Seorang pemberita firman seringkali harus mengesampingkan perasaan demi kebenaran. Apa yang disampaikan mungkin membawa luka, baik bagi dirinya maupun orang yang mendengarkannya. Bagaimanapun, kebenaran harus mendahului perasaan. Integritas di atas loyalitas. Tidak ada ruang untuk nasionalisme dan favoritisme bagi seorang pemberita kebenaran yang sejati.
Itulah yang dialami oleh Amos. Mengucapkan berita penghukuman atas bangsa-bangsa lain (1:3-2:3) adalah satu hal. Mengucapkan berita yang sama untuk bangsa Yehuda adalah hal yang berbeda. Amos berasal dari daerah Yehuda (1:1). Sekarang dia harus memberitakan ancaman penghukuman bagi bangsa sendirinya (2:4-5).
Ancaman hukuman untuk bangsa Yehuda (2:4-5) tidak jauh berbeda dengan untuk bangsa-bangsa lain (1:3-2:3). Ada ungkapan “ada tiga, bahkan empat” yang menyiratkan pelanggaran yang sudah melewati. Ada pula penegasan bahwa Allah tidak akan menarik kembali keputusan-Nya. Bentuk hukuman pun tidak jauh berbeda (2:5). TUHAN menggunakan api untuk menghancurkan Yehuda dan istananya.
Kesamaan ini menunjukkan bahwa TUHAN tidak memandang muka. Siapa yang bersalah patut dihukum. Umat TUHAN tidak diperkecualikan.
Yang berbeda mungkin adalah istilah dan tujuannya. Hukuman untuk umat TUHAN merupakan sebuah disiplin. Tujuannya untuk menunjukkan anugerah Allah dan memurnikan iman mereka. Hukuman untuk yang lain dimaksudkan untuk menunjukkan keadilan Allah.
Apa yang membuat TUHAN begitu murkan terhadap bangsa Yehuda? Amos menyebutkan dua kesalahan fatal mereka.
Menolak hukum dan perintah TUHAN (ayat 4a)
Jenis kesalahan ini terlihat begitu berbeda dengan kesalahan bangsa-bangsa lain. Sehubungan dengan bangsa-bangsa lain, kesalahan mereka difokuskan pada pelanggaran moral yang mengerikan, misalnya membelah perut perempuan-perempuan hamil atau menjual seluruh penduduk demi uang, dsb. Mendengarkan pelanggaran-pelanggaran seperti ini, hati nurani kita langsung terusik. Ini kesalahan fatal. Semua orang yang bermoral pasti mengecamnya. Tentang bangsa Yehuda, tidak ada perbuatan spesifik seperti itu yang disebutkan. Pelanggaran lebih dikaitkan dengan Hukum Taurat daripada moralitas secara umum.
Perbedaan lain terletak pada objek perbuatan jahat. Bangsa-bangsa lain menjadikan penduduk dari tempat lain sebagai objek kejahatan. Suatu bangsa melawan bangsa lain. Tidak ada catatan seperti itu untuk bangsa Yehuda. Mereka langsung diperhadapkan pada TUHAN. Ini tentang suatu bangsa yang melawan Allah mereka.
Apakah ini berarti bahwa kesalahan bangsa Yehuda lebih ringan daripada bangsa-bangsa lain? Sama sekali tidak! Justru sebaliknya. Tidak seperti bangsa-bangsa lain yang hanya bermodalkan hukum moral dan hati nurani, bangsa Yehuda mempunyai pegangan hidup yang khusus, yaitu Hukum Taurat. Mereka memiliki wahyu ilahi yang lebih khusus dan jelas. Seharusnya mereka bisa bertindak lebih baik daripada bangsa-bangsa lain yang tidak memilikinya.
Di mata TUHAN semua dianggap bersalah. Mereka yang tidak memiliki Taurat akan dihakimi tanpa Taurat, sedangkan mereka yang memiliki Taurat akan dihakimi seturut Taurat (Rm. 2:12). Walaupun demikian, tetap ada perbedaan. Mereka yang memiliki pengetahuan lebih banyak akan lebih banyak dituntut dan dihakimi (Lk. 12:48). Itulah keadilan Allah.
Kesalahan bangsa Yehuda bukan hanya terletak pada kegagalan mereka dalam menaati perintah-perintah Allah. Amos tampaknya lebih menyoroti alasan di balik ketidaktaatan itu. Ayat 4a berbunyi: “Oleh karena mereka telah menolak hukum TUHAN, dan tidak berpegang pada ketetapan-ketetapan-Nya”. Jadi, ketidaktaatan mereka bersumber dari penolakan mereka.
Lebih jauh, kata Ibrani “menolak” (mÄ’as) bisa menyiratkan penolakan yang biasa atau yang menyiratkan penghinaan. Sesuai dengan penggunaan kata yang sama di 5:21 (“Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu”), makna yang terakhir terlihat lebih tepat (KJV “they have despised”; YLT “their loathing”). Dari sini terlihat bahwa bangsa Yehuda memandang rendah atau menghina Hukum Taurat.
Penjelasan ini menunjukkan betapa dalamnya kesalahan bangsa Yehuda. Mereka secara sengaja memilih untuk tidak menaati Hukum Taurat. Mereka bukan tidak mampu, tetapi tidak mau. Mereka bukan tidak tahu, tetapi tidak mau tahu. Meminjam istilah Paulus, mereka secara sengaja telah “menindas kebenaran” (Rm. 1:18).
Mengikuti kebohongan-kebohongan (ayat 4b)
Para penerjemah dan penafsir Alkitab berbeda pendapat tentang jenis kesalahan yang kedua ini. Terjemahan LAI:TB dan beberapa versi lain (misalnya NIV) menyiratkan bahwa kesalahan bangsa Yehuda adalah penyembahan berhala. Mereka menyembah allah yang tidak benar. Menariknya, banyak versi tidak mengadopsi pilihan ini. Mereka lebih memilih terjemahan “kebohongan-kebohongan”.
Inti persoalan terletak pada kata “dewa-dewa kebohongan” (kÄzÄb). Kata ini muncul 47 kali di seluruh Perjanjian Lama. Di antara semua semua pemunculan ini, tidak ada satupun yang secara eksplisit dan spesifik mengarah pada berhala-berhala. Kata kÄzÄb bisa dikenakan pada segala macam kebohongan (Hak. 16:10, 13; 2Raj. 4:16; Ay. 6:28).
Kebohongan-kebohongan ini yang menyebabkan bangsa Yehuda tersesat. Salah satu wujud kesesatan itu mungkin saja adalah penyembahan berhala, tetapi kita tidak usah membatasi secara sempit seperti itu. Amos sedang memikirkan beragam kebohongan secara lebih umum.
Sesuai dengan konteks, kebohongan ini sangat mungkin berkaitan erat dengan penolakan (penghinaan) mereka terhadap Hukum Taurat. Mereka mungkin menganggap pedoman hidup dalam Taurat terlihat aneh dan tidak sesuai dengan gaya hidup bangsa-bangsa lain. Sangat mungkin mereka telah mengadopsi gaya hidup bangsa-bangsa lain (bdk. 2Raj. 17:19). Mereka mungkin mengira keberhasilan hidup tidak ada sangkut-pautnya dengan Hukum Taurat. Pelanggaran terhadap Hukum Taurat dipandang sebagai hal yang biasa. Hukuman tidak akan menimpa mereka (Yer. 6:14; 8:11). Kebohongan seperti inilah yang menyesatkan bangsa Yehuda.
Kesesatan di atas bukan hanya terjadi dalam sesaat. Frasa “yang diikuti oleh nenek-moyangnya” di akhir ayat 4 menyiratkan bahwa kesalahan ini sudah terjadi secara turun-temurun. Allah sudah cukup bersabar. Generasi demi generasi berlalu, situasi tidak kunjung berubah. Penundaan hukuman Allah malah dianggap sebagai kelemahan Allah. Mereka semakin diyakinkan bahwa Allah tidak ada, tidak berkuasa, atau tidak peduli dengan tindakan mereka. Tatkala waktu-Nya tiba, Allah menetapkan hati untuk menghukum umat-Nya.
Apa yang terjadi pada bangsa Yehuda juga terjadi di segala jaman. Ketika firman Tuhan yang benar ditolak, manusia akan menerima yang lain yang tidak benar. Tidak ada area netral. Manusia diperhadapkan pada dua pilihan: kebenaran atau kebohongan. Separuh kebenaran seringkali adalah kebohongan yang penuh.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita peduli dengan ajaran yang benar? Apakah kita serius menghidupi kebenaran? Soli Deo Gloria.