Istilah “dugem” memang baru dikenal dewasa ini. Trend-trend terbaru seputar dugem juga mulai bermunculan. Bagaimanapun, pergumulan dengan kesenangan duniawi bukanlah isu baru bagi gereja. Esensi pergumulan tersebut sudah setua peradaban manusia, seperti diungkapkan dalam buku klasik The City of God karya Agustinus pada abad ke-4 M. Sejarah mencatat dua sikap gereja yang ekstrem terhadap hal ini:
Gereja bersikap negatif dan ofensif terhadap hal-hal yang “sekuler” (abad-abad permulaan).
Apa kena mengena antara Yerusalem dan Athena?
Praktek monastisisme (kebiaraan).
Gereja terjebak dalam dugem (masa kegelapan sampai pra-reformasi).
Ironisnya, coretan historis seperti ini tetap terulang pada masa kini. Sebagian orang Kristen tetap bersikap asketist (menjauhi semua hal-hal keduniawian). Sebagian terjebak pada materialisme dan degradasi moral.
Respon yang tidak tepat di atas berakar dari konsep yang salah tentang kesenangan. Dunia sebagai suatu sistem memang bersifat melawan Allah (1Yoh 2:15-16), tetapi hal itu tidak berarti segala yang ada dalam dunia adalah dosa. Orang Kristen perlu mengalami paradigm shift (perubahan paradigma). Jika tidak, mereka akan kehilangan kesaksian di tengah dunia (band. Yoh 17).
Perspektif secara umum
Kesenangan merupakan ciptaan Allah.
Frase “Allah melihat yang dijadikan-Nya baik” di Kejadian 1
Kebahagian manusia merupakan alasan penting kedua mengapa Allah menciptakan dunia (alasan utama adalah kemuliaan Allah).
Semua yang diciptakan Allah adalah baik (1Tim 4:4).
Ketika menasehati Timotius tentang bidat yang bercorak asketist (ay. 1-3), Paulus memberikan perspektif yang benar tentang hal-hal di dunia: semua yang diciptakan Allah adalah baik dan untuk dinikmati.
Eat to live vs. live to eat
Holy sex vs. sinful free sex
Using wealth to serve God vs. being used by wealth to serve our selves.
Istilah “sekuler” tidak ada dalam kamus Allah.
Orang percaya perlu merefleksi ulang arti “teokrasi”. Dalam PL, teokrasi mencakup seluruh aspek kehidupan, misalnya pertanian, perdagangan, politik, ibadah. Pemikiran teokratis akan menghasilkan pola hidup teosentris.
Perspektif secara khusus (Pengkotbah 2:24-26)
Di pasal 1:1-2:23 Solomon telah menjelaskan kesia-siaan segala yang ada di dunia, tetapi ia tidak bersikap negatif terhadap kesenangan (asketisisme) maupun mengajarkan gaya hidup hedonis (epikurianisme).
Kesia-siaan hidup manusia:
Kesia-siaan kesenangan (ay. 1-3)
Kesia-siaan pencapaian manusia (ay. 4-11)
Kesia-siaan kelebihan manusia (ay. 12-17)
Alasan kesia-siaan hidup manusia:
Manusia tidak bisa menikmati apa yang telah diusahakan (ay. 18-21)
Manusia justru kuatir dengan apa yang mereka miliki (ay. 22-23)
Solusi:
Inti ayat 24-25 diulang beberapa kali dalam kitab Pengkotbah (3:12-15, 22; 5:18-20; 8:15; 9:7-10; 11:9-10).
Being God-centered person (ay. 24).
Manusia yang menganggap semua pencapaian hidupnya secara antroposentris (band. kata ganti “aku” di ayat 1-23) akan berakhir dengan kesedihan, ketidakpuasan dan keputusasaan.
Being sufficient (ay. 25).
Manusia bisa memiliki banyak hiburan/kesenangan (entertainment), tetapi mereka seringkali kehilangan kenikmatan (enjoyment). Solomon menganggap hal ini sebagai dosa (Pengkotbah 6:1-5). Allah bukan hanya memberikan kesenangan, tetapi Ia juga memberikan kemampuan untuk menikmatinya (catatan: mayoritas terjemahan modern yang mengambil kata ganti orang “dia” lebih tepat dibanding terjemahan yang lebih tua, band. KJV, ASV). Menganggap pemberian Allah tidak cukup merupakan penghinaan terhadap Dia (band. 2Sam 12:1-9). Belajar mencukupkan diri merupakan kunci kesenangan yang sesungguhnya (Fil 4:11).
Being right with God (ay. 26)
Tujuan utama dan akhir penciptaan manusia adalah persekutuan dengan Penciptanya. Selama manusia belum berada dalam persekutuan dengan Allah, ia tetap tidak akan menemukan kesenangan. Agustinus (abad ke-4) mengatakan “My soul can not rest until it rests on You”.