Eksposisi Filipi 1:21-26

Posted on 22/12/2019 | In Teaching | Leave a comment

Mengetahui tujuan kehidupan akan menentukan bagaimana seseorang melihat dan menjalani kehidupan. Jika seseorang menjadikan kemuliaan Kristus sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan, dia pasti akan merelakan segala sesuatu demi tujuan itu. Baik kehidupan maupun kematiannya diarahkan pada kemuliaan Kristus. Itulah yang diajarkan oleh Paulus dalam bagian ini.

Sayangnya tidak semua orang Kristen mengadopsi tujuan hidup seperti ini. Mereka menggunakan Tuhan untuk memenuhi tujuan hidup mereka dan bukan menggunakan hidup mereka untuk menggenapi tujuan Tuhan. Situasi ini jelas sangat ironis. Manusia ada untuk Tuhan, bukan sebaliknya.

Bagaimana seharusnya kita memandang dan menjalani kehidupan? Bagaimana bisa kehidupan maupun kematian kita akan memuliakan Kristus?

 

Memiliki pandangan yang benar (ayat 21)

Kata sambung “karena” menyiratkan bahwa ayat ini merupakan penjelasan terhadap sikap Paulus di ayat sebelumnya. Dia meyakini bahwa apapun hasil akhir dari perkaranya – entah dia akan dibebaskan atau dihukum mati – dia tidak akan malu dengan hidupnya. Baik kematian maupun kehidupannya akan memuliakan Kristus (ayat 20).

Mengapa dia dapat mempunyai sikap seperti itu? Karena dia memiliki perspektif yang benar tentang kehidupan dan kematian (ayat 21)! Jadi, pandangan yang benar akan menghasilkan sikap yang benar.

Dalam teks Yunani kata “bagiku” (emoi) muncul di bagian awal sebagai penekanan. Sangat mungkin Paulus sedang mengontraskan dirinya dengan mereka yang menjadi “seteru salib Kristus” (3:18). Mereka menjadikan aib sebagai kemuliaan mereka (3:19). Yang mereka pikirkan adalah kesenangan hidup dan hal-hal yang sementara (3:19). Paulus dahulu juga seperti itu. Apa yang dia anggap sebagai keuntungan adalah hal-hal yang dibanggakan oleh dunia (3:7). Sejak perjumpaannya dengan Kristus, pandangannya tentang kehidupan berubah secara radikal.

Ungkapan “hidup adalah Kristus, mati adalah keuntungan” terdengar cukup mengagetkan. Jika Paulus sedang membandingkan kehidupan dengan kematian, kita berharap dia akan menggunakan dua kata yang bertentangan untuk menerangkan keduanya, misalnya “hidup adalah kerugian, mati adalah keuntungan” (bdk. 3:7). Ternyata, dia justru menggunakan dua kata yang sama-sama positif: Kristus dan keuntungan. Mengapa demikian? Karena bagi dia kehidupan dan kematian tidak perlu dipertentangkan. Pada dirinya sendiri kehidupan maupun kematian adalah netral. Kehidupan tidak selalu baik, begitu pula kematian tidak selalu buruk. Yang penting adalah diarahkan kemana kehidupan dan kematian seseorang. Jika diarahkan pada kemuliaan Kristus (1:20), maka baik kehidupan maupun kematian adalah sama-sama baik.

Tidak mudah memiliki sikap seperti ini dalam keadaan yang tertekan seperti yang dialami oleh Paulus. Nasibnya tidak jelas, menggantung selama beberapa tahun. Dia tidak tahu kapan keputusan terakhir pengadilan akan dijatuhkan. Dia juga tidak dapat menebak keputusan apa yang akan diambil oleh kaisar. Dalam keadaan seperti ini banyak orang biasanya menjadi putus asa atau, paling tidak, apatis terhadap kehidupan. Mereka cenderung memilih sikap “hidup segan mati tak mau”. Mereka hanya berserah menerima nasib.

Hal ini ternyata tidak berlaku bagi Paulus. Kehidupan dan kematian sama-sama positif. Bukan dua pilihan yang buruk. Bukan buah simalakama yang memberikan dilema karena apapun pilihannya akan memberi hasil yang tidak diharapkan.

 

Memahami ketegangan yang benar (ayat 22-24)

Bagian ini menjelaskan kalimat “hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” di ayat 21. “Hidup adalah Kristus” bisa merujuk pada hidup yang dikendalikan oleh Kristus atau hidup yang ditujukan kepada Kristus. Sesuai konteks yang ada, Paulus tampaknya lebih memikirkan opsi terakhir. Ayat 20 berbicara tentang kehidupan dan kematian yang diarahkan pada kemuliaan Kristus. Ayat 22 dan 24 berbicara tentang kehidupan yang memberi buah untuk orang lain (juga ayat 25). Pada akhirnya kehidupan seperti ini akan menambah kemegahan di dalam Kristus (ayat 26).

Kehidupan bagi Kristus tidak pernah pasif. Seseorang yang hidup bagi Kristus akan selalu mengerjakan hal-hal yang menghasilkan buah. Walaupun buah yang dihasilkan mungkin tidak selalu instan atau mungkin proses yang dilalui tidak gampang, seseorang yang berfokus pada Kristus akan terus bertahan. Yang penting adalah bekerja dan bekerja. Kemalasan sama sekali bukan pilihan.   

Kehidupan bagi Kristus juga tidak pernah isolatif. Sangat disayangkan apabila sebagian orang Kristen yang mengaku hidupnya bagi Kristus ternyata tidak hidup bagi orang lain. Mereka lebih banyak mengisolasi (baca: menarik diri) dari dunia. Ini jelas tidak benar. Buah yang dimaksud oleh Paulus dalam bagian ini berkaitan dengan pertumbuhan rohani orang lain (ayat 24b “karena kamu”). Dia ingin melibatkan diri untuk mendatangkan hal-hal yang baik bagi jemaat Filipi (ayat 25). Jadi, hidup bagi Kristus bukanlah mengasingkan diri dari orang lain. Berbuah berarti menjadi saluran berkah. Orang yang benar-benar rohani seharusnya lebih banyak hadir di dunia nyata daripada menghabiskan waktu di alam roh.

“Mati adalah keuntungan” bukan semata-mata karena terbebas dari semua penderitaan. Bagi Paulus mati adalah keuntungan karena hal itu berarti “pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus” (ayat 23). Penekanannya terletak pada Kristus. Kehidupan kekal bukan sekadar pelarian dari dunia yang kejam. Kehidupan kekal adalah perjalanan menuju persekutuan yang sempurna dan kekal bersama dengan Kristus.           

Memiliki pandangan yang benar seperti di atas bukan berarti selalu mudah untuk menentukan pilihan. Jika pilihannya adalah antara baik dan buruk, keputusan mungkin menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Jika pilihannya adalah sama-sama baik – seperti dalam kasus Paulus di sini – menentukan pilihan bukanlah hal yang gampang.

Yang menarik, Paulus tidak malu untuk mengakui ketegangan seperti ini. Dia bahkan menggunakan kata yang cukup kuat, yaitu “synechomai” (LAI:TB “aku didesak”). Kata ini memiliki cakupan arti yang beragam. Secara hurufiah kata synechō menyiratkan pegangan maupun tekanan yang sangat kuat. Kata ini bahkan berkali-kali muncul dalam konteks penganiayaan, ketika seseorang diserbu dan disergap oleh para penganiaya (Lk. 19:43; 22:63; Kis. 7:57).

Itulah gambaran dari perasaan Paulus. Dia benar-benar ditekan oleh dua pilihan yang sama-sama baik. Tidak heran, dia merasa sukar untuk menentukan pilihan (1:22b). Dalam hal inipun dia tidak malu untuk mengakuinya. Hidup memang kadang diwarnai dengan pilihan-pilihan yang sukar.

Jika Paulus boleh sedikit egois, dia mungkin akan memilih kematian. Bukankah bersama dengan Kristus di surga memang lebih baik daripada bersama dengan orang-orang berdosa di dunia? Paulus bukan hanya menyatakan bahwa kematian adalah keuntungan (1:21). Dia tidak segan-segan menandaskan bahwa kematian “jauh lebih baik” (pollō mallon kreisson) daripada kehidupan.

Bagaimanapun, pilihan dalam kehidupan bukan hanya “apa yang baik”. Dalam banyak kasus kita juga diperhadapkan dengan “apa yang perlu”. Itulah yang sedang dialami oleh Paulus. Kematian adalah “jauh lebih baik” (ayat 23), tetapi kehidupan adalah “yang lebih perlu” (ayat 24). Pilihan yang tidak mudah, bukan?

Puji Tuhan! Bagi anak-anak Tuhan pilihan manapun yang diambil tetap sama-sama mendatangkan kemuliaan Tuhan. Baik kehidupan maupun kematian merupakan kesempatan untuk memuliakan Dia. Pastikan kehidupan kita selalu aktif memberikan buah bagi orang lain! Sambutlah kematian dengan kebanggaan dan kebahagiaan karena kematian adalah pintu gerbang menuju persekutuan kekal dengan Tuhan! Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko