Selama sebulan lebih kita sudah mempelajari betapa seriusnya dosa. Semua khotbah tersebut menunjukkan ketidakberdayaan manusia untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Solusi bagi dosa manusia bukanlah penambahan peraturan, perbaikan sistem, atau pengetatan pengawasan. Manusia berdosa dikuasai oleh natur yang berdosa (1 Yoh 3:7-10) dan roh-roh jahat (2 Kor 4:4). Perbuatan dosa mereka merupakan penindasan terhadap kebenaran (Rom 1:18-20).
Apakah situasi di atas menempatkan manusia dalam keadaan yang tanpa harapan? Tidak! Ketidakberdayaan manusia diatasi oleh inisiatif ilahi yang penuh anugerah. Allah memilih sebagian orang berdosa untuk diselamatkan berdasarkan anugerah. Ada banyak aspek dari pilihan ini, namun teks kita minggu ini hanya akan menyoroti salah satunya, yaitu dasar dari pilihan Allah. Apakah alasan di balik pilihan Allah?
Analisa konteks
Apa yang dituliskan Paulus di 9:6-13 tidak dapat dimengerti tanpa pemahaman tentang bagian-bagian sebelumnya. Di pasal 1-8 sudah dijelaskan bahwa semua manusia – baik orang-orang Yahudi maupun Yunani – tidak dapat menyelamatkan diri melalui perbuatan baik (1:18-3:20). Keselamatan adalah melalui iman kepada penebusan Tuhan Yesus (1:16-17; 3:21-31). Siapa saja yang beriman kepada-Nya, terlepas dari keterkaitan secara jasmani atau etnis dari Abraham, adalah keturunan Abraham (4:1-25). Mereka akan menikmati hidup yang berkemenangan di dalam anugerah Allah (5:1-8:39).
Kalau memang demikian, bagaimana dengan nasib bangsa Yahudi sendiri? Mengapa banyak di antara mereka yang justru tidak sampai kepada iman yang menyelamatkan itu? Apakah kelebihan bangsa Yahudi daripada bangsa-bangsa lain?
Paulus tidak menggampangkan persoalan ini. Secara psikologis ia sangat bergumul dengan ketidakpercayaan dari sebagian besar orang-orang sebangsanya (9:1-2). Ia bahkan mau – seandainya hal tersebut dimungkinkan (bdk. 8:35-39) - terpisah dari Kristus demi mereka (9:3). Ia pun tidak menyangkali kelebihan-kelebihan yang Allah sudah berikan kepada bangsa Yahudi (9:4-5).
Terlepas dari keinginan pribadi Paulus (9:3) maupun pengalaman historis bangsa Israel secara komunal di masa lampaui (9:4-5), Paulus memilih untuk tetap berdiri di atas kebenaran firman Tuhan. Solusi bagi kompleksitas persoalan teologis seputar posisi bangsa Yahudi dalam sejarah keselamatan yang baru bukanlah penghiburan psikologis dari Paulus, walaupun simpati yang ditunjukkan Paulus memberi teladan yang sangat indah bagaimana kita seharusnya mendekati persoalan teologis yang pelik semacam ini.
Roma 9:6-13 menyediakan solusi teologis yang luar biasa jenius. Sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut, Paulus menunjukkan dari kitab suci bahwa dari semula pilihan atas Allah atas bangsa Israel memang tidak bersifat komunal, melainkan secara individual. Berasal dari keturunan Abraham maupun etnis Israel bukan jaminan bahwa seseorang adalah orang pilihan.
Firman Allah tidak pernah gagal (ayat 6a)
Kata sambung ‘tetapi’ (de) di ayat ini menyiratkan sebuah kontras. Semua kelebihan bangsa Israel di masa lampau (ayat 4-5) tidak berkontradiksi dengan keadaan mereka sekarang yang akan binasa karena penolakan mereka terhadap Injil. Allah memang mengadakan perjanjian (covenant) dan memberikan janji-janji (promises) kepada mereka. Semua itu tetap ditepati oleh Allah. Seperti yang pernah disinggung sebelumnya oleh Paulus, ketidaksetiaan mereka tidak dapat membatalkan kesetiaan Allah (3:1-4). Pendeknya, kegagalan mereka dalam keselamatan bukan disebabkan oleh kegagalan Allah dalam memegang janji atau firman-Nya.
Peletakan kata ‘tidak’ (ouch) di awal ayat 6a menyiratkan sebuah penegasan. Penerjemah LAI:TB dengan tepat mengungkapkan penekanan tersebut dengan menambahkan kata ‘tidak mungkin’. Penekanan ini juga dikuatkan dengan penggunaan keterangan waktu perfek pada kata ‘gagal’ (ekpeptōken), yang menyiratkan sebuah tindakan di masa lalu tetapi hasil atau akibatnya sampai sekarang.
Kata ‘gagal’ (dari kata dasar ekpiptō) bisa merujuk pada terputusnya rantai (Kis 12:7), terbaliknya perahu (Kis 27:17, 26, 29, 32), gugurnya bunga (Yak 1:11; 1 Pet 1:24), atau kejatuhan secara rohani (Gal 5:4; 2 Pet 3:17). Arti esensial dari kata ini tampaknya adalah terjatuhnya sesuatu dari tempat yang seharusnya. Hal ini tentu saja tidak mungkin terjadi pada firman Allah. Perkataan yang sudah keluar dari mulut-Nya tidak mungkin akan kembali dengan sia-sia (Yes 55:10-11). Segala rencana Allah tidak mungkin gagal (Ay 42:2).
Prinsip teologis: pilihan Allah tidak bersifat komunal (ayat 6b-7)
Akar persoalan terletak pada kesalahpahaman populer di kalangan orang-orang Yahudi. Mereka meletakkan keyakinan keselamatan yang semu pada status sebagai etnis Israel yang bersunat dan memiliki Taurat (lihat 2:1-3:8). Keterkaitan secara etnis/biologis dengan para patriakh dianggap sebagai sebuah jaminan. Hal semacam ini tidak pernah dijanjikan di dalam Alkitab, karena ke-Yahudian sejati tidak bergantung pada hal-hal jasmaniah (2:28-29).
Sebaliknya, Alkitab justru mengajarkan keselamatan yang bersifat individual. Dalam bahasa Paulus, “tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah Israel” (9:6b). Kata ‘Israel’ yang pertama merujuk pada Israel secara etnis atau biologis, sedangkan yang kedua pada orang-orang pilihan di antara bangsa Israel. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa “tidak semua keturunan Abraham adalah anak Abraham” (ayat 7a).
Keturunan sejati dari Abraham adalah bedasarkan pilihan Allah, bukan keterkaitan secara biologis (ayat 7b). Allah sendiri telah menetapkan untuk memperhitungkan keturunan Abraham melalui Ishak (Kej 21:12b). Eksklusivitas pilihan ini terlihat lebih kentara apabila kita mengingat bahwa pilihan ini diucapkan kepada Abraham pada saat ia sedang merisaukan nasib Ismael dan Hagar (Kej 21:12). Seolah-olah ‘tidak terlalu perduli’ dengan perasaan Abraham, TUHAN justru ‘membenarkan’ pengusiran yang dilakukan oleh Sara (Kej 21:9-11): bukan karena tindakan itu secara etis adalah terpuji, melainkan karena hal itu berpadanan dengan rencana-Nya. Perasaan Paulus mungkin seperti Abraham. Walaupun ia sangat sedih dengan nasib orang-orang sebangsanya, ia tetap memilih untuk dihiburkan dengan kebenaran firman Allah, terlepas dari apakah firman itu menyenangkan dirinya atau tidak.
Contoh-contoh dari kitab suci (ayat 8-13)
Prinsip teologis yang dipaparkan di ayat 6b-7 bukan hasil pemikiran Paulus. Konsep itu didasarkan pada karya Allah di dalam sejarah sebagaimana dituliskan dalam kitab suci. Ada dua contoh yang diberikan Paulus di bagian ini.
Pertama, perbandingan antara Ishak dan Ismael (ayat 8-9). Pilihan ilahi yang eksklusif atas Ishak di ayat 7b mungkin masih menyisakan sebuah pertanyaan: Mengapa Ishak yang dipilih? Ayat 8-9 memberikan jawabannya: karena Ishak adalah anak perjanjian.
Ayat 8 tampaknya tidak hanya memberikan penjelasan (tout’ estin, LAI:TB ‘artinya’), tetapi sekaligus aplikasi. Paulus tidak lagi memakai sebutan ‘Israel’ atau ‘keturunan Abraham’, tetapi ‘anak-anak Allah’. Perubahan dari bentuk tunggal pada kata ‘Israel’ (Israēl) dan ‘keturunan Abraham’ (sperma Abraam) ke bentuk jamak ‘anak-anak Allah’ (tekna tou theou) turut mempertegas hal ini.
Kontras antara ‘anak-anak menurut daging’ dan ‘anak-anak perjanjian’ menerangkan dasar dari pilihan Allah atas Ishak, yaitu janji Allah. Sejak semula Allah secara sukarela telah berjanji kepada Abraham untuk memberikan seorang keturunan yang akan memberkati semua bangsa (Kej 12:1-3). Janji ini beberapa kali diteguhkan kembali oleh Allah (15:1-4; 17:18-19; 18:10, 14; bdk. Roma 9:8).
Jadi, walaupun Ismael dilahirkan dari Abraham (Kej 16:1-4, 11-16), disunat sesuai perintah Allah (Kej 17:23), dan menerima berkat dari TUHAN (Kej 17:20), namun perjanjian Allah hanya diadakan dengan Ishak. Walaupun Abraham sangat mengasihi Ismael, tetapi hal itu sama sekali tidak mengubah pilihan Allah (Kej 17:18-21). Allah yang berinisiatif memilih dan mengikat perjanjian. Tidak ada yang dapat menggagalkan kehendak-Nya.
Kedua, perbandingan antara Esau dan Yakub (ayat 10-13). Pemunculan kata ‘tetapi bukan hanya itu’ (ou monon de) mempersiapkan pembaca pada contoh lain yang lebih persuasif. Contoh sebelumnya masih memberikan ruang untuk disanggah, karena Ismael adalah anak seorang budak dan ibunya berasal dari Mesir (Kej 16:1). Kali ini Paulus menutup semua kemungkinan bagi bantahan.
Perbandingan antara Esau-Yakub mengungkapkan beberapa poin penting yang tidak jelas atau tidak ada dalam contoh sebelumnya. Esau dan Yakub bukan hanya berasal dari satu ibu, tetapi mereka adalah kembar (Kej 25:21-26). Walaupun kata ‘kembar’ tidak muncul secara eksplisit di teks ini (bdk. NASB/NIV), kesimpulan ke arah sana didukung oleh frase ‘Rebekka ex enos koitēn echousa Isaak tou patros hēmōn yang secara hurufiah lebih tepat diterjemahkan: “Ribka mengandung dari satu (aktivitas seksual), dari Ishak bapa leluhur kita”. Penambahan ‘satu orang’ di beberapa versi modern bersifat pengulangan yang tidak diperlukan (Ribka memang tidak memiliki suami lain atau tidak pernah berselingkuh dengan laki-laki lain) dan kurang sesuai dengan konteks (tidak ada tambahan poin apapun dalam argumen Paulus apabila ia memaksudkan ‘satu orang’).
Poin lain dari perbandingan Esau-Yakub yang tidak ada secara jelas pada Ismael-Ishak berhubungan dengan hak kesulungan. Sebutan ‘yang tua’ (ho meizōn) dan ‘yang muda’ (ho elassōn) di ayat 12 dimaksudkan untuk menegaskan kedaulatan pilihan Allah. Pemilihan atas Yakub melampaui hukum kesulungan (primogeniture) yang berlaku di komunitas Yahudi maupun bangsa-bangsa Timur Dekat Kuno lainnya. Walaupun Esau memiliki keuntungan dari sisi waktu kelahiran, namun Yakub memiliki keutamaan dari sisi pilihan Allah. Jadi, keutamaan seseorang tidak ditentukan oleh proses kelahiran.
Poin terakhir yang penting adalah alasan di balik pilihan Allah. Ayat 8-9 hanya mengaitkan pilihan dengan perjanjian, tetapi tidak menjelaskan dasar dari perjanjian tersebut seperti yang ditulis di ayat 11. Pembacaan sekilas sudah cukup untuk menangkap betapa pentingnya ayat 11. Bagian ini bukan kutipan dari kitab suci, melainkan penafsiran Paulus. Bagian ini juga membuat alur narasi di ayat 10 dan 12-13 tidak terlalu mulus.
Paulus tidak hanya menekankan bahwa pilihan Allah dilakukan sebelum Esau dan Yakub melakukan perbuatan apapun, tetapi juga bahwa pilihan itu tidak didasarkan pada pengetahuan Allah sebelumnya tentang perbuatan mereka. Apa yang dikatakan TUHAN di Kejadian 25:23 tidak dipahami Paulus sebagai pemberitahuan sebelumnya kepada Ribka tentang nasib anak-anaknya. Ini adalah ketetapan Allah, sebagaimana diungkapkan melalui tiga kata yang muncul di ayat ini (lihat 8:28-30): rencana (prothesis), pilihan (eklogēn), dan panggilan (ek tou kalountos). Semua alasan di balik rencana, pilihan, dan panggilan ini ada dalam diri Allah (lihat Ef 1:5, 8-9; 2 Tim 1:9). Apapun detil alasan itu, yang jelas itu tidak mencakup perbuatan baik manusia (Rom 9:11; 2 Tim 1:9 “bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri”).
Untuk mendukung penafsirannya terhadap narasi kelahiran Esau-Yakub di PL, Paulus mengutip teks lain di PL, yaitu Maleakhi 1:2-3. Kutipan ini hampir identik dengan LXX, kecuali peletakan nama Yakub sebelum kata kerja ‘mengasihi’, yang bertujuan untuk memberikan penekanan (“Yakub Aku mengasihi”). Walaupun istilah ‘membenci’ dalam kitab suci harus dipahami dalam arti ‘kurang mengasihi’ (Kej 29:30-31; Mat 10:37//Luk 14:26), tetapi konsep ini tetap membingungkan bagi sebagian orang. Beberapa teks dalam tradisi Yahudi berusaha meringankan kesulitan ini dengan cara mendasarkan tindakan Allah pada kejahatan Esau yang semakin banyak (Jub 35:13). Di sisi lain, sebagian tradisi justru berusaha mempertegas kedaulatan Allah dalam pilihan-Nya ini (4 Ez 3:16). Berdasarkan konteks Roma 9, kita sebaiknya mempertahankan kedaulatan pilihan Allah di bagian ini.
Roma 9:6-13 dan predestinasi
Bagi sebagian teolog, Roma 9:6-13 tidak membicarakan tentang predestinasi (pilihan kekal Allah atas keselamatan manusia). Teks ini hanya menyinggung tentang pilihan komunal dalam kaitan dengan nasib temporal (historis) bangsa Israel: bangsa Israel (Ishak) vs. bangsa-bangsa di tanah Arab (Ismael), bangsa Israel (Yakub) vs. bangsa Edom (Esau). Argumen di bawah akan menunjukkan kelemahan dari pandangan ini.
Pertama, isu yang ingin dikupas Paulus adalah penolakan sebagian besar (tidak semua) orang Yahudi terhadap Injil. Paulus, rasul-rasul lain, maupun jemaat mula-mula adalah orang Yahudi. Jika pilihan ini bersifat komunal, Paulus tidak akan membuat perbedaan antara dirinya dan orang-orang Yahudi lain (9:1-3). Sebaliknya, ia akan membandingkan bangsa Yahudi dan bangsa Yunani. Kenyataannya, 9:6-13 mengontraskan dua kelompok Israel dalam satu jalur Abraham (bdk. orang-orang Israel yang disisakan di 9:24-28). Penyebutan orang Yahudi dan Yunani dalam cakupan panggilan Allah di 9:24 tidak mungkin bersifat komunal, karena hal itu akan membawa pada universalisme (semua manusia diselamatkan).
Kedua, beberapa kosa kata yang digunakan sangat bernuansa soteriologis. Yang terutama, Paulus mengontraskan ‘panggilan’ (kalountos) dan ‘pekerjaan/perbuatan’ (erga). Dalam tulisan Paulus, keduanya sering digunakan dalam konteks keselamatan. “Panggilan’ selalu muncul dalam arti ‘panggilan efektif’ (panggilan dalam hati umat pilihan yang membuat mereka bertobat, lihat Rom 8:28, 30; 9:7, 24, 25, 26; 1 Kor 1:9, 24, 26; Gal 1:6, 15; 5:8; Ef 4:1, 4; Flp 3:14), sedangkan ‘perbuatan/pekerjaan’ sering disanggah sebagai dasar keselamatan (Rom 3:20, 27-28; 4:2, 6; 9:32; 11:6; Gal 2:16; 3:2, 5). Di samping itu, istilah ‘rencana’ (prothesis) dan pilihan (eklogē) juga sering muncul dalam konteks keselamatan (prothesis, Rom 8:28; Ef 1:11; 2 Tim 1:9; eklogē, Rom 11:5, 7, 28; 1 Tes 1:4; 2 Pet 1:10). Kata ‘anak-anak perjanjian’ (ta tekna tēs epangelias) juga muncul dalam konteks yang sama di Galatia 4:28 dan dikenakan pada orang-orang Kristen. Yang terakhir adalah istilah ‘anak-anak Allah’ (ta tekna tou theou) yang merujuk pada orang-orang percaya di dalam Kristus (Rom 8:16; Flp 2:15; hoi huioi tou theou, Rom 8:14, 19; 9:26; Gal 3:26).
Ketiga, keselamatan bangsa-bangsa Yunani yang juga dibahas di Roma 9-11 tidak didasarkan pada pilihan komunal. Setiap orang harus mengambil keputusan sendiri di dalam hatinya (10:9-10). Seandainya keselamatan orang-orang Yunani bersifat individual, atas dasar apa kita meyakini bahwa keselamatan Israel bersifat komunal?
Keempat, Paulus selektif dalam mengutip teks-teks PL. Kitab suci di PL sebenarnya memuat kata ‘bangsa’ pada saat berbicara tentang Ishak-Ismael (Kej 17:20) maupun Yakub-Esau (Kej 25:23), namun Paulus secara sengaja tidak mencantumkan bagian itu, karena ia ingin memfokuskan pada cara kerja Allah saja, bukan kelangsungan secara historis dari masng-masing keturunan mereka. Inti ini lalu diaplikasikan Paulus dalam konteks pemilihan keselamatan secara individual di Roma 9:6-13.
Konklusi
Khotbah minggu ini tidak dimaksudkan untuk memuaskan rasa ingin tahu kita. Sebaliknya, melalui khotbah ini diharapkan muncul ucapan syukur kepada Allah yang lebih berpengetahuan dan mendalam, karena Allah telah memilih kita berdasarkan kasih dan rencana-Nya, bukan karena perbuatan kita. Soli Deo Gloria.