jamak dan berjenis kelamin neuter, sehingga secara jelas merujuk pada langit, bumi, dan laut (bukan hanya pada laut seperti yang bisa terkesan dalam terjemahan LAI:TB). Tambahan “laut” mungkin menyiratkan konsep pemikiran kuno yang menganggap laut sebagai salah satu bagian alam yang paling sulit ditaklukkan. Kemungkinan lain adalah untuk menempatkan “bumi” di tengah-tengah langit dan laut, sehingga terlihat bahwa yang ditekankan adalah “bumi dan segala isinya”. Ini berkaitan dengan kedaulatan Allah atas para pemimpin Yahudi maupun semua pemimpin di dunia secara umum (lihat ayat 25b-26).
Kedaulatan itu juga terungkap dari kenyataan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum semua itu terjadi (ayat 25-26). Apa yang menimpa Yesus sebagai Mesias bukanlah peristiwa yang mengagetkan Allah. Roh Allah sudah menubuatkan itu melalui Daud ratusan tahun sebelum semuanya terjadi. Kutipan dalam doa ini berasal dari Mazmur 2 yang termasuk salah satu mazmur mesianis yang terkenal selain Mazmur 22 dan 110. Dalam Mazmur 2 diterangkan bahwa Mesias adalah Anak Allah sendiri dan Allah berjanji untuk memporak-porandakan semua upaya manusia untuk menggagalkan kepemimpinan Mesias.
Apa yang tertulis di Mazmur 2 tergenapi melalui karya Yesus di dunia. Allah mengetahui bahwa semua upaya para pemimpin Yahudi, Pilatus, dan Herodes merupakan hal yang sia-sia belaka. Kebangkitan Kristus menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa upaya penyaliban untuk menghentikan pelayanan Yesus adalah tindakan yang sia-sia. Allah tidak pernah dikagetkan dengan berbagai pemikiran dan upaya manusia!
Yang lebih penting, kedaulatan Allah terlihat dari fakta bahwa Allah menggunakan segala sesuatu untuk merealisasikan rencana-Nya (ayat 27-28). Allah bukan hanya tahu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang durhaka pada penyaliban Yesus (ayat 27), tetapi hal itu justru terjadi untuk melakukan segala sesuatu yang sudah ditentukan Allah sebelumnya (ayat 28). Jika kita meyakini bahwa salib Kristus adalah rencana Allah yang kekal, maka kita pun seharusnya mengamini bahwa semua proses yang membawa pada salib adalah rencana Allah juga. Bagaimana kita bisa mengamini yang satu tanpa mengiyakan yang lain? Ini berarti bahwa dosa-dosa yang dilakukan para pemimpin Yahudi, Herodes, dan Pilatus juga termasuk di dalamnya! Sebelumnya para rasul juga sudah menegaskan bahwa kematian Yudas Iskariot yang mengenaskan dan pemilihan penggantinya merupakan penggenapan dari nubuat Perjanjian Lama (Kis 1:16, 20). Sekarang dalam doa mereka bersama gereja mula-mula mereka kembali menekankan bahwa tindakan bangsa Yahudi, Herodes, dan Pilatus adalah menggenapi ketetapan ilahi. Allah memang bukan pencipta dan penyebab dosa, namun hal itu tidak berarti bahwa dosa manusia berada di luar ketetapan dan kontrol Allah.
Ada beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi dari ayat 28. Ketetapan Allah mencakup segala-sesuatu (hosa, dari kata hosos). Bahasa Inggris memilih terjemahan “apa saja” (whatever/whatsoever, KJV/ASV/RSV/NASB/ESV). Ketetapan ini juga bersifat kekal. Frase “telah Engkau tentukan dari semula” (LAI:TB, proōrisen) muncul beberapa kali dalam Alkitab dan selalu merujuk pada keputusan Allah sebelum dunia dijadikan (Rom 8:29-30; 1 Kor 2:7; Ef 1:4-5, 11). Ketetapan ini didasarkan kuasa dan kehendak Allah (“tangan dan rencana/tujuan Allah, KJV/ASV/RSV/NASB/ESV), bukan pra-pengetahuan Allah. Seandainya Allah hanya mengetahui belaka sejak kekekalan, maka segala sesuatu sebenarnya terjadi tanpa rencana Allah. Selain itu, konsep ketetapan Allah yang didasarkan pada pengetahuan Allah (seperti diajarkan dalam Armenianisme) menjadikan kata “menentukan” kehilangan arti. Jika apa yang Allah ketahui akan pasti terjadi, untuk apa Ia perlu menentukan lagi? Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa ketetapan Allah didasarkan pada kuasa dan kehendak Allah, bukan pra-pengetahuan-Nya.
Berbeda dengan sebagian orang Kristen modern yang menganggap kedaulatan mutlak Allah sebagai sebuah ancaman dan doktrin yang tidak menyenangkan, gereja mula-mula justru mendapatkan penghiburan dan kepastian dari doktrin ini. Allah yang tidak berkuasa atas dosa bukanlah Allah yang berdaulat, karena hampir semua hal dan peristiwa di dunia ini berkaitan dengan dosa. Jika dosa manusia dapat mengacaukan rencana Allah, maka rencana itu tidak dapat dijamin, karena ada begitu banyak dosa di dalam dunia. Sebaliknya, jika kita percaya bahwa apa pun yang dilakukan manusia berada di dalam ketetapan Allah, maka kita dapat menjalani hidup ini dengan damai. Manusia bisa melakukan kesalahan kepada kita. Mereka bisa mencelakakan kita. Bagaimanapun, mereka tidak akan mampu membentuk hidup kita tidak seperti yang Allah tentukan dari kekekalan. Apapun keadaan kita sekarang – apakah itu situasi yang buruk akibat kesalahan orang lain kepada kita – kita harus belajar menerima bahwa itu juga rencana Allah bagi kita, walaupun hal ini pasti sangat sulit untuk kedagingan kita. Kita harus belajar berhenti menyalahkan orang lain dan mulai memakai perspektif yang baru dalam melihat persoalan kita.
Isi doa kepada Allah yang berdaulat (ayat 29-30)
Apa yang didoakan oleh gereja mula-mula pada saat mereka berada dalam bahaya? Pertama, mereka menyerahkan semua kepada kehendak Allah (ayat 29a). Mereka hanya memohon Allah memperhatikan apa yang terjadi, tetapi mereka sama sekali tidak mendikte Allah. Mereka yakin bahwa apa pun tindakan Allah, itu pasti yang terbaik. Tidak ada nuansa kemarahan atau balas dendam dalam doa mereka. Tidak ada penyebutan sebuah tindakan ilahi tertentu yang mereka harapkan akan Allah lakukan terhadap para pemimpin Yahudi. Gereja mula-mula hanya berserah kepada Allah yang berdaulat.
Kedua, mereka memohon keberanian untuk memberitakan injil (ayat 29b). Di tengah bahaya yang sedang mengancam, mereka tidak meminta kedamaian atau jaminan keselamatan secara fisik. Penganiayaan tetap ada, bahkan tidak lama setelah doa ini, Stefanus mati sebagai martyr (Kis 7). Gereja mula-mula hanya meminta keberanian untuk memberitakan injil (4:29b), karena mereka menyadari bahwa tugas mereka yang terutama adalah menjadi saksi bagi Kristus (1:8), bukan mencari kenyamanan hidup.
Jika kita kaitkan isi doa ini dengan Yohanes dan Petrus, kita akan menemukan hal yang patut diperhatikan. Dua orang ini bukanlah tipikal manusia yang lembek dan penakut. Yohanes pernah mengungkapkan kemarahannya dan meminta ijin Yesus untuk menurunkan api dari langit membakar penduduk sebuah desa di Samaria yang tidak mau menerima mereka (Luk 9:54). Petrus memotong telinga hamba imam besar pada waktu Yesus ditangkap di Getsemani (Luk 22:50). Mereka berdua juga sudah menunjukkan keberanian di depan para pemimpin Yahudi (Kis 4:19). Ternyata, keberanian yang berasal dari karakter kita saja tidaklah cukup. Petrus kemungkinan besar sudah belajar dari pengalaman pahitnya dahulu pada saat ia menyangkali Yesus. Kita semua membutuhkan keberanian khusus dari Allah untuk menghadapi masalah apapun yang ada di depan kita.
Ketiga, mereka meminta peneguhan Allah atas firman-Nya melalui tanda dan mujizat (ayat 30). Dalam konteks gereja mula-mula waktu itu – yaitu pada saat permulaan era keselamatan yang baru (Kis 2:15-19 “hari-hari terakhir”) – Allah merasa perlu untuk menyatakan begitu banyak mujizat sebagai tanda bahwa Allah berpihak pada Kristus dan para pengikut-Nya. Mujizat merupakan salah satu tanda peneguhan ilahi (14:3). Walaupun demikian, tanda dan mujizat bukanlah yang terpenting. Dalam teks Yunani, ayat 30 sengaja diletakkan sebagai anak kalimat (semua versi Inggris), karena yang paling penting tetaplah pemberitaan firman Allah di ayat 29b. Allah dapat meneguhkan firman-Nya melalui berbagai macam cara (bukan hanya melalui mujizat). Menuntut Allah untuk selalu mengadakan mujizat justru merupakan penyangkalan terhadap kedaulatan-Nya!
Jawaban doa dari Allah yang berdaulat (ayat 31)
Sebagai respon terhadap pengakuan dan permohonan gereja mula-mula, Allah sekali lagi memenuhi mereka dengan Roh Kudus. Berbeda dengan Paulus yang memahami pemenuhan Roh Kudus dalam konteks kelahiran baru, kepemilikan, dan pimpinan (Ef 1:13-14; 5:18), Lukas lebih menyoroti pemenuhan Roh Kudus dalam arti pemberian kuasa. Tidak heran, pemenuhan Roh Kudus dalam tulisan Lukas dapat terjadi lebih dari satu kali.
Allah pun menyertai pemenuhan ilahi ini dengan sebuah tanda heran, yaitu tempat yang bergoyang. Tidak ada lidah api, angin yang keras, maupun bahasa asing sebagai tanda kepenuhan. Tanda pemenuhan Roh Kudus tidak terbatas pada bahasa asing (bdk. Luk 1:15, 67; 4:1). Di ayat ini tanda yang jelas adalah tempat yang bergoyang dan keberanian dalam memberitakan injil. Sayangnya, tanda ini terlihat tidak menjadi favorit bagi banyak gereja modern yang secara keliru menggembor-gemborkan kepenuhan Roh Kudus. Mereka tampaknya menekankan pekerjaan Roh Kudus, namun yang terjadi sebenarnya adalah mereka justru terlalu membatasi karya Roh Allah!
Tatkala Allah menggoyangkan tempat mereka berdoa dengan kuasa-Nya, Allah sedang menyiapkan mereka agar di kemudian hari tidak digoyangkan oleh apapun juga (John Chrysostom). Sebaliknya, ketika para pengkhotbah tidak takut terhadap apapun (kecuali dosa) dan tidak menginginkan apapun (kecuali diri Allah sendiri), mereka akan menggoyang pintu neraka dan menegakkan kerajaan Allah di bumi (John Wesley). Soli Deo Gloria.