Di beberapa denominasi gereja dilakukan pembacaan Pengakuan Iman Rasuli. Salah satu poin dalam kredo ini adalah “Gereja yang kudus dan am”. Apakah arti dari pernyataan ini? Mengapa kata sifat “kudus” disandingkan dengan “am”?
Konsep ini harus dipahami dalam dua kontras: dengan dunia dan sesama gereja lokal. Jika dibandingkan dengan dunia, gereja harus terpisah dan tampil beda. Jika dibandingkan dengan sesama gereja lokal, gereja adalah satu.
Poin di atas didasarkan pada beberapa teks di dalam Alkitab. Dalam khotbah kali ini kita hanya akan membahas salah satunya, yaitu 1 Korintus 1:2. Walaupun bagian ini hanyalah pendahuluan dalam surat, namun tidak berarti bahwa bagian ini cuma sebuah formalitas belaka. Ayat ini sarat dengan konsep teologis yang mendalam.
Gereja yang kudus
Konsep tentang “kudus” dalam Alkitab bisa secara moral (disucikan) atau ritual (dikhususkan). Makna pertama biasanya diganti dengan “dikuduskan dari”, sedangkan yang kedua dengan “dikuduskan untuk”. Dengan kata lain, “kudus” dapat bermakna “dipisahkan dari” atau “dikhususkan untuk”. Dengan kata lain, jemaat telah dipisahkan dari dunia dan dosa, serta dikhususkan untuk pelayanan kepada Allah.
Dua aspek di atas juga tersirat dalam tulisan Paulus di 1:2. Ada beberapa cara yang digunakan Paulus untuk mengekspresikan kebenaran tersebut.
Jemaat Allah
Penambahan kata “Allah” (tou theou) sesudah kata “jemaat” (tē ekklēsia) sangat penting untuk diperhatikan. Kata ekklēsia secara hurufiah berarti “kumpulan orang”. Ekklēsia dapat merujuk pada kumpulan orang-orang yang tidak percaya, misalnya kumpulan massa di Efesus yang berhuru-hara dan hendak menganiaya Paulus (Kis 19:32). Di luar Alkitab kata ekklēsia juga sering digunakan untuk perkumpulan politik.
Penambahan kata “Allah” setelah ekklēsia di 1 Korintus 1:2 menegaskan perbedaan dengan jenis perkumpulan lain. Mereka bukan organisasi yang dibuat oleh manusia. Allah adalah inisiator sekaligus pemilik mereka. Mereka bukan dimiliki oleh pemimpin mereka (bdk. 1:12). Allah adalah pemilik satu-satunya (3:4-5; 21-23).
Dikuduskan dalam Kristus Yesus
Kata
“dikuduskan” (hagiasmenois) dalam bagian ini menggunakan keterangan waktu perfek, yang menyiratkan sebuah tindakan yang dilakukan di masa lampau, tetapi akibat atau hasilnya masih bisa dirasakan pada masa kemudian. Dari penggunaan kata ini tersirat bahwa Paulus sedang memikirkan peristiwa pengudusan yang terjadi pada saat seseorang bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dalam teologi momen ini seringkali disebut pengudusan awal (initial sanctification) atau pengudusan posisi (positional sanctification). Ini bukan tentang proses pengudusan setiap hari yang dilakukan oleh Roh Kudus (progressive sanctification).
Penambahan kata “di dalam Yesus Kristus” menunjukkan kemutlakan Kristus dalam peristiwa tersebut. Pengudusan secara posisi tidak didapat melalui ritual tertentu. Pengudusan ini bukan hasil pemberian atau pengakuan sebuah gereja lokal. Pengudusan ini terjadi melalui iman kepada Yesus Kristus. Korban Kristus menguduskan kita, sekali untuk selamanya (Ibr 10:2, 10).
Dipanggil sebagai orang-orang kudus
Pengudusan di dalam Kristus Yesus memungkinkan kita disebut sebagai orang-orang kudus. Bentuk pasif di sini menyiratkan Allah sebagai subyek. Ini berbicara tentang penilaian Allah atas kita, bukan penilaian seseorang terhadap orang lain atau dirinya sendiri. Yang paling penting adalah penilaian Allah: di mata Allah kita adalah orang-orang kudus melalui korban Kristus yang sempurna!
Frase “dipanggil sebagai orang-orang kudus” mengajarkan beberapa kebenaran teologis yang luar biasa. Pertama, sebagaimana Paulus dipanggil sebagai rasul berdasarkan anugerah Allah (1:1 “yang oleh kehendak Allah dipanggil menjadi rasul Kristus Yesus”), demikian pula status jemaat Korintus sebagai orang-orang kudus adalah hasil kasih karunia. Status ini bukan sesuatu yang diraih atau diusahakan oleh jemaat, melainkan diberikan oleh Allah berdasarkan kehendak-Nya. Status ini bukan pemberian pemimpin gereja.
Kedua, status yang bersumber dari korban Kristus ini memiliki nuansa kebersamaan. Semua orang yang beriman kepada Kristus layak disebut sebagai orang-orang kudus. Berbeda dengan kebiasaan denominasi tertentu yang menggunakan sebutan atau gelar “orang-orang kudus” sebagai penghargaan untuk superioritas kerohanian seseorang, Paulus menggunakan sebutan “orang-orang kudus” secara inklusif. Dalam kasus ini, tidak ada seorang Kristen yang lebih rohani daripada yang lain. Perbedaan kerohanian hanya terjadi dalam kasus pengudusan progresif (progressive sanctification).
Ketiga, status sebagai orang-orang kudus menuntut gaya hidup yang berbeda dengan dunia. Kita terikat oleh ukuran moral dan konsep etis tertentu. Karena Allah adalah kudus, kita pun wajib hidup dalam kekudusan (Im 19:1-2; Kel 19:5-6; 22:31; 1 Kor 3:17). Hidup seperti dunia merupakan penyangkalan terhadap status kita di dalam Kristus. Itulah sebabnya dalam Surat 1 Korintus Paulus berulang kali menegur tingkah laku jemaat yang duniawi (3:1-4), bahkan lebih buruk daripada orang-orang dunia (5:1). Mereka dinasihati untuk berhati-hati terhadap dunia, karena pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik (15:33).
Gereja yang am
Kata “am” berarti "umum". Dalam Kredo Rasuli versi Inggris, kata yang dipakai adalah “khatolik” (catholic). Istilah “katholik” dalam konteks ini tidak merujuk pada Gereja Roma Katholik (sebagai pembeda dengan Gereja Protestan). Istilah “katholik” sudah lama digunakan, jauh sebelum terjadi reformasi gereja pada abad ke-16 yang membedakan Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Katholik berarti “am” atau “esa”.
Ada beberapa cara yang digunakan Paulus untuk mengajarkan keesaan gereja di 1 Korintus 1:2. Pertama, ia menggunakan bentuk tunggal “jemaat” (tē ekklēsia). Tidak seperti kebiasaan Paulus di beberapa suratnya yang menggunakan bentuk jamak (Rm 1:7; Flp 1:1; Ef 1:1; Kol 1:2; bdk. 1 Tes 1:1; 2 Tes 1:1), di sini ia menggunakan bentuk tunggal. Para teolog meyakini bahwa jumlah gereja lokal di Korintus lebih dari satu (sebagaimana di beberapa kota besar yang lain), tetapi Paulus sengaja memakai bentuk tunggal. Melalui poin gramatikal ini ia ingin menegaskan bahwa walaupun lokasi dan pemimpin gereja-gereja tersebut berlainan, tetapi semua adalah satu. Gereja-gereja lokal adalah bagian dari gereja universal yang am.
Kedua, ia menambahkan ayat 2b yang cukup panjang dan bernuansa inklusif. Dari sisi isi surat, penambahan “dengan semua orang di segala tempat” tidak diperlukan, karena Surat 1 Korintus bukan surat edaran umum yang relevan untuk beragam gereja lokal (bdk. Kol 4:16). Paulus hanya menyinggung situasi khusus dalam gereja-gereja lokal di Korintus. Menariknya, ia sengaja menuliskan “dengan semua orang di segala tempat”.
Keesaan Gereja dalam ayat 2b dipertegas dengan penggunaan kata “semua” (pasin) dan “segala tempat” (en panti topō). Tidak ada batasan tempat. Tidak ada batasan sosial dan budaya. Pemersatunya adalah “yang berseru kepada nama Tuhan kita, Yesus Kristus”. Siapa saja yang berseru kepada Tuhan Yesus Kristus berarti memiliki kesatuan rohani. Dalam teologi Paulus, seruan ini dikaitkan dengan pertobatan dan iman (Rm 10:12-14; lihat juga Kis 2:21). Jadi, siapa saja yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat – tidak peduli siapa dan di mana pun mereka berada – semua adalah satu (am).
Penegasan lain tentang keesaan gereja di 1:2b juga terlihat dari penambahan “Tuhan mereka dan Tuhan kita” (autōn kai hēmōn, lit. “milik mereka dan kita”). Secara tata bahasa, tambahan ini bisa menerangkan “tempat” (tempat mereka dan tempat kita), tetapi secara konseptual lebih mengarah pada “Tuhan mereka dan Tuhan kita” (hampir semua versi). Perbedaan detil dalam gereja-gereja lokal tidak meniadakan sebuah fakta bahwa mereka semua memiliki Tuhan yang sama. Kesatuan ini jauh lebih bermakna daripada perbedaan-perbedaan minor yang sering dibesar-besarkan oleh sebagian gereja.
Bagi jemaat Korintus, ajaran tentang keesaan ini terdengar sangat relevan. Sebagai gereja yang berdomisili di sebuah kota kolonial Romawi yang besar dan strategis di propinsi Akhaya, orang-orang Kristen di sana bisa saja tergoda untuk menganggap diri paling hebat dibandingkan dengan gereja-gereja lain di propinsi yang sama (lihat 2 Kor 1:1). Hal ini diperparah dengan bahaya laten kesombongan rohani yang merembesi kehidupan berjemaat di Korintus (4:18-19; 5:2; 8:1). Ajaran tentang keesaan gereja juga relevan bagi jemaat Korintus apabila dikaitkan dengan situasi mereka yang rentan terhadap perpecahan (3:9, 16, 23; 10:17; 12:12-13, 27). Bagi jemaat yang cenderung sombong, suka berkonflik, dan memiliki kelebihan tertentu seperti jemaat Korintus, keesaan gereja sangat perlu untuk dikumandangkan dan ditekankan. Walaupun gereja mereka besar dan terletak di kota besar, gereja mereka tidak lain hanyalah salah satu bagian dari gereja universal. Tidak ada superioritas dan supremasi antar gereja.
Konsep ini menjadi dasar bagi Paulus untuk menggunakan kebiasaan-kebiasaan di semua gereja sebagai bagian dari teguran dan nasihatnya kepada jemaat Korintus (7:17; 11:16; 14:33, 36). Kesatuan memang bukan keseragaman, tetapi keanehan tetap perlu diwaspadai. Gereja yang aneh hampir selalu identik dengan gereja yang sesat.
Keesaan gereja juga menjadi pondasi bagi ajakan Paulus kepada jemaat Korintus untuk berpartisipasi dalam bantuan mereka bagi orang-orang kudus di Yerusalem (16:1-4). Kesusahan semua orang Kristen adalah kesusahan bersama. Allah seringkali memelihara sebuah gereja melalui gereja-gereja yang lain. Jadi, gereja yang am menuntut kita untuk saling berbagi dan memberi kontribusi. Soli Deo Gloria.