Eksposisi Amos 2:6-8

Posted on 10/11/2019 | In Teaching | Leave a comment

Banyak orang menganggap hidup sebagai sesuatu yang biasa. Setiap pagi mereka bangun dan melakukan aktivitas mereka. Pada malam hari mereka membaringkan diri untuk tidur dengan tenang. Hidup terlihat begitu biasa.

Kemudahan seperti ini seringkali tidak dimiliki oleh orang-orang miskin. Kehidupan adalah pergumulan. Bisa makan sudah merupakan sebuah kemewahan. Bisa tidur dengan tenang setiap malam sudah merupakan sebuah berkat yang besar. Dibutuhkan keberanian ekstra untuk membuka mata di pagi hari dan menutup mata di malam hari.

Tidak heran Allah begitu memperhatikan orang-orang miskin. Jika ada orang lain yang menekan mereka, Allah tidak tinggal diam. Dia menjadi pembela bagi mereka yang tidak memiliki apa-apa. Ada hukuman serius bagi orang yang meremehkan sesamanya yang miskin. Itulah yang diberitakan oleh Amos kepada bangsa Israel.

Pasal 2:6-16 merupakan klimaks dari rangkaian ucapan penghukuman bagi bangsa-bangsa (1:3-2:16). Berita penghukuman untuk bangsa Israel diletakkan paling akhir. Ucapan ini juga paling panjang di antara semuanya. Jumlah kesalahan Israel yang disebutkan memang lebih banyak daripada kesalahan bangsa-bangsa lain. Objek dari pelanggaran mereka bukan penduduk dari negara lain (seperti kesalahan bangsa-bangsa lain di pasal 1), tetapi orang Israel sendiri. Orang sebangsanya. Orang yang mereka kenal. Betapa parahnya dosa bangsa Israel di 2:6-16! Amos yang dipanggil untuk melayani bangsa Israel (1:1 “tentang Israel”) tampaknya memang sengaja meletakkan bagian ini sebagai sorotan utama.

Karena teks hari ini sangat panjang, kita tidak akan membahasnya secara sekaligus. Hari ini kita hanya akan berfokus pada pelanggaran bangsa Israel. Itupun hanya yang bagian awal.

Apa saja pelanggaran yang mereka lakukan sehingga dianggap sudah keterlaluan atau melewati batas (2:6 “…tiga perbuatan….bahkan empat…”)? Seberapa seriuskah pelanggaran-pelanggaran tersebut sampai Allah tidak akan membatalkan hukuman-Nya atas bangsa Israel (2:6 “Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku”)?

Inti kesalahan di ayat 6-8 terletak pada penindasan terhadap kaum yang lemah. Penindasan ini diungkapkan melalui beragam tindakan. Semuanya menunjukkan betapa keadilan tidak mendapatkan tempat di Israel.

 

Menjual orang miskin sebagai budak (ayat 6b)

Ungkapan “orang benar” dan “orang miskin” di sini sebaiknya dianggap sebagai satu kesatuan: “orang miskin yang benar”. Benar bukan dalam arti saleh atau tanpa dosa. Benar di sini lebih ke arah legal (hukum). Artinya, orang-orang ini sebenarnya tidak melakukan kesalahan yang setimpal dengan perlakuan yang diberikan, yaitu dijual sebagai budak.

Konteks jual-beli manusia ini sangat mungkin berkaitan dengan masalah hutang-piutang. Kita tidak tahu secara persis bagaimana prosesnya. Banyak penafsir Alkitab menduga orang-orang yang berhutang di sini tidak dapat membayar hutang mereka kepada peminjam (rentenir atau lintah darat). Pihak pemberi hutang sangat mungkin membebankan bunga yang tinggi kepada orang-orang miskin itu. Karena tidak bisa membayar dan mereka juga tidak memiliki aset atau harta untuk disita, mereka akhirnya diseret ke pengadilan. Dengan kondisi pengadilan yang korup dan biaya pengadilan yang tidak murah, mereka akhirnya benar-benar tidak berdaya. Sangat mungkin pengadilan malah turut memberikan denda yang tinggi kepada mereka. Dengan kondisi seperti ini, mereka akhirnya dijual oleh pemberi hutang ke orang lain sebagai budak.

Pemunculan “kasut” dalam transaksi ini bisa dipahami dalam dua cara. Yang pertama sebagai tanda legalitas sebuah transaksi (Rt. 4:8) atau pengambilan keputusan (Ul. 25:9-10). Alternatif lain, sandal di sini menggambarkan betapa murahnya harga orang miskin tersebut. Mereka hanya dihargai sama dengan sepasang kasut.

Opsi manapun yang diambil, hal itu tetap tidak bisa dibenarkan. Bangsa Israel dilarang membebankan bunga kepada orang miskin yang berhutang (Kel. 22:25). Bahkan ketika mereka benar-benar jatuh miskin dan menyerahkan diri kepada pemberi hutang, orang miskin itu tetap tidak boleh diperlakukan sebagai budak (Im. 25:35-39). Dia harus dianggap sebagai pekerja upahan, bukan budak. 

 

Menindas orang-orang miskin (ayat 7a)

Sama seperti ayat sebelumnya, ungkapan “orang lemah” dan “orang sengsara” di bagian ini juga sebaiknya dianggap sebagai satu kesatuan. Mereka adalah kaum terpinggirkan dalam masyarakat Israel. Mereka mungkin orang-orang miskin, janda, yatim-piatu, atau orang asing.

Penindasan yang disinggung sangat mungkin bersifat figuratif. Menginjak kepala orang lain menunjukkan penyalahgunaan kekuatan dan penghinaan atas pihak yang lemah. Ada kekuasaan yang hendak dipamerkan. Ada penghinaan yang sedang ditunjukkan.

Teks tidak menginformasikan tentang detil tindakan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat. Ketidakadaan penjelasan detil mungkin memang disengaja. Ada begitu banyak wujud penindasan yang terjadi. Amos mungkin hanya menyinggungnya secara umum, karena terlalu banyak untuk disebutkan.

Ungkapan “membelokkan jalan” juga muncul di 5:12 dalam konteks pengadilan di pintu gerbang (LAI:TB “mengesampingkan”; Kel. 23:6; Yes. 29:21). Ungkapan ini seringkali merujuk pada penutupan akses kepada hukum atau penyelewengan keadilan (NIV “you deprive the poor of justice in the courts”). Pengadilan telah dibeli. Hak orang yang lemah telah dirampas.

Segala bentuk perampasan hak dan ketidakadilan adalah jahat di mata TUHAN. Berkali-kali Alkitab memberikan peringatan terhadap kesalahan ini (Kel. 23:6; Yes. 29:21). Umat TUHAN bahkan diperintahkan untuk memberikan keadilan kepada orang yang lemah dan membela hak-hak mereka (Mzm. 82:3; Yes. 1:17).

 

Pelecehan seksual (ayat 7b)

Sekilas ayat 7b tidak terlalu berkaitan dengan orang-orang miskin atau lemah. Ayat ini terkesan hanya menyinggung tentang dosa seksual. Namun, penelitian lebih lanjut menunjukkan sebaliknya. Dosa seksual ini berhubungan erat dengan dosa sosial.

Terjemahan LAI:TB “seorang perempuan muda” tidak terlalu tepat. Kata Ibrani na‘arah biasanya merujuk pada seorang hamba atau budak perempuan (KJV “maid”). Konteks Amos 2:6-8 juga mengarah pada pelanggaran secara sosial-legal. Sesuai dengan pemunculan kaum marjinal di bagian ini (“orang miskin, lemah, dan sengsara), kita didorong untuk memahami persetubuhan di sini dengan cara yang sama. Pelecehan seksual ini melibatkan keterpaksaan dari pihak perempuan. Dia tidak memiliki opsi lain. Dia hanyalah barang yang bisa di(salah)gunakan oleh tuannya.

Apa yang dilakukan terhadap hamba perempuan ini merupakan pelanggaran terhadap kekudusan TUHAN (ayat 7b). Allah sudah memberi larangan bagi ayah dan anak laki-lakinya untuk bersetubuh dengan perempuan yang sama (Im. 18:8, 15, 17; 20:10-20). Perintah ini mengajarkan tentang pengendalian diri, terutama terhadap para perempuan yang setiap hari ditemui: ibu, ibu tiri, saudari ipar, menantu perempuan, dan budak perempuan. Selain pengendalian diri, perintah ini juga menegaskan penghargaan terhadap milik orang lain. Perempuan yang sudah dimiliki oleh orang lain tidak boleh diingini, apalagi diambil (perintah ke-10 di Kel. 20:17).

Pelecehan seksual terhadap hamba perempuan juga bertabrakan dengan ayat-ayat Alkitab yang melindungi hak budak perempuan (Kel. 21:7-11; Im. 19:20-22). Allah tahu bahwa dalam konteks perbudakan kuno, para perempuan seringkali menjadi mangsa yang lemah. Mereka seringkali diperlakukan semena-mena oleh tuan mereka dan keluarganya.

 

Eksploitasi terhadap para penghutang (ayat 8)

Pemunculan kata “gadai” dan “denda” di bagian ini sangat bermanfaat untuk mengetahui konteks dari pelanggaran di ayat ini. Apa yang dilakukan masih berhubungan dengan kasus hutang-piutang dan proses pengadilan.

Ungkapan “pakaian gadaian” (ayat 8a) merujuk pada barang jaminan dalam kasus hutang-piutang. Orang-orang kaya dapat mengambil jaminan dari orang yang berhutang kepadanya. Jaminan ini dapat berupa apa saja. Jaminan terakhir yang bisa dijadikan jaminan adalah jubah. Jika ini yang terjadi, si penghutang benar-benar miskin.

Dalam kasus seperti ini orang kaya tidak boleh menahan jubah gadaian itu sampai malam (Kel. 22:25-27). Jubah sangat diperlukan oleh orang miskin. Mereka tidak memiliki tempat yang layak untuk tidur di malam hari. Dalam konteks iklim padang gurun pada waktu itu, suhu di malam hari bisa mencapai -4O celcius. Tanpa tempat perlindungan dan jubah, seseorang akan sangat menderita berada dalam situasi seperti ini. Itulah sebabnya TUHAN melarang bangsa Israel untuk tidur di atas kain gadaian orang (Ul. 24:12-13).

Bentuk eksploitasi lain adalah bermabuk-mabukan dengan anggur hasil denda di pengadilan (ayat 8b). Tindakan ini lebih berkaitan dengan para hakim. Orang yang bersalah secara hukum dan dikenai denda kadangkala membayar denda itu dengan anggur. Anggur ini seharusnya menjadi milik kota/negara. Namun, hakim-hakim yang korup justru menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri.

Pelanggaran di ayat 8 terkesan begitu ironis karena para pelaku adalah orang-orang yang relijius. Mereka menggunakan barang-barang gadaian atau denda tersebut untuk ibadah (“mezbah” dan “rumah Allah”). Entah penyembahan ini mereka berikan hanya kepada TUHAN (“rumah Allah”, NASB/ESV) atau kepada dewa lain (“kuil dewa”, KJV/NIV), intinya tetap sama: orang yang terlihat sangat spiritual seringkali justru sangat tidak bermoral dan sosial. Ada kemunafikan yang ditunjukkan.

Allah dalam anugerah-Nya telah mencari dan menyelamatkan kita yang hina. Kita tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan. Semua yang kita miliki adalah pemberian-Nya. Puji Tuhan! Dalam kemiskinan kita – baik rohani maupun jasmani – Allah tidak pernah membuang kita. Dia rela menjadikan diri-Nya miskin supaya kita mendapatkan kekayaan di dalam Dia (2Kor. 8:9). Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko