Thomas merupakan salah satu murid Tuhan Yesus yang dikenang karena sesuatu yang kurang positif. Ia dikenal sebagai Sang Peragu/Pembimbang (the Doubter). Ia hanya mau percaya kalau ia sudah melihat bukti yang nyata. Nama lain yang ia sandang, yaitu Didimus (11:16; 20:24; 21:2, artinya Si Kembar), bahkan kadangkala ditafsirkan secara simbolis sebagai rujukan pada kepribadiannya yang selalu mendua.
Kesan umum seperti di atas tentu saja tidak adil bagi Thomas. Semua murid lain pun baru percaya kebangkitan Yesus setelah mereka melihat bukti tertentu. Murid yang dikasihi Tuhan percaya sesudah ia menyaksikan kubur yang kosong (20:8). Demikian pula dengan semua murid lain yang baru bisa bersukacita pada saat mereka melihat luka di tangan dan lambung Tuhan Yesus (20:20, 25). Di samping itu, tidak setiap pemunculannya Thomas digambarkan sebagai seorang yang ragu-ragu, sehingga penafsiran simbolis terhadap nama Didimus terlihat terlalu dipaksakan.
Thomas: rasionalis yang pemberani (ayat 24-25)
Thomas sebagai salah satu karakter di Injil Yohanes muncul sebanyak empat kali di 11:16, 14:5, 20:24-28, dan 21:2. Dari semua penampilan ini terlihat bahwa ia adalah seorang yang rasionalis dan pemberani. Pada saat Tuhan Yesus ingin kembali ke Yudea untuk melihat Lazarus yang sakit/mati – padahal sebelumnya Ia akan dirajam batu di sana – Thomas dengan spontan berkata: “Mari kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia” (11:16). Demikian pula pada saat ia meresponi ucapan Tuhan Yesus tentang tujuan kepergian-Nya dan jalan ke sana. Mengingat Yesus sendiri sudah mengatakan bahwa ke tempat Ia pergi tidak ada orang yang bisa datang (13:33, 36), Thomas dengan segera menjawab: “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” (14:5).
Berpikir rasional bukanlah hal yang salah. Allah menciptakan dan menebus akal budi kita (Rom 12:2). Kekeliruan baru muncul pada saat kita menganut rasionalisme. Segala sesuatu harus sesuai dengan rasio kita, padahal rasio manusia sangat terbatas untuk memahami semua realita yang ada. Begitu pula dengan Thomas. Dia tidak menyadari ketidaktahuannya tentang rencana (11:16) maupun ajaran Tuhan (14:5). Tuhan Yesus datang ke tempat Lazarus bukan untuk dibunuh tetapi menunjukkan kuasa-Nya atas kematian. Tempat yang dituju Tuhan adalah salib/surga dan Yesus sendiri adalah jalan menuju ke sana (14:6). Kalau Thomas mengenal Tuhan seharusnya ia mengenal jalan tersebut.
Pemikiran yang rasionalis di atas turut membentuk sikap Thomas terhadap berita kebangkitan Yesus. Ia baru mau percaya kalau ada bukti nyata. Tidak seperti murid-murid lain yang mungkin enggan mengungkapkan ketidak-percayaan dan keraguan mereka, Thomas secara berani dan eksplisit menunjukkan hal itu.
Penjelasan di 20:24 bahwa Thomas adalah salah seorang dari kedua belas rasul merupakan tambahan yang menarik. Penjelasan seperti ini sebelumnya hanya dikenakan pada Yudas Iskariot (6:71). Penulis Injil Yohanes mungkin ingin menunjukkan bahwa sekalipun Yudas dan Thomas sama-sama meninggalkan persekutuan dengan murid-murid lain (13:30; 20:24), tetapi Thomas berbeda dengan Yudas. Thomas tidak meninggalkan persekutuan selama-lamanya seperti yang dilakukan oleh Yudas.
Jika kita melihat secara lebih seksama, penolakan Thomas terhadap berita kebangkitan terkesan sangat ekstrim. Dari struktur kalimat Yunani di ayat 25a (bentuk imperfek elegon) terlihat bahwa murid-murid lain selama delapan hari terus-menerus memberitahu dia tentang berita itu. Penggunaan kata ganti orang “kami” dalam kalimat “kami telah melihat Tuhan” juga seharusnya dikontraskan dengan kesaksian Maria di ayat 18. Menurut tradisi Yahudi kesaksian perempuan (apalagi hanya satu orang) dianggap kurang berbobot, sehingga wajar kalau Thomas tidak percaya kesaksian Maria. Namun, kali ini Thomas mendapatkan berita itu dari murid-murid lain. Dari sisi jumlah dan jenis kelamin kesaksian itu seharusnya sudah memadai. Tidak demikian bagi Thomas. Ia bahkan menuntut lebih dari sekadar melihat: ia ingin mencucukkan jarinya ke luka Yesus! Untuk menekankan keseriusan pada ucapannya, Thomas bahkan menggunakan struktur kalimat yang sama yang diucapkan Yesus di 3:3 dan 6:53 “jikalau...tidak...tidak akan...” Pemunculan kata “tidak” sebanyak dua kali (ayat 25b ou mē) di ucapan Thomas semakin menegaskan keseriusan Thomas.
Respon Tuhan Yesus terhadap keraguan Thomas (ayat 26-27)
Walaupun Thomas menunjukkan ketidakpercayaan yang ekstrim, Tuhan Yesus tetap mempedulikan dia. Penjelasan detil bahwa penampakan diri Yesus kepada Thomas terjadi “delapan hari kemudian” perlu untuk dicermati. Dua penampakan sebelumnya selalu terjadi pada hari pertama minggu itu (Hari Minggu, ayat 1, 19). Delapan hari kemudian berarti tepat pada hari yang sama. Itulah sebabnya perayaan Sabat Yahudi (Sabtu) diganti menjadi perayaan Hari Tuhan (Minggu) oleh gereja mula-mula (Why 1:10; Kis 20:7; 1 Kor 16:2).
Apa saja yang dilakukan Tuhan terhadap Thomas? Tuhan mengetahui pergumulan Thomas. Pada saat Thomas mengungkapkan keraguannya, ia hanya mengucapkan itu di depan murid-murid yang lain. Secara fisik Tuhan tidak hadir di sana. Tidak ada seorang pun yang memberitahukan hal itu kepada-Nya. Namun, Ia tetap mengetahui pergumulan Thomas. Cara Tuhan menampakkan diri kepada Thomas menunjukkan bahwa Ia mengetahui situasi yang terjadi.
Tuhan Yesus juga memberikan apa yang sangat dibutuhkan Thomas. Di tengah ketakutan terhadap orang-orang Yahudi (ayat 19, 26) dan ketidakpercayaannya (ayat 24-25), hal yang paling dibutuhkan Thomas adalah damai sejahtera. Kedamaian akan mengalahkan kebimbangannya. Karena itulah Tuhan mengucapkan “damai sejahtera bagi kamu”. Walaupun dari sisi tata bahasa Yunani salam ini diberikan kepada semua murid, namun Thomas pasti termasuk di dalamnya. Kita juga perlu memahami bahwa ini bukanlah salam biasa seperti dalam tradisi Yahudi. Di perikop sebelumnya Tuhan sampai mengulang salam ini sebanyak dua kali (ayat 19, 21). Seandainya ini hanyalah sapaan biasa, maka hal itu tidak terlalu penting untuk dituliskan, apalagi sampai diulang beberapa kali.
Tuhan Yesus juga mengajak Thomas untuk percaya sesuai dengan kapasitas dia. Kerelaan Tuhan Yesus untuk “memenuhi” tuntutan Thomas yang mau melihat dan mencucukkan jarinya ke luka Tuhan Yesus (ayat 27a) adalah hal yang luar biasa. Walaupun di ayat selanjutnya kita mengetahui bahwa iman yang didasarkan pada penglihatan bukanlah iman yang terpuji (ayat 29), tetapi Tuhan Yesus berkenan menemui Thomas sesuai dengan tingkatan imannya.
Ketidakpercayaan Thomas di bagian ini tidak boleh ditafsirkan dalam konteks keselamatan (seolah-olah Thomas adalah seorang yang belum percaya). Dalam Injil Yohanes iman bersifat progresif. Banyak hal yang baru dipahami murid-murid setelah Tuhan Yesus bangkit atau naik ke surga (misalnya 2:22; 13:7). Di sinilah kita belajar bahwa keyakinan dan ketidakpercayaan kadangkala bisa muncul bersamaan. Karena itu kita perlu berdoa: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mar 9:24).
Pengakuan yang terindah (ayat 28)
Posisi ayat ini di akhir kitab dan tepat sebelum tujuan Injil Yohanes diungkapkan (20:30-31) menjadikan pengakuan Thomas terasa spesial. Pengakuan yang relatif pendek ini ternyata penuh makna. Sayangnya, tidak demikian bagi penganut Unitarian dan Saksi Yehowah yang menolak keilahian Yesus. Mereka menganggap ucapan Thomas di sini bukan sebagai pengakuan, melainkan seruan kekagetan (semacam seruan “oh, my God” dalam tradisi Barat modern).
Penafsiran semacam ini jelas terlalu mengada-ada. Orang-orang Yahudi pada jaman dulu sangat menjunjung tinggi nama Allah (Kel 20:7), sehingga mereka tidak mungkin secara latah menyebutkan nama Allah pada saat mereka mengalami kekagetan. Dari sisi konteks cerita, pengakuan Thomas pasti bukan seruan kekagetan, karena setelah masuk secara tiba-tiba di ruangan yang terkunci, Tuhan Yesus masih sempat mengucapkan kalimat panjang di ayat 27. Seandainya ini adalah seruan kekagetan, maka ucapan Thomas ini pasti diletakkan tepat setelah ayat 26, sebelum Yesus berkata-kata kepada Thomas. Dari sisi kosa kata dan tata bahasa pun pandangan Saksi Yehowah dan Unitarian pasti salah. Alkitab secara eksplisit menuliskan “Thomas menjawab” (apokrinomai) dan berkata (legō), bukan “Thomas berseru” (krazō). Sebagai tambahan, jawaban tersebut juga secara khusus ditujukan “kepada Dia” (autō). Seandainya ini hanyalah seruan maka penulis Injil Yohanes akan memakai kata kerja krazō dan ditujukan pada semua orang.
Apa yang diucapkan Thomas sebagai pengakuannya mengandung makna yang mendalam. Pengulangan kata “ku” sebanyak dua kali menunjukkan bahwa pengakuan ini bersifat pribadi. Bukan berarti Thomas sedang bersikap egois (Yesus hanyalah Allah dan Tuhan bagi dia saja), tetapi ia sedang ingin menekankan betapa pengakuannya muncul dari dasar hatinya yang terdalam, seolah-olah ia tidak peduli dengan orang lain. Pengakuannya tidak sekadar didasarkan pada pengakuan bersama dengan murid-murid lain. Ia secara pribadi mengakui Tuhan Yesus!
Apa yang dia akui juga hal yang sangat penting. Kebangkitan telah meneguhkan iman Thomas bahwa Yesus adalah Allah dan Tuhan. Sejak awal Yesus memang ditampilkan sebagai Allah (1:1). Seruan Yohanes (Pembaptis) di awal kitab ini turut mempertegas kebenaran bahwa Yesus adalah Tuhan (1:23). Yesus sendiri pun menegaskan bahwa Ia memang adalah Tuhan (13:13-14). Hal ini tampak lebih luar biasa apabila kita kaitkan dengan fakta bahwa sebutan “Tuhan” juga pernah dikenakan pada Allah (12:13).
Berkat bagi yang percaya walaupun tanpa melihat (ayat 29)
Injil Yohanes menyinggung beberapa konsep tentang iman. Ada orang-orang tertentu yang mengikuti Yesus hanya untuk memuaskan kebutuhan jasmani mereka (6:25-26). Orang semacam ini pasti akan meninggalkan Tuhan pada saat mereka menghadapi kesukaran (6:66). Ada juga orang-orang yang percaya hanya karena melihat mujizat (2:23). Kepada orang semacam ini Yesus tidak mau mempercayakan diri-Nya (2:24-25). Hati mereka tidak sungguh-sungguh untuk Tuhan. Ada juga orang yang seperti Thomas. Walaupun keyakinannya didorong oleh mujizat tetapi ia akhirnya mengambil keputusan pribadi dari dalam hatinya. Iman yang paling indah adalah yang diajarkan Yesus di 20:29, yaitu percaya sekalipun tidak melihat. Dari ucapan Tuhan Yesus kepada Thomas terlihat bahwa Thomas akhirnya tidak jadi mencucukkan jarinya ke luka Tuhan. Tuhan tidak mengatakan “berbahagialah mereka yang melihat dan mencucukkan jarinya...” Thomas sudah belajar bahwa tuntutan imannya adalah terlalu berlebihan.
Seandainya semua hal sudah nyata/jelas bagi kita, maka iman kita seringkali tidak lebih dari sekadar keterpaksaan. Mau tidak mau kita pasti akan percaya karena bukti yang ada sudah tidak terbantahkan. Iman yang benar adalah mempercayai apa yang dikatakan dalam kitab suci (20:20-31). Maukah kita percaya? Soli Deo Gloria. Amen.