Sebagian persoalan muncul karena kesalahan. Sebagian lagi datang tanpa diundang. Entah dari mana datangnya, persoalan perlu disikapi dengan benar.
Suatu keadaan memang ada yang menyenangkan, ada yang pula yang tidak menyenangkan. Walaupun demikian, baik atau tidaknya suatu keadaan sangat ditentukan oleh sikap seseorang. Ke bagian mana mata kita difokuskan? Dari sudut mana kita memandangnya? Semua ini turut memengaruhi penilaian terhadap suatu persoalan.
Begitu pula yang sedang menimpa Paulus. Dia berada dalam penjara. Itupun bukan karena kesalahannya. Itupun sesudah melalui proses yang begitu panjang dan perjalanan yang melelahkan.
Apakah dia memiliki alasan untuk mengucap syukur? Tentu saja. Pemenjaraannya telah membawa kemajuan bagi pemberitaan Injil (1:12). Penghuni istana akhirnya mengetahui bahwa dia dipenjara karena satu Nama, yaitu Yesus Kristus (1:13). Banyak orang Kristen semakin terdorong untuk turut memberitakan Injil dengan lebih berani (1:14).
Sayangnya, ada orang-orang tertentu yang ingin menambah berat beban Paulus di dalam penjara (1:17). Dengan motif keliru mereka memberitakan Injil (1:17). Mereka menyangka bahwa dengan berbuat demikian mereka dapat menambah kesusahan Paulus.
Siapakah para pemberita ini? Bagaimana Paulus menyikapi apa yang mereka lakukan?
Identitas para pemberita Injil (ayat 15-17)
Dalam bagian ini Paulus membandingkan dua kelompok pemberita Injil. Yang satu memberitakan Injil dengan motif yang benar, sedangkan yang lain dengan motif yang keliru. Apa yang mereka lakukan sama-sama berkaitan dengan Paulus. Yang satu karena mengetahui bahwa pemenjaraan Paulus adalah demi Injil, sedangkan yang lain karena ingin memperberat persoalan Paulus.
Yang tidak diterangkan oleh Paulus dalam bagian ini adalah identitas mereka, terutama yang motifnya keliru. Siapakah sebenarnya mereka? Mengapa mereka melakukan itu terhadap Paulus?
Para penafsir Alkitab berbeda pendapat tentang hal ini. Beragam usulan sudah dimajukan. Terlepas dari kerumitan isu yang ada, kita dapat menebak beberapa hal tentang para pemberita itu.
Pertama, mereka adalah orang-orang Kristen. Terjemahan LAI:TB di ayat 15 bisa menimbulkan kesan bahwa ayat 15-18 terpisah dari bagian sebelumnya. Tidak ada kata sambung yang menghubungkan ayat 15-18 dengan ayat 12-14. Dalam teks Yunani, ada kata sambung kai. Kata ini bisa memiliki beragam terjemahan, tergantung fungsinya di dalam suatu kalimat. Mayoritas versi Inggris memahami kata sambung kai sebagai sebuah penekanan (KJV/ESV “indeed”; NASB “to be sure”; NIV “It is true”).
Terlepas dari bagaimana seseorang memahami fungsinya, kita sebaiknya memahami dua kelompok pemberita Injil di ayat 15-17 sebagai bagian dari orang-orang Kristen di ayat 14. Mereka adalah “saudara-saudara di dalam Tuhan”. Mereka juga bertambah berani memberitakan Injil. Hanya saja, dorongan di baliknya berbeda dengan kelompok yang lain.
Kedua, mereka bukan para pengajar sesat. Sebagian penafsir menduga bahwa para pemberita Injil dengan motif keliru di sini adalah musuh-musuh Paulus yang hendak meracuni banyak orang dengan ajaran sesat mereka. Pandangan ini tampaknya kurang bisa diterima.
Bahasa yang digunakan Paulus untuk mengungkapkan mereka tidak begitu ofensif seperti ketika dia menyerang para rasul palsu di Galatia dan Korintus (bdk. Gal. 1:6-10; 2Kor. 11:1-6). Paulus bahkan menyebut apa yang mereka tetaplah Kristus (Flp. 1:15-16, 18). Tidak ada tambahan “Kristus yang lain” atau “Kristus yang palsu”. Paulus bukan hanya tidak terlalu memersoalkan, tetapi dia bahkan tetap bersukacita atas keberadaan mereka (1:18). Fokus sukacitanya juga diletakkan pada objek pemberitaan (“sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan”). Jika yang diberitakan mereka adalah ajaran sesat yang bertabrakan dengan Injil, sukar untuk dipahami mengapa Paulus memilih sikap seperti itu. Mereka adalah orang-orang Kristen yang menyimpan masalah personal dengan Paulus.
Ketiga, mereka tidak terlalu dekat dan curiga dengan kerasulan Paulus. Kontras antara para pemberita dengan motif keliru dengan yang benar bermanfaat untuk mengetahui siapa kelompok yang keliru tadi. Tingkatan kedekatan antara keduanya dengan Paulus terlihat berbeda. Kelompok yang benar tampaknya memiliki relasi yang cukup dekat, sehingga mereka “tahu” (oida) apa yang sebenarnya sedang terjadi atas Paulus (ayat 16). Kelompok yang lain hanya bisa “menyangka” (oiomai) saja, sehingga tidak sesuai dengan keadaan (ayat 17).
Perbedaan di antara dua kelompok ini sangat mungkin berhubungan dengan kerasulan Paulus. Mereka yang mempunyai motif yang tepat benar-benar mengetahui bahwa Paulus berada di dalam penjara karena membela Injil (ayat 16b). Kata kerja pasif keimai (LAI:TB “ada di sini”) di ayat 16 menyiratkan Allah sebagai subjek (divine pasif), sehingga bisa mengandung makna penetapan ilahi (1Tes. 3:3 “supaya jangan ada orang yang goyang imannya karena kesusahan-kesusahan ini. Kamu sendiri tahu, bahwa kita ditentukan [keimai] untuk itu”). Tidak ada yang salah dalam pemenjaraan itu. Pemberita kebenaran memang lekat dengan penderitaan.
Kelompok yang lain merasa mendapatkan keuntungan melalui pemenjaraan Paulus demi kepentingan mereka sendiri. Mereka menjadikan pemenjaraan Paulus (sesuatu yang buruk) sebagai alat untuk meragukan kerasulannya. Mereka mungkin berpikir bahwa rasul yang sejati akan dipelihara oleh Allah sehingga tugas pemberitaan Injil yang dilakukan tidak mengalami hambatan. Mereka mungkin menghembuskan isu bahwa Paulus berada dalam penjara karena kesalahan-kesalahannya. Ketika musuh pribadi ini sedang “tidak berdaya” di dalam penjara, mereka memanfaatkan situasi untuk menguatkan posisi mereka sendiri. Bagi mereka yang terpenting bukanlah apa yang diberitakan (Injil), tetapi mengapa mereka memberitakan (menambah kesusahan Paulus).
Sikap Paulus terhadap situasi ini (ayat 18)
Paulus memulai ayat ini dengan sebuah pertanyaan (ti gar;; kontra LAI:TB yang menganggap bagian ini sebagai sebuah pernyataan). Secara hurufiah ti gar; berarti “Lalu apa?” (mayoritas versi Inggris). Terjemahan NIV dalam hal ini sangat membantu: “Tetapi apakah itu penting?”
Paulus tampaknya tidak terbebani dengan situasi yang ada. Dugaan musuh-musuhnya tidak menjadi kenyataan. Dia tenang-tenang saja. Bahkan dia bersukacita atas apa yang terjadi.
Bagi Paulus, yang penting adalah Injil diberitakan, terlepas dari motif di balik aktivitas itu. Sikap ini sekilas cukup mengagetkan. Paulus terkesan agak permisif. Bukankah dia biasanya sangat ketat menjaga kebenaran? Mengapa di bagian ini dia tampak melakukan kompromi?
Pembacaan yang lebih teliti akan menghilangkan semua kesan keliru di atas. Yang sedang disorot bukan “benar atau salah”, tetapi “penting atau tidak penting”. Itupun berkaitan dengan pandangan (tuduhan) orang terhadap kerasulannya. Paulus sedang membandingkan antara “Injil yang diberitakan dengan maksud baik” dengan “Injil yang diberitakan untuk melemahkan reputasi kerasulannya”. Dengan kata lain, yang sedang dibandingkan adalah “perasaan Paulus” dan “kemajuan Injil”. Jika dua hal ini yang harus dipilih, Paulus tentu saja akan mengambil yang terakhir. Apa yang dia rasakan tidaklah terlalu penting. Jangankan hanya ditambahi sebuah beban, dibelenggu dalam penjara saja dia tidak berkeberatan selama hal itu memberi kontribusi bagi pemberitaan Injil. Jadi, sikap ini tidak boleh dijadikan pembenaran untuk slogan populer “tujuan membenarkan cara” atau “motivasi yang benar tidaklah penting selama yang dilakukan adalah benar”. Konteksnya tidak seperti itu.
Jawaban Paulus justru dimaksudkan untuk menekankan kegagalan upaya para musuhnya. Bagi mereka yang paling penting adalah kepentingan diri sendiri, sehingga mereka juga berpikir hal yang sama pada diri Paulus. Ternyata, bagi Paulus yang penting bukan itu, melainkan pekerjaan Tuhan. Mereka ingin menambah beban bagi Paulus, namun ternyata mereka justru membantu Paulus melakukan apa yang dia memang inginkan, yaitu kemajuan Injil. Dalam taraf tertentu mereka bukanlah musuh, tetapi rekan kerja. Apa yang paling penting bagi Paulus dikerjakan oleh mereka.
Sikap Paulus ini seharusnya ada pada kita. Tatkala kita diperhadapkan pada dua pilihan: perasaan kita atau kemajuan pekerjaan Tuhan, kita seharusnya memilih yang terakhir. Apa yang kita rasakan tidak sepenting apa yang kita kontribusikan bagi pekerjaan Tuhan. Kita seringkali harus berkurban perasaan demi kemajuan pelayanan. Kita juga kerap kali dituntut untuk mengurbankan kenyamaman demi perkembangan pelayanan. Mana yang kita pilih?
Kita bukan hanya memilih karena terpaksa. Bukan dengan keluhan. Kita memilih untuk mengabaikan kepentingan, kenyamanan dan perasaan kita, dengan sikap yang bersukacita. Biarlah setiap kali kita berada dalam posisi seperti ini, kita dimampukan untuk memilih yang benar sambil berkata: “Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita” (ayat 18b). Soli Deo Gloria.