Bagi banyak orang bagian penutup surat mungkin hanya sekadar formalitas belaka. Ada pola yang harus diperhatikan. Ada ungkapan-ungkapan klise yang perlu diungkapkan. Tidak demikian bagi Paulus. Salam dan berkat di penutup surat-suratnya tetap mengandung maksud dan makna tertentu yang mendalam. Demikian pula dengan penutup surat pertama kepada jemaat Korintus.
Salam (ayat 19-21)
Keunikan bagian ini dibandingkan dengan surat-surat Paulus yang lain terletak pada cakupan pemberi salam. Cakupannya sangat luas. Paulus bukan hanya menyebutkan gereja lokal tertentu atau menuliskan nama-nama tertentu. Salam berasal dari seluruh gereja di satu propinsi, yaitu Asia.
Istilah “Asia” bukan merujuk pada benua Asia seperti sekarang. Ini adalah sebuah propinsi dalam kekaisaran Romawi kuno yang terletak di bagian barat Asia Kecil (sekitar daerah Turki sekarang). Di propinsi Asia ini kota Efesus menempati posisi yang strategis sebagai penghubung secara ekonomis maupun administratif. Kita tidak tahu persis ada berapa banyak gereja lokal di propinsi ini. Namun, Paulus tampaknya ingin menegaskan bahwa salam yang dia sampaikan mewakili semua gereja lokal itu.
Bukan hanya itu. Di ayat 20 dia kemungkinan besar bahkan secara sengaja menyertakan semua orang percaya di segala tempat (“Salam kepadamu dari saudara-saudara semuanya”). Jika ini benar (kontra NIV “All the brothers here send you greetings”), kita bisa menangkap nuansa universal dalam salam ini.
Apa maksud Paulus di balik salam yang universal tersebut? Banyak penafsir mengaitkan hal ini dengan kesombongan rohani jemaat Korintus. Jemaat di sana merasa diri begitu spesial (8:1) karena semua kekayaan rohani yang mereka miliki (1:5-7). Beberapa kali Paulus sudah memperingatkan bahwa mereka merupakan bagian dari gereja universal (1:2; 4:17; 11:16; 14:33, 36; 16:1). Bahkan di awal suratpun sudah ditegaskan bahwa semua nasihat di dalam surat ini bukan hanya ditujukan kepada jemaat Korintus, tapi “dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (1:2). Dengan demikian, awal dan akhir surat membentuk gaya sastra inklusio yang berbicara tentang kebersamaan semua gereja di segala tempat. Tidak ada satu gereja pun yang eksklusif. Semakin eksklusif suatu gereja, semakin rentan gereja itu terhadap kesombongan dan kesesatan.
Salam secara umum jelas tidak memadai, tidak peduli seberapa luas jangkauan salam itu. Semua orang membutuhkan sentuhan yang lebih personal. Paulus terlihat sangat memahami hal ini.
Dia menambahkan nama Akwila dan Priskila (Priska, 16:19). Dari nama Latin yang disandang, keduanya kemungkinan besar adalah bekas budak bangsawan Romawi. Menurut catatan Alkitab, Akwila dan Priskila sempat menetap di Roma sebelum akhirnya pindah ke Korintus karena semua orang Yahudi dipaksa keluar dari kota itu oleh Kaisar Klaudius (Kis. 18:2). Mereka tinggal bersama Paulus. Mereka memiliki pekerjaan yang sama, yaitu pembuat tenda (Kis. 18:3). Pilihan untuk menetap di Korintus cukup strategis, karena ada pertandingan olah raga Itsmian, sehingga kebutuhan tenda akan melimpah pada saat pertandingan digelar. Dari Korintus, Akwila dan Priskila mungkin sering berpindah-pindah, misalnya ke Roma (Rm. 16:3) dan Efesus (2Tim. 4:19). Pada saat surat 1 Korintus ditulis, keduanya kemungkinan besar sedang bersama-sama dengan Paulus, sehingga bisa turut menyampaikan salam juga. Salam dari seseorang yang dulu pernah bersama-sama jelas menambah sentuhan emosional. Ada kenangan. Ada perhatian.
Paulus tidak lupa mendorong jemaat Korintus untuk saling memberikan salam. Bentuk salam itu adalah ciuman kudus (16:20b). Salam ini sering disebutkan dalam Alkitab (Rm. 16:16; 1Kor. 16:20; 2Kor. 13:12; 1Tes. 5:26). Walaupun budaya kuno juga mempraktekkan salam seperti ini, Paulus sangat mungkin memikirkan sesuatu yang melampaui norma budaya. Dia menambahkan kata “kudus” sesudah “cium”.
Istilah “kudus” di sini bukan merujuk pada “kesucian” (dikontraskan dengan cium nafsu). Lagipula salam berbentuk ciuman biasa ditujukan pada sesama jenis kelamin. Kudus dalam arti khusus. Ini berbicara tentang kesatuan orang percaya sebagai umat perjanjian di dalam Kristus Yesus. Ada ikatan khusus di sana.
Yang ditekankan adalah kasih. Hal ini tersirat dari 1 Petrus 5:14 “Berilah salam seorang kepada yang lain dengan cium yang kudus”. Dalam teks Yunani, ungkapan yang dipakai adalah “cium kasih” (philēma agapēs, bdk. semua versi Inggris). Jika dipraktekkan kepada semua orang percaya pada zaman kuno, hal ini sangat bermakna. Tuan dan budak saling memberikan cium kasih. Orang kaya dan orang miskin mendapat perlakuan sama. Semua perbedaan dilarutkan dalam ciuman kasih sayang.
Salam terakhir jelas dari Paulus sendiri (16:21). Dari pernyataan di ayat ini, Paulus kemungkinan besar menggunakan jasa orang lain (amenuensis) pada saat menuliskan surat ini (bdk. Rm. 16:22). Khusus di bagian salam, dia sendiri yang menuliskan. Menariknya, dia merasa perlu menginfokan hal ini kepada jemaat di Korintus. Tujuannya jelas: dia ingin memberikan sentuhan personal. Bukankah dia bapa rohani bagi jemaat Korintus (4:15)?
Kutukan dan berkat (ayat 22-24)
Pemunculan kutukan di akhir surat mungkin mengagetkan pembaca sekarang. Kita terbiasa hanya menerima berkat di akhir pertemuan. Kita menganggap berkat ini sebagai suatu rutinitas yang biasa saja.
Opini seperti ini sebenarnya tidak terlalu cocok dengan kebiasaan kuno dulu. Di beberapa penutup suratnya, Paulus kadangkala memberikan peringatan tegas yang terkesan sebagai sebuah kutukan atau pemberitakan hukuman (2Tes. 3:14 “Jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan dalam surat ini, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu”; Tit. 3:10 “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi”). Di luar Alkitab kita juga menemukan salah satu catatan liturgi Yahudi kuno yang juga mencantumkan kutukan-kutukan bagi kelompok lain.
Apakah kutukan di 16:22 menunjukkan kemarahan atau kebencian Paulus? Sama sekali tidak! Ucapan ini tidak ditujukan pada orang tertentu. Ungkapan yang digunakan sangat umum (“siapa yang tidak mengasihi Tuhan”). Tidak ada nama tertentu. Pernyataan ini bersifat kategorikal, bukan personal.
Di samping itu, kutukan ini sebaiknya dipahami dalam konteks perjanjian. Mengasihi Tuhan merupakan bagian dari loyalitas terhadap perjanjian (Ul. 30:6; lihat juga 6:5), sedangkan perjanjian sendiri mengandung dua sisi: berkat dan kutuk (Ul. 30:1). Dengan kata lain, Paulus tidak sedang mengutuki seseorang. Dia hanya mengingatkan jemaat Korintus tentang status mereka sebagai umat perjanjian. Umat TUHAN sepatutnya mengasihi Dia.
Lebih lanjut, Paulus juga tidak sedang mengharapkan hukuman jangka pendek bagi orang tertentu. Dia mengaitkannya dengan kedatangan Tuhan. Walaupun ungkapan Aramik “maranata” bisa digunakan dalam beragam konteks sehingga dapat dipahami sebagai sebuah pengakuan (Tuhan sudah datang!) atau pengharapan (Tuhan datanglah!), dalam konteks 1 Korintus 16:22 ungkapan ini sebaiknya dipahami secara futuris (kedatangan Tuhan kedua kali). Mereka yang mengasihi Tuhan akan mendapatkan berkat sedangkan yang lain akan menerima kutuk.
Ungkapan keras di ayat 22 bukan sebagai poin terakhir di surat ini. Seperti biasa, Paulus menutup dengan harapan bahwa kasih karunia Kristus akan selalu menyertai jemaat Korintus. Angerah terbesar adalah Kristus. Setiap anugerah tidak terpisahkan dari Kristus.
Yang menarik, hanya di surat ini Paulus menutup dengan ungkapan kasih secara pribadi. Dia berkata: “Kasihku menyertai kamu sekalian dalam Kristus Yesus” (16:24). Dia merasa menyampaikan salam dengan tangannya sendiri (16:21) tidaklah cukup. Dia ingin menegaskan betapa dia mengasihi semua jemaat Korintus. Objek kasih ini tentu saja termasuk mereka yang menentang Paulus (bdk. 4:1-5). Bukankah di tengah semua pertikaian dan persoalan yang terjadi di Korintus, mereka sebenarnya paling membutuhkan kasih?
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda menebar salam dan menunjukkan kasih kepada sesama? Sudahkah gereja Anda menjadi sebuah komunitas yang saling memperhatikan dan mengasihi? Soli Deo Gloria.