Teks ini merupakan salah satu bagian Alkitab yang paling terkenal. Sayangnya, teks yang paling akrab di telinga kita seringkali justru menjadi teks yang biasa saja. Kita tidak tertantang untuk menyelidikinya lagi secara lebih cermat. Tidak heran, keindahan dari teks tersebut dengan mudah terlewatkan.
Sebelum mengupas masing-masing bagian dari teks ini secara lebih detil, ada beberapa poin pengantar yang perlu untuk dipelajari terlebih dahulu. Hal pertama adalah konteks. Posisi Matius 5:13-16 cukup menarik untuk diperhatikan. Teks ini muncul sesudah Tuhan Yesus membicarakan tentang penganiayaan (5:10-12). Dengan kata lain, situasi yang sedang dipikirkan bukanlah situasi yang mudah dan nyaman. Ada resiko yang menanti.
Teks ini sekaligus diletakkan sebelum Tuhan Yesus menuntut agar kesalehan kita melebihi legalisme orang-orang Farisi terhadap Taurat (5:17-20; ayat 20 “hidup keagamaan” = kesalehan). Posisi semacam ini menyiratkan bahwa kehidupan kita akan selalu dipantau oleh orang lain dan dibandingkan dengan kepercayaan yang lain. Kita tidak hanya diperintahkan untuk menyamai, melainkan melebihi mereka di dalam kesalehan. Ini bukan tugas yang mudah.
Jika di tengah situasi yang mudah dan nyaman saja orang-orang Kristen seringkali gagal memainkan peran sebagai garam dan terang, bagaimana jika kita dituntut untuk menunjukkan itu di tengah-tengah penganiayaan dan tekanan? Mampukah kita menyediakan teladan konkrit dari kekristenan melalui kehidupan kita di tengah dunia?
Hal kedua yang tidak boleh dilupakan adalah relevansi. Metafora garam dan terang menyiratkan sesuatu yang terus-menerus diperlukan. Beberapa literatur Yahudi kuno menyatakan secara eksplisit bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa garam (dan terang). Ini bukan tentang barang atau benda yang hanya diperlukan setiap bulan atau setiap tahun. Ini bukan hanya diperlukan oleh segelintir orang di budaya tertentu. Setiap hari orang membutuhkan garam untuk memasak. Setiap hari orang membutuhkan terang pada waktu malam hari. Jadi, walaupun konteks spesifik yang sedang dipikirkan adalah penganiayaan dan tekanan, peranan sebagai garam dan terang berlaku secara universal dan permanen. Di manapun dan kapanpun peranan kita akan selalu relevan.
Hal terakhir adalah identitas. Kita sering mendengar banyak orang Kristen mengatakan: “kita harus menjadi garam dan terang dunia”. Ungkapan seperti ini ternyata tidak sepenuhnya tepat. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita adalah garam dan terang. Ini lebih tentang identitas kita di tengah-tengah dunia, bukan sekadar peranan. Peranan justru muncul dari identitas. Persoalan di dunia bukan terjadi karena tidak ada garam atau terang, tetapi karena garam itu telah menjadi tawar dan terang itu telah ditutupi oleh gantang.
Poin ini dipertegas dengan pemunculan kata ganti orang hymeis sebagai subjek eksplisit. Secara hurufiah struktur kalimat hymeis este berarti “kalian, kalian adalah” (pengulangan subjek). Makna yang tersirat adalah “kalian, bukan yang lain”. Sebagai pengikut Kristus dan warga kerajaan Allah, kita berbeda dengan orang-orang dunia. Kita memiliki identitas khusus. Berdasarkan identitas itulah kita memainkan peranan di dalam dunia ini.
Garam dunia (ayat 13)
Sebagian orang telah melakukan kesalahan anakronisme, yaitu memahami sesuatu yang kuno dari perspektif yang lebih modern. Mereka memahami metafora garam ini berdasarkan beragam fungsi garam pada zaman modern. Hal ini jelas tidak dibenarkan.
Kita sebaiknya melihat fungsi garam di teks ini sesuai dengan budaya kuno pada waktu itu. Orang-orang Yahudi biasanya menggunakan garam untuk dua keperluan: mengawetkan dan memberi rasa pada makanan. Jika ini benar, maka dunia diasumsikan sedang berada dalam keadaan yang mendekati kebusukan dan ketawaran. Kejahatan ada di mana-mana. Ketidakpedulian merajalela. Di tengah situasi semacam ini, kita terpanggil untuk menunjukkan jati diri kita. Kita mempertahankan apa yang baik dan mencegahnya dari kebusukan. Kita memberi rasa enak pada dunia ini melalui kesalehan hidup kita yang sudah ditransformasi oleh kuasa Injil Yesus Kristus.
Kita tidak dituntut untuk menghasilkan rasa asin bagi diri kita sendiri. Sebagai garam, kita sudah asin. Identitas di dalam Kristus adalah sumber rasa asin kita. Kita hanya perlu berbagi rasa asin kepada dunia sambil menjaga diri sendiri agar tetap asin.
Kegagalan melakukan peranan ini adalah sebuah tragedi yang fatal. Istilah “menjadi tawar” (mōranthē) secara hurufiah berarti “menjadi bodoh,” karena kata dasar mōrainō memang mengandung arti “menjadi atau menunjukkan diri bodoh” (1 Kor 1:20; Rm 1:22). Adalah sebuah kebodohan apabila sebuah benda disebut garam tetapi benda itu tidak memiliki rasa asin di dalamnya.
Bagi orang modern di berbagai belahan dunia yang teknologinya sudah sedemikian maju, metafora garam di ayat ini mungkin membingungkan. Kita terbiasa dengan produk garam yang seluruh bagiannya dapat dilarutkan dalam air atau kuah. Tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
Untuk memahami metafora ini, kita perlu membayangkan garam kuno, terutama di dalam budaya Yahudi. Mereka biasanya mengambil garam dari Laut Mati. Garam tersebut tidak murni, karena tercampur dengan berbagai mineral atau zat lain. Pada saat dilarutkan ke dalam air pada waktu memasak, bagian yang mengandung garam (sodium klorida) seringkali larut terlebih dahulu, sehingga hanya tersisa zat atau mineral lainnya. Jika ini yang terjadi, semua sisa mineral itu sudah tidak berguna lagi. Sisa itu akan dibuang ke tengah jalan dan diinjak-injak orang.
Begitu pula dengan orang-orang Kristen yang gagal memainkan peranan sebagai garam dunia. Mereka bukan hanya menjadi “tidak berguna,” melainkan diremehkan oleh dunia. Kita akan dipermalukan. Itu terjadi karena kita sendiri telah membuat diri terlihat bodoh (menjadi tawar).
Terang dunia (ayat 14-16)
Metafora ini sepintas membingungkan. Dalam injil yang lain disebutkan bahwa terang dunia adalah Yesus Kristus sendiri (Yoh 8:12; 9:5; 12:35), bukan para pengikutnya. Untuk menjelaskan persoalan ini kita perlu mengingat bahwa metafora yang sama dapat digunakan dengan maksud yang berbeda-beda. Misalnya, baik Yesus maupun Iblis sama-sama perlu digambarkan sebagai singa (1 Pet 5:8; Why 5:5).
Solusi lain adalah memandang para pengikut Kristus sebagai cerminan terang Kristus. Kita adalah “terang di dalam Tuhan” (Ef 5:8). Kita adalah terang yang lebih kecil yang berguna untuk menuntun orang lain menuju pada terang sesungguhnya yang lebih besar. Sama seperti Yohanes Pembaptis, kita hanyalah pelita yang sementara (Yoh 5:35) yang mengarahkan orang pada Kristus sebagai terang dunia.
Sebagai terang dunia, kita terpanggil untuk memainkan peranan di tengah kegelapan dunia. Meminjam ungkapan Paulus, identitas sebagai terang dimaksudkan: “supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Flp 2:15). Kegelapan dunia bukan untuk diratapi dan didoakan saja. Kita terpanggil untuk mengalahkan kegelapan melalui kesalehan.
Sebagian penafsir Alkitab mengaitkan “terang dunia” ini dengan ajaran masyarakat Qumran pada zaman Tuhan Yesus. Mereka juga menyebut diri sebagai anak-anak terang. Perbedaannya, mereka tinggal menyendiri dan terpisah dari dunia. Kesalehan mereka hanya terlihat di gua-gua Qumran. Tidak demikian dengan para pengikut Tuhan Yesus. Mereka dituntut untuk tetap hidup di dalam dunia yang gelap. Justru di tengah kegelapan inilah keberadaan mereka menjadi lebih disorot dan bermanfaat. Kita adalah terang dunia.
Peranan ini tidak sulit untuk dilakukan apabila kita hidup seturut identitas kita di dalam Kristus. Kita diibaratkan sebuah kota yang ada di puncak bukit (ayat 14). Kota ini dipenuhi oleh pelita di malam hari. Dengan posisi seperti ini tidak mungkin kota tersebut tidak terlihat oleh yang lain.
Hanya kebodohan yang membuat kota itu tidak terlihat, yaitu apabila orang menyalakan pelita, tetapi lantas menutupi pelita itu dengan gantang (ayat 15). Gantang (modios) adalah sejenis tempayan untuk mengukur biji-bijian. Satu gantang rata-rata setara dengan 8,75 liter. Jika ini yang terjadi, rumah tetap dalam keadaan gelap. Jika tiap rumah seperti ini, kota yang di puncak bukit pun akan tidak terlihat. Dengan kata lain, hanya kebodohan kita sendiri yang membuat dunia tidak dapat melihat terang dalam kehidupan kita. Sama seperti garam yang menjadi bodoh (tawar), demikian pula kita telah bertindak konyol apabila kita secara sengaja menutupi terang Kristus dalam kehidupan kita.
Sebaliknya, apabila kita menunjukkan terang itu, yaitu melalui perbuatan baik kita, Bapa di surga akan dipermuliakan (ayat 16), bukan dipermalukan. Orang akan tahu bahwa kita adalah anak-anak Allah (5:9). Orang akan didorong untuk datang kepada Bapa. Walaupun Bapa berada di surga (ayat 16 “Bapamu yang di surga”), tetapi keberadaan Bapa akan terlihat jelas melalui kesalehan kita di dunia. Pendeknya, perbuatan baik kita dapat menjadi jembatan bagi orang lain untuk datang kepada Allah (1 Pet 2:11-12; 3:1-2). Soli Deo Gloria.