Kehidupan orang percaya tidak bisa dipisahkan dari ibadah bersama. Ibadah bersama merupakan perintah dari Tuhan (Mzm. 100; Ibr. 10:24-25) sekaligus kesukaan orang percaya (Mzm. 84:11). Dalam ibadah bersama seluruh umat perjanjian membangun dan merayakan relasi dengan Allah (vertikal) dan sesama (horizontal).
Sayangnya, sebagian orang telah memisahkan ibadah bersama dari kehidupan. Apa yang dilakukan dalam ibadah berlawanan dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa bahkan menganggap aktivitas ritual sebagai substitusi aktivitas sosial. Ritual diceraikan dari tanggung-jawab moral.
Bagaimana sikap TUHAN terhadap dikotomi seperti ini? Apakah ibadah yang tidak benar tetap lebih baik daripada tidak ada ibadah sama sekali?
Latar belakang teguran
Teguran di 4:4-5 sangat mungkin berhubungan dengan ancaman hukuman di 3:14. TUHAN akan menghancurkan mezbah-mezbah di Betel (3:14). Seperti yang sudah diuraikan dalam khotbah-khotbah sebelumnya, hukuman tersebut diucapkan sebagai respons terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh orang-orang yang kaya dan berkuasa di Israel. Mereka tidak peduli terhadap orang-orang yang miskin dan yang lemah.
Bangsa Israel sangat mungkin meragukan peringatan di atas. Bagaimana mungkin TUHAN berbuat seperti itu kepada rumah-Nya sendiri? Bukankah bangsa Israel masih setia beribadah di sana? Bukankah berbagai kurban kepada TUHAN masih diletakkan di atas mezbah-mezbah itu?
Terhadap sikap seperti ini Amos memberikan jawaban melalui majas sarkasme (sindiran keras) dan hiperbola (melebih-lebihkan). Tujuan dari penggunaan dua gaya bahasa ini adalah untuk menonjolkan kekonyolan dan kesalahan bangsa Israel. Amos menjelaskan bahwa ibadah mereka bukanlah ibadah yang diinginkan oleh TUHAN. Ibadah tersebut bukan tanda kesalehan tetapi bukti kesalahan. Dua kali Amos menegaskan bahwa ibadah mereka merupakan perbuatan jahat (ayat 4). Semakin mereka antusias dalam beribadah, semakin menumpuk kejahatan mereka (ayat 4b “perhebatlah perbuatan jahat”).
TUHAN bukan seperti dewa-dewa kuno yang membutuhkan makanan (baca: kurban) dari manusia. Dia tidak asal menerima persembahan. Ibadah yang salah seringkali lebih buruk daripada tidak ada ibadah sama sekali. Terus-menerus melakukan ibadah yang tidak tepat berarti terus-menerus berbuat jahat. Poin ini akan terlihat lebih jelas dalam teguran Amos selanjutnya di 5:21-24. TUHAN benci, tidak suka, tidak mau pandang dan tidak mau dengar semua aktivitas ritual bangsa Israel. Percuma mereka memuji TUHAN tetapi pada saat yang sama menghina ciptaan TUHAN. Percuma mereka memberikan kurban yang banyak kepada TUHAN tetapi tidak mengulurkan tangan sedikitpun kepada orang lain yang membutuhkan.
Teguran khusus terhadap ibadah bangsa Israel
Jika kita membaca sindiran Amos di 4:4-5 dengan teliti, kita mungkin sempat mengagumi antusiasme bangsa Israel dalam beribadah. Mereka tidak melakukan ibadah dengan terpaksa. Sebaliknya, mereka terlihat begitu bersemangat.
Yang terlihat paling menonjol tentu saja adalah lokasi ibadah: Betel dan Gilgal. Tidak seperti bangsa Yehuda yang menyembah di Yerusalem saja (lihat Ul. 12:5-7; 1Raj. 11:36; 14:21), bangsa Israel menyediakan beberapa pusat ibadah sekaligus. Kemustahilan untuk beribadah di Yerusalem (karena pertimbangan politis) mungkin telah disubstitusi dengan menyediakan kemudahan dalam beribadah. Lokasi ibadah diperbanyak supaya banyak orang mudah beribadah.
Petunjuk lain bagi antusiasme mereka terlihat dari frekwensi pengulangan ibadah. Ayat 4b menunjukkan betapa sering bangsa Israel melakukan ibadah. Korban sembelihan yang rutin memang diperintahkan oleh TUHAN, tetapi hal itu biasanya dilakukan sekali dalam setahun (1Sam. 1:3, 7, 21). Bangsa Israel melakukannya lebih sering. Dengan gaya bahasa hiperbola Amos mengungkapkan bahwa bangsa Israel mungkin saja tidak berkeberatan untuk melakukannya setiap hari (ayat 4b “bawalah kurban persembahanmu pada waktu pagi”).
Hal yang sama berlaku pada persembahan persepuluhan. Ada beragam aturan tentang mekanisme pemberian persepuluhan. Salah satunya adalah setiap tiga tahun sekali dikumpulkan di suatu kota untuk dinikmati bersama-sama dengan kaum marjinal dan rohaniwan (Ul. 14:28; 26:12). Bangsa Israel pada zaman Amos siap untuk lebih sering melakukannya. Mereka mungkin tidak segan-segan untuk melakukan ini setiap tiga hari sekali (ayat 4b “persembahan persepuluhanmu pada hari yang ketiga”).
Antusiasme juga terlihat dari kurban-kurban yang tidak diwajibkan tetapi tetap diberikan (ayat 5 “kurban syukur…persembahan-persembahan sukarela”). Sesuai dengan namanya, persembahan syukur dan sukarela muncul dari kemauan sendiri. Hukum Taurat tidak mengatur secara khusus seberapa sering persembahan jenis ini perlu dilakukan. Bangsa Israel pada zaman Amos ternyata tidak melupakan kurban ini. Dari sisi ritual mereka terlihat tidak hitung-hitungan dengan TUHAN.
Ternyata di mata TUHAN antusiasme saja tidaklah cukup. TUHAN lebih mencari ketaatan daripada kurban bakaran. Ibadah harus dilakukan dengan benar sesuai perintah TUHAN. Jika tidak dilakukan dengan benar, kebaktian malah menjadi demonstrasi kejahatan di mata TUHAN. Di sinilah letak kesalahan dalam ibadah bangsa Israel pada zaman Amos (ayat 5).
Pertama, mereka tidak mengikuti aturan dalam Hukum Taurat (ayat 5a). Musa sudah memberikan berbagai macam aturan tentang jenis kurban dan bagaimana kurban itu harus diberikan kepada TUHAN. Bangsa Israel tampaknya tidak mengindahkan aturan dari TUHAN. Roti yang beragi dari kurban syukur tidak boleh dibakar pada saat dipersembahkan (Im. 2:11; 6:14-17), tetapi mereka justru sengaja membakarnya.
Kita tidak dapat mengetahui dengan pasti mengapa mereka melakukan hal ini. Ada kemungkinan mereka ingin secara khusus menunjukkan kurban itu kepada Allah. Bukankah Allah menyukai bau persembahan yang harum? Atau bau harum ini ditujukan pada para imam dan orang lain yang sedang beribadah di sana? Poin-poin berikutnya mungkin lebih berpihak pada kemungkinan yang terakhir ini.
Kedua, mereka membanggakan persembahan mereka (ayat 5b). Bangsa Israel suka memaklumkan dan menyiarkan persembahan-persembahan sukarela mereka. Mereka ingin dilihat sebagai orang yang tidak hitung-hitungan dengan TUHAN.Walaupun tidak hurufiah, terjemahan NIV dengan tepat memilih kata “membual” (brag) dan “menyombongkan” (boast) untuk menggambarkan motivasi di balik ibadah bangsa Israel. Terjemahan NLT menambahkan bahwa pembualan ini dilakukan di mana saja.
Tindakan ini jelas bertentangan dengan sikap mereka terhadap kaum marjinal. Mereka sangat kejam terhadap sesama yang terpinggirkan. Orang yang tidak hitung-hitungan dengan TUHAN seharusnya tidak akan hitung-hitungan dengan ciptaan TUHAN. Jangan jadi malaikat di gereja tetapi monster di tempat kerja!
Ketiga, mereka hanya peduli dengan apa yang mereka sukai (ayat 5c). Terjemahan “sukai” (LAI:TB) mungkin sedikit kurang tegas. Kata Ibrani ’ÄhÄ“b berarti “mencinta”. Kata ini bahkan digunakan dalam konteks perjanjian (Ul. 6:5; Im. 19:18).
Apakah objek dari kata kerja “mencintai” di sini? Seluruh ritual atau kesombongan bangsa Israel saja? Apakah ungkapan “bukankah yang demikian yang kamu cintai” merupakan sindiran (bangsa Israel tidak sungguh-sungguh mencintai semua ritual itu) atau benar-benar menggambarkan apa yang ada (bangsa Israel suka menyombongkan kurban-kurban mereka)?
Dilihat dari posisi frasa ini yang muncul sesudah pembualan dan kesombongan bangsa Israel sehubungan dengan kurban-kurban sukarela, Amos tampaknya memang sungguh-sungguh dengan frasa ini. Bangsa Israel memang sangat suka memegahkan persembahan mereka. Jika ini benar, bangsa Israel berarti lebih menyukai kebanggaan ritual daripada ketaatan terhadap perjanjian. Ini sebuah ironi! Yang seharusnya dicintai adalah TUHAN dan perjanjian, bukan persembahan-persembahan!
Jika kita mau jujur terhadap diri kita sendiri, ibadah kita juga seringkali tidak lebih baik daripada mereka. Kita hanya mencintai hal-hal tertentu dalam ibadah (suasana pujian, kualitas khotbah, kebersamaan, dsb). Antusiasme untuk beribadah tidak digerakkan oleh kasih kita kepada TUHAN, melainkan pada aspek-aspek tertentu dalam ibadah itu.
Bagaimana mengembalikan ibadah yang benar? Semua harus dimulai dari hati yang mengasihi. Esensi ibadah adalah relasi. Sebuah romantisme spiritual dengan Allah Tritunggal.
Kasih kepada Allah tentu saja tidak mungkin muncul tanpa Allah lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh. 4:10). Roh Kudus mencurahkan kasih Kristus di kayu salib ke dalam hati kita (Rm. 5:5). Dengan terus-menerus merayakan kisah kasih terbesar di Golgota kita terus-menerus menghangatkan hati kita dengan kasih-Nya.
Bagaimanapun, romantisme spiritual (vertikal) pada gilirannya akan berdampak pada relasi horizontal (horizontal). Kita menjadi serupa dengan objek penyembahan kita. We worship what we love. We become what we worship. Sama seperti Kristus yang rela memberi diri bagi orang berdosa, kita juga berani berkurban bagi sesama. Sama seperti Kristus yang dengan sukarela mengulurkan tangan-Nya untuk dipaku, kita juga dengan sukacita mengulurkan tangan untuk membantu. Soli Deo Gloria.