Alkitab mengajarkan kita untuk mengasihi sesama manusia (Mat. 22:39), tidak peduli siapapun dia (Luk. 10:25-37). Jangkauan kasih ini mencakup musuh-musuh kita (Mat. 5:44/Luk. 6:27, 35). Tidak ada seorangpun yang dikecualikan sebagai objek kasih orang-orang Kristen. Objek kasih sangat inklusif.
Walaupun demikian, inklusivitas kasih tidak meniadakan prioritas kasih. Keduanya tidak perlu dikontraskan seolah-olah bertentangan. Alkitab yang sama mengajarkan bahwa kita harus berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman (Gal. 6:10). Semangat yang sama diusung oleh jemaat mula-mula yang mau berbagi apa saja yang mereka punya untuk memenuhi kebutuhan saudara seiman yang berkekurangan (Kis. 2:44-45; 4:32-37).
Nasihat dan praktek hidup di atas bersumber dari ajaran Yesus Kristus sendiri. Dalam teks kita hari ini Tuhan mengajarkan murid-murid-Nya untuk saling mengasihi satu sama lain seperti Dia telah mengasihi mereka sehingga dunia akan mengenal bahwa mereka benar-benar murid Tuhan. Dari cara-Nya menjadikan perintah ini sebagai tanda bagi orang luar untuk mengenali identitas kita (ayat 35a “dengan demikian semua orang akan tahu”), kita dapat menarik kesimpulan bahwa perintah ini berbeda dengan perintah untuk mengasihi yang lain, misalnya mengasihi semua orang atau musuh-musuh kita. Ada urgensi dalam teks ini. Ada prioritas di sana.
Bagaimana kita bisa berfokus pada saudara seiman dan mengasihi mereka dengan benar? Teks kita hari ini akan mengajarkan tiga poin penting tentang mengasihi saudara seiman.
Mengasihi merupakan sebuah perintah
Poin ini sekilas terlihat begitu biasa. Alkitab memang memberikan begitu banyak perintah untuk mengasihi. Mengapa kita perlu menegaskan kembali di sini? Jawabannya sederhana: karena kita seringkali tidak benar-benar memahami kebenaran ini yang sederhana ini.
Jika mengasihi merupakan perintah, hal itu berarti bahwa mengasihi adalah sebuah tindakan, bukan hanya perasaan. Diupayakan, bukan muncul secara spontan. Wujud ketaatan, bukan sekadar kebiasaan. Pendeknya, kasih itu aktif, bukan pasif.
Contoh paling jelas untuk poin ini adalah karakteristik kasih di 1 Korintus 13:4-7. Dalam teks Yunani semua karakteristik tersebut muncul dalam bentuk kata kerja aktif. Jadi, kasih adalah perasaan terdalam yang diwujudkan ke luar.
Jika mengasihi merupakan perintah, hal itu juga berarti bahwa mengasihi merupakan kewajiban, bukan sebuah pilihan. Kewajiban di sini tentu saja tidak boleh disamakan dengan keterpaksaan. Ada orang yang melakukan kewajibannya tanpa terpaksa. Sebaliknya, ada orang yang dipaksa untuk melaksanakan apa yang bukan menjadi kewajibannya. Kewajiban dan keterpaksaan tidak selalu harus disandingkan. Sebagai contoh, orang tua berkewajiban untuk merawat dan menyekolahkan anak, tetapi mereka melakukannya bukan dengan terpaksa. Sebaliknya, seorang sandera bisa dipaksa untuk melakukan kejahatan oleh orang yang menyandera dia, walaupun itu bukan kewajibannya.
Kewajiban muncul dari tugas yang diberikan dan peranan yang dimainkan. Seseorang yang diberi tugas dan peran memiliki kemungkinan untuk tidak menjalankannya, tetapi dia tetap tidak memiliki pilihan. “Pilihan” untuk tidak melaksanakan adalah pembangkangan atau ketidaktaatan. Kewajiban tidak menyisakan ruang untuk pilihan.
Mengasihi memiliki patokan
Kita berada di tengah dunia yang sedang mengalami krisis kasih. Bukan sekadar tidak ada kasih yang memadai di bumi, tetapi juga ada kerancuan tentang konsep kasih. Kebingungan ini terungkap dalam berbagai slogan populer: tidak menyetujui pandangan orang lain berarti tidak mengasihi, menyatakan sebuah kebenaran mutlak dianggap congkak, menilai tindakan orang lain disamakan dengan menghakimi, dan sebagainya.
Tuhan Yesus bukan hanya memberikan perintah untuk mengasihi, tetapi Dia juga menjelaskan bagaimana kita seharusnya mengasihi. Ada patokan yang diberikan. Kita mengasihi seperti Dia telah mengasihi kita (ayat 34b “sama seperti Aku telah mengasihi kamu”).
Patokan seperti inilah yang membuat perintah tadi layak disebut sebagai baru (ayat 34a “Aku memberikan perintah baru kepadamu”). Perintah untuk mengasihi sesama umat perjanjian sebenarnya sudah ada sejak lama (Im. 19:18 “orang-orang sebangsamu…sesamamu manusia”). Hanya saja, patokan yang ditetapkan tidak seberapa tinggi. Waktu itu Allah belum menjadi manusia sebagai puncak wujud kasih-Nya. Kini standar kasih yang baru sudah ditetapkan.
Seperti apakah wujud konkrit dari patokan ini? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhatikan konteks Yohanes 13 secara teliti.
Mengasihi seperti Yesus berarti mengasihi saudara seiman sampai pada akhirnya. Seluruh kisah dan percakapan di Yohanes 13 dimulai dengan kalimat “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (ayat 1b). Yang ditekankan di sini adalah konsistensi, tidak peduli apapun yang akan terjadi. Yesus tahu bahwa Yudas akan mengkhianati Dia (13:2). Dia tahu Petrus akan menyangkali Dia (13:36-38). Semua ini tidak pernah membatalkan kasih-Nya kepada murid-murid-Nya.
Mengasihi seperti Yesus berarti merendahkan diri untuk melayani saudara seiman. Bukan kebetulan kalau konsistensi kasih Yesus dikaitkan dengan tindakan pembasuhan kaki (13:4-5). Yesus bahkan menetapkan tindakan itu sebagai teladan yang harus diikuti (13:12-15). Bukti kasih tersukar adalah melepaskan semua kelebihan dan kebanggaan demi melayani orang-orang yang kelak (pasti) mengecewakan. Kita membuang semuanya tanpa mendapatkan apa-apa. Mengasihi dengan kesadaran akan disakiti.
Mengasihi seperti Yesus berarti berani mengurbankan segalanya demi sesama. Teks kita hari ini diikuti oleh nubuat Yesus tentang kegagalan Petrus dalam memberikan nyawanya bagi Dia (13:36-38). Petrus dengan tepat memahami harga yang dibayar untuk mengasihi seperti Yesus telah mengasihi murid-murid-Nya. Harganya mungkin adalah nyawa. Hanya saja, Petrus masih belum sanggup untuk melakukannya. Dalam teks yang lain, Yesus mengulang perintah untuk saling mengasihi seperti Dia telah mengasihi murid-murid-Nya (15:12), lalu Dia langsung memberikan keterangan tambahan: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (15:13). Ayat paralel ini semakin menegaskan apa yang dimaksud dengan mengasihi seperti Yesus telah mengasihi.
Mengasihi memiliki tujuan
Perintah untuk saling mengasihi saudara seiman sekilas terlihat terlalu internal. Kesan yang ditangkap mungkin malah eksklusif. Kurang memedulikan orang luar.
Kesan ini akan lenyap ketika kita mengamati tujuan di balik perintah ini: “Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (ayat 35). Ternyata, perintah ini memiliki tujuan ke luar. Apa yang ada di antara para murid menyampaikan pesan kepada orang-orang yang ada di luar. Atau dengan kata lain, dari pemuridan mengalir ke luar sebagai kesaksian.
Tanda sebagai murid-murid Yesus Kristus di sini sangat perlu untuk ditekankan. Sebelum memberikan perintah ini Yesus sudah menginformasikan tentang kematian-Nya (13:31-33). Dia bahkan menandaskan bahwa ke tempat Dia pergi – yaitu ke kayu salib dan surga - murid-murid-Nya belum bisa berada di sana (13:33). Jika Sang Guru pergi sendiri, bagaimana orang-orang lain akan mengenali mereka sebagai murid-murid-Nya? Bukankah selama ini semua orang mengenali mereka sebagai murid-murid karena kebersamaan mereka secara jasmani dengan Tuhan Yesus? Sang Guru ternyata telah menetapkan sebuah tanda lain: saling mengasihi seperti mereka telah dikasihi oleh Guru mereka. Dengan kata lain, tubuh fisik Tuhan mungkin tidak selamanya dapat dipandang, tetapi kasih-Nya masih dapat dilihat dan dirasakan melalui persekutuan murid-murid Tuhan.
Poin ini tergambar dengan jelas dalam pernyataan bapa gereja Tertulianus yang hidup pada akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3 Masehi. Dia adalah seorang pembela kebenaran Kristiani yang gigih dan pandai. Dalam salah satu tulisannya (Apology 39) Tertulianus mengisahkan bagaimana ikatan kasih di antara orang-orang Kristen telah menjadi daya tarik yang luar biasa di mata dunia:
Perbuatan-perbuatan kasih yang begitu agung adalah yang terutama mengarahkan banyak orang untuk meletakkan sebuah ciri khas kepada kita: “Lihat,” kata mereka, “bagaimana mereka mengasihi satu sama lain…bagaimana mereka bahkan siap untuk mati bagi sesamanya!” Tidak ada peristiwa menyedihkan yang menyebabkan masalah di dalam persaudaraan kita, [dan] kepemilikan keluarga, yang biasanya menghancurkan persaudaraan di antara kalian, justru menciptakan ikatan kebapaan di antara kita. [Dengan] bersatu dalam pikiran dan jiwa, kita tidak segan-segan untuk saling membagi harta duniawi satu dengan yang lain. Segala sesuatu adalah milik bersama, kecuali isteri-isteri kita.
Persaudaraan seperti ini tidak mungkin ada jikalau Kristus tidak memulainya. Dia sudah memberikanbukti kasih terbesar. Kasih itu pula yang dicurahkan ke dalam hati kita dan yang memampukan kita untuk membaginya kepada sesama. Sudahkah kita dilimpahi oleh kasih-Nya? Siapkah kita membagi kasih-Nya kepada sesama? Soli Deo Gloria.