Kebencian memiliki kekuatan yang besar. Begitu besarnya kekuatan itu, sampai-sampai orang yang sudah matipun masih dijadikan objeknya. Dibenci sampai mati. Kebencian memang seringkali tidak mengenal batasan kehidupan.
Kehancuran yang ditimbulkan oleh kebencian sangat besar. Orang yang membenci kehilangan kedamaian. Tidak jarang dia melakukan pembalasan yang lebih kejam daripada tindakan lawan. Hal-hal yang bertabrakan dengan penalaran tidak segan-segan untuk dilakukan.
Mereka yang menyimpan dendam - apalagi melampiaskan kebencian – tidak akan dibiarkan oleh Tuhan. Penghukuman sudah disiapkan. Allah “membenci” kebencian. Allah “melampiaskan geram” pada mereka yang marah dengan keterlaluan.
Dosa bangsa Moab (ayat 1)
Seperti yang sudah beberapa kali dijelaskan, ungkapan “tiga…bahkan empat..” tidak boleh dipahami secara hurufiah. Makna di balik ungkapan ini adalah “sudah melampaui batas”. Tidak peduli berapa banyak jenis kesalahannya, yang dipertimbangkan adalah tingkat kejahatan dan kesadisannya.
Begitu hebatnya kejahatan tersebut sampai Allah berkata: “Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku”. Allah sudah cukup lama bersabar. Sekarang hukuman sudah disiapkan. Tidak akan ada pembatalan. Hanya pertobatan yang akan menangguhkan hukuman.
Dosa yang disebutkan di bagian ini hanya satu. Sekilas yang dilakukan oleh bangsa Moab juga tidak separah bangsa-bangsa lain (1:3-15). Bangsa Moab membakar tulang-tulang raja Edom menjadi kapur (2:1b).
Kejahatan ini terlihat begitu kontras dengan kejahatan bangsa Amon yang membelah perut perempuan-perempuan hamil. Moab melampiaskan kebencian sampai kematian, sedangkan Amon melampiaskannya sebelum ada kehidupan. Dua-duanya dipandang bersalah oleh TUHAN.
Apa yang sebenarnya terjadi antara bangsa Moab dan Edom? Seberapa jahatkah membakar tulang orang yang sudah mati menjadi kapur? Mari kita bahas dua pertanyaan ini satu per satu.
Bangsa Moab tinggal di sebelah timur Laut Mati. Wilayah selatannya berdekatan dengan bangsa Edom. Peninggalan arkheologis berupa tembok perbatasan yang memisahkan dua wilayah ini menjadi saksi bisu permusuhan dan kebencian di antara dua bangsa ini. Sayangnya, kita tidak tahu persis berapa kali mereka saling berperang.
Alkitab hanya mencatat satu peperangan antara Moab dan Edom, yaitu pada saat Edom berkomplot dengan Israel dan Yehuda untuk memerangi Moab yang mencoba memberontak melawan Israel (2Raj. 3). Dalam kisah ini memang ada pembakaran manusia, tetapi yang dibakar justru putera mahkota Moab sendiri, bukan raja Edom. Itupun sebagai persembahan untuk Dewa Kamos. Jadi, Amos 2:1 tampaknya tidak merujuk pada peristiwa ini. Kita sebaiknya memikirkan sebuah insiden di masa lalu antara Edom dan Moab yang tidak tercatat di Alkitab.
Walaupun kisah peperangan yang dimaksud tidak terlalu jelas, tetapi apa yang dilakukan oleh bangsa Moab terhadap bangsa Edom cukup jelas. Mereka membakar tulang-tulang raja Edom menjadi kapur (ayat 1b). Amos tidak memberi penjelasan apakah pembakaran ini dilakukan pada saat raja Edom masih hidup atau kuburannya dibongkar lalu tulang-tulangnya dibakar. Manapun yang benar, bukan itu yang sedang disorot oleh Amos.
Membakar tulang raja menjadi kapur merupakan kejahatan di mata TUHAN. Bahkan dari perspektif budaya kuno apa yang dilakukan oleh Moab terbilang berlebihan. Tidak wajar.
Pertama, tindakan ini menyiratkan kebencian yang besar. Bangsa Moab membenci Edom sampai begitu rupa. Bahkan kematian tidak menghalangi mereka untuk tetap menumpahkan dendam kesumat. Jika raja Edom dibakar hidup-hidup, mengapa mereka masih memandang perlu menggunakan abu sisa pembakaran sebagai kapur untuk dinding rumah atau benteng? Jika raja Edom sudah mati sebelum pembakaran, mengapa mereka merasa perlu membongkar kuburnya dan membakar tulang-tulangnya? Tidak ada alasan yang lebih masuk akal selain kebencian. Kebencian adalah kekuatan yang mengerikan.
Kesalahan yang sama mungkin kita lakukan. Kebencian kita tidak mati walaupun orang yang kita benci sudah lama mati. Kita tetap menjelek-jelekkan dia walaupun dia tidak mungkin bisa merasakannya. Kita bahkan tidak jarang menumpahkan kebencian kita pada anak-anaknya atau keluarganya yang tidak ada kena-mengena dengan kita. Sebuah tindakan yang bertabrakan dengan penalaran!
Kedua, tindakan ini merupakan penghinaan yang besar. Bagi masyarakat kuno (bahkan sampai sekarang di banyak masyarakat tradisional), pemakaman merupakan praktek yang dianggap sangat sakral. Ini adalah momen sangat penting untuk memberikan penghargaan kepada seseorang. Hanya orang-orang yang penuh aib yang tidak diberi penguburan sewajarnya.
Alkitab memberi sebuah contoh yang jelas tentang hal ini. Bangsa Israel mengalami kekalahan telak dalam sebuah pertempuran melawan bangsa Filistin (1Sam. 31:8-13). Mayat anak-anak Saul dan pasukan lain bergelimpangan di pegunungan. Kepala Saul dipenggal dan mayatnya digantung di tembok kota. Bangsa Israel tentu saja tidak dapat membiarkan hal ini begitu saja. Dengan segala resiko yang bisa terjadi, beberapa orang pergi ke kota Bet-Sean dan berusaha mengambil mayat-mayat tersebut serta memberikan penghormatan yang selayaknya.
Masih banyak contoh lain yang diberikan dalam Alkitab. Yakub berpesan kepada keturunannya supaya mayatnya kelak dikumpulkan bersama dengan nenek moyangnya (Kej. 49:29-32). Pesan yang sama disampaikan oleh Yusuf kepada saudara-saudara dan anak-anaknya (Kej. 50:25). Jadi, menurut tradisi waktu itu, dikuburkan bersama keluarga adalah kehormatan besar. Orang rela melakukan apapun untuk mendapatkan itu. Sebaliknya, tidak mendapatkan penguburan merupakan aib terbesar.
Lebih hina lagi apabila abu sisa pembakaran mayat dijadikan kapur untuk dinding. Tindakan ini seolah-olah ingin menegaskan bahwa abu itu tidak berharga sama sekali. Sama seperti pasir, kapur, atau bahan lain yang digunakan untuk membuat dinding.
Ketiga, tindakan ini meniadakan semua harapan bagi yang meninggal dunia. Beberapa ahli menduga pembakaran tulang ini memiliki makna simbolis. Bangsa Edom dan Moab mungkin mempercayai bahwa kebangkitan seseorang akan terhalang apabila seluruh bagian tubuhnya hancur. Keterkaitan mereka dengan orang-orang yang masih hidup juga akan terputus. Mereka akan dianggap sendirian dan tanpa harapan. Bagi mereka yang meyakini konsep seperti ini, pembakaran tulang orang mati jelas merupakan tindakan yang kejam.
Alkitab tentu saja tidak mengajarkan konsep seperti itu. Nasib seseorang ditentukan oleh hidup orang itu. Cara mati maupun tindakan orang lain terhadap orang yang sudah mati tidak akan membawa pengaruh apapun. Walaupun demikian, Allah melihat sikap hati bangsa Moab. Hati mereka dikuasai oleh kebencian sampai mereka ingin melihat musuh mereka “tanpa harapan”. Sikap seperti inilah yang dihakimi oleh TUHAN, terlepas dari konsep teologis di baliknya benar atau keliru.
Hukuman untuk bangsa Moab (ayat 2-3)
Hukuman TUHAN atas Moab sekilas sama dengan hukuman untuk bangsa-bangsa sebelumnya (1:3-15). Ada pembakaran kota dan puri (2:2a). Ada kekalahan perang (2:2b). Ada hukuman atas para penguasa (2:3).
Jika diteliti lebih jauh, ada beberapa hal yang menarik dari berita penghukuman ini. TUHAN tetap menghukum bangsa Moab walaupun objek kejahatan mereka bukan umat (bangsa Edom). Di bagian-bagian sebelumnya, objek kejahatan adalah umat Allah (misalnya penduduk Gilead, saudara Edom = Israel) atau bangsa yang tidak disebutkan namanya (kemungkinan juga bisa bangsa Israel atau Yehuda). Kali ini objek kejahatan disebutkan secara eksplisit, dan ternyata bukan umat Allah. Namun, tetap saja hukuman ilahi dijalankan atas mereka.
Hukuman ini menunjukkan bahwa Allah berkuasa dan peduli dengan sejarah semua bangsa. Dia campur tangan dan mengarahkan segalanya (bdk. 9:7). Dia adalah Tuhan semesta alam yang maha adil. Dia tidak membiarkan dosa begitu saja. Keadilan-Nya tidak dibatasi oleh subjek maupun objek ketidakadilan. Pendeknya, Dia berkuasa dan tidak memandang muka.
Hal menarik lain adalah pemunculan puri Kireot sebagai tempat yang akan dihancurkan. Biasanya yang dijadikan objek penghukuman adalah istana, benteng, atau kota-kota besar. Kali ini TUHAN menujukannya pada tempat yang dianggap sakral. Keriot adalah tempat pemujaan Dewa Kamos. Jadi, penyebutan ini lebih ke arah relijius daripada ekonomis, politik maupun militer.
Kita tidak bisa memastikan mengapa tempat sakral ini perlu disebutkan secara khusus. Apa kaitannya dengan membakar tulang raja Edom menjadi kapur? Jika harus dihubungkan, dugaan terbaik terletak pada ide tentang pembakaran. Bangsa Moab sudah terbiasa membakar manusia sebagai korban bakaran untuk Dewa Kemos. Mereka melakukan itu untuk memperoleh pahala dari Kamos, misalnya kemenangan dalam peperangan (2Raj. 3:27). Praktek ini sudah merupakan kejijikan bagi TUHAN (1Raj. 11:7, 33). Jika mengorbankan rakyat sendiri untuk memperoleh kemenangan saja sudah sedemikian menjijikkan, bagaimana dengan membakar orang lain (raja Edom) hidup-hidup hanya untuk kesenangan dan melampiaskan dendam? Tidak ada tujuan tertentu di balik kejahatan ini selain penghinaan. Seberapa banyak kapur yang bisa dihasilkan dari pembakaran tulang seorang manusia? Tentu saja tidak banyak. Itulah inti persoalannya. Sebuah kejahatan saja sudah berlebihan, apalagi kalau kejahatan itu tidak bertujuan sama sekali.
Yang dilakukan oleh Yesus Kristus sangat berbeda. Dia datang untuk menghapuskan permusuhan, antara manusia dan Allah serta antar manusia. Dia datang kepada orang-orang yang hina supaya mereka memperoleh kemuliaan. Dia datang memberikan pengharapan bahwa kematian bukanlah titik akhir perjalanan. Soli Deo Gloria.