Eksposisi 1 Korintus 16:15-18

Posted on 27/01/2019 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/eksposisi-1-korintus-16-15-18.jpg Eksposisi 1 Korintus 16:15-18

Menyadari bahwa pelayanan harus teosentris (berpusat pada Allah) adalah hal yang baik. Semua yang kita lakukan memang dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia (Rm. 11:36). Sayangnya, konsep ini seringkali dipahami secara sempit. Sebagian orang beranggapan bahwa “teosentris” berarti tidak ada ruang untuk apresiasi bagi manusia. Yang penting adalah Allah. Manusia sama sekali tidak ada yang penting.

Benarkah Allah dan manusia harus diletakkan dalam dikotomi (baca: pemisahan) seperti itu? Apakah berdosa untuk menghargai manusia? Khotbah hari ini akan mengajarkan kepada kita hal sebaliknya. Mengutamakan Allah tidak harus dikontraskan dengan menghargai manusia.

Dalam teks ini Paulus secara khusus membicarakan tentang Stefanus dan keluarganya serta beberapa nama lain. Porsi pembahasan yang diberikan pun cukup besar (4 ayat). Dari porsi pembahasan dan isinya terlihat bahwa orang-orang ini bukanlah orang sembarangan. Paulus sangat menghargai mereka, dan dia ingin agar jemaat Korintus menunjukkan sikap yang sama terhadap mereka. Penghargaan ini (ayat 18b) diwujudkan dalam bentuk ketaatan (ayat 16a). 

Yang perlu dicatat, permohonan Paulus ini bukan didasarkan pada faktor kedekatan belaka. Yang lebih disorot oleh Paulus adalah apa yang dilakukan orang-orang ini bagi Tuhan. Bukan tentang mereka, tetapi pelayanan mereka. Dua kali Paulus menambahkan frasa “orang-orang yang demikian” (ayat 16a, 18b). Bukan cuma “orang-orang ini”. Dia juga menyertakan “setiap orang yang turut bekerja dan berjerih-payah” (ayat 16b).  Dengan kata lain, Paulus sedang membahas tentang kategori orang, bukan pribadi orang. Siapa saja – selama orang itu memenuhi kategori yang ada – berhak untuk memperoleh penghargaan.

Orang-orang seperti apa yang layak mendapat penghargaan dan ketaatan kita? Paulus memberikan beberapa poin yang saling berkaitan. Poin-poin ini bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.

Pertama, mereka yang menjadi buah sulung (ayat 15). Frasa “orang-orang yang pertama-tama bertobat” (LAI:TB) secara hurufiah berarti “buah sulung” (aparchē, lihat semua versi Inggris). Paulus sangat mungkin memikirkan dua aspek dari istilah ini: “pertama” dan “utama”. Pertama dari sisi waktu. Utama dari sisi kepentingan.

Sesuai konteks, di antara dua aspek tadi, yang paling dominan adalah yang kedua (keutamaan). Dalam surat-surat Paulus, kata “buah sulung” (aparchē) merujuk pada sesuatu yang utama dan pangkal dari yang lain. Sebagai contoh, Yesus adalah buah sulung kebangkitan (15:20, 23). Artinya, kebangkitan-Nya jauh melebihi dan malah menjadi pokok kebangkitan bagi yang lain. Hal ini sesuai dengan konsep Perjanjian Lama. Buah sulung dianggap sebagai yang terbaik dan jaminan bagi panen berikutnya. Apa yang terjadi pada yang sulung akan berdampak pada yang lain. Pemikiran ini tersirat dalam kalimat Paulus di Roma 11:16 “Jikalau roti sulung adalah kudus, maka seluruh adonan juga kudus, dan jikalau akar adalah kudus, maka cabang-cabang juga kudus”.

Begitulah yang terjadi dengan Stefanus (dan keluarganya). Dia bukan hanya petobat pertama di Akhaya. Bukan itu yang disorot. Yang penting adalah peranan dia sesudah pertobatan tersebut. Percuma menjadi pertama kalau bukan yang utama. Percuma menjadi pertama tapi tanpa dampak apa-apa. Dengan cara yang sama, kita yang bukan petobat pertama tidak perlu kecewa. Kita masih bisa menjadi “buah sulung” dalam arti menjadi bagian yang terbaik dan berdampak besar bagi orang lain.

Kedua, mereka yang mengabdikan diri untuk pelayanan bagi orang-orang kudus (ayat 15). Kata “mengabdikan diri” (etaxan, dari kata tassō) di sini menyiratkan sebuah ketetapan yang bulat. Kata ini digunakan untuk keputusan seorang atasan kepada bawahannya (Luk. 7:8), ketetapan kekal Allah (Kis. 13:48; 22:10), atau keputusan lain yang sudah pasti (Kis. 15:2; 28:23). Pendeknya, Stefanus (dan keluarganya) bukan hanya melibatkan diri dalam pelayanan, tetapi mengabdikan diri. Mereka memiliki komitmen yang kuat dalam pelayanan.

Keseriusan dalam pelayanan ini dibuktikan melalui kerja keras (ayat 16b). Mereka bukan hanya bekerja, tetapi rela berjerih-payah (kopiaō). Paulus sendiri sudah memberikan teladan tentang hal ini (4:12; 15:10; Kol. 1:29; 1Tim. 4:10). Dia sadar bahwa tidak semua orang mau membayar harga yang mahal ini. Itulah sebabnya dia sangat menghargai orang-orang yang rela berjerih-payah dalam pelayanan (lihat Rm. 16:6, 12; 1Tes. 5:12; 1Tim. 5:17).       

Lebih jauh, fokus pelayanan mereka bukanlah diri sendiri tetapi orang lain. Frasa “untuk pelayanan bagi orang-orang kudus” (eis diakonian tois hagiois) muncul di bagian awal. Keuntungan dan kebaikan orang lain diletakkan di posisi terdepan. Hal ini sesuai dengan prinsip kasih yang sudah diajarkan oleh Paulus dalam surat ini: “kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri” (13:5). Hal ini selaras juga dengan cara pelayanan Paulus: dia mau menjadi segala-galanya – bahkan melepaskan hak dan kebebasannya - bagi kepentingan orang lain (9:1-23).

Contoh terbesar untuk pelayanan seperti ini adalah Yesus Kristus. Dia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan menjadi tebusan bagi banyak orang (Mat. 20:28’//Mrk. 10:45). Walaupun Dia adalah Allah, Dia rela menjadi manusia dan hamba untuk mati secara terhina bagi manusia (Flp. 2:6-8).  

Pola pelayanan seperti ini berbeda dengan praktek agama-agama mistis kuno maupun ajaran lain. Pelayanan ditujukan bagi kepentingan diri sendiri, misalnya mendapatkan sesuatu dari allah yang disembah. Orang lain hanya dimanipulasi untuk kepentingan diri sendiri. Pola ini juga berbeda dengan praktek sosial kuno “patron-klien”. Para patron (pelindung, pengayom, dsb) mengharapkan penghargaan dan dukungan dari orang-orang yang mereka bantu atau lindungi (klien).

Ketiga, mereka yang melengkapi kekurangan orang lain (ayat 17). Banyak penafsir berbeda pendapat tentang maksud Paulus di balik penyataan ini. Sebagian melihat kalimat ini sebagai sindiran (negatif). Apa yang gagal dilakukan oleh jemaat Korintus – yaitu mereka menentang Paulus – telah ditebus oleh Stefanus, Fortunatus, dan Akhaikus. Mereka tetap menerima dan mengunjungi Paulus. Mereka bahkan mungkin berperan sebagai mediator antara Paulus dan jemaat Korintus yang sedang bertikai.

Penafsir lain memandangnya sebagai ungkapan kerinduan Paulus (positif). Jemaat Korintus tidak bisa bersama dengan Paulus karena dipisahkan oleh jarak. Kehadiran tiga orang ini merupakan perwakilan untuk mereka.

Di antara dua opsi ini, yang terakhir lebih bisa diterima. Tidak ada petunjuk apapun tentang pertikaian antara Paulus dan jemaat Korintus di ayat 15-18. Tidak ada nuansa kecaman atau kritikan terhadap mereka. Lagipula, Paulus bersukacita karena kedatangan (parousia) mereka, bukan apa yang mereka lakukan. Kedatangan mereka sudah cukup bagi Paulus. Kedatangan mereka menggantikan ketidakhadiran jemaat Korintus. Dengan kata lain, mereka adalah perwakilan jemaat Korintus, entah mereka memang diutus oleh jemaat atau datang sendiri dalam sebuah perjalanan bisnis.

Keempat, mereka yang menyegarkan jiwa orang lain (ayat 18). Dalam tulisan Paulus, istilah “menyegarkan jiwa” (anapauō to pneuma) muncul dalam kaitan dengan penghiburan, sukacita, dan dukungan (2Kor. 7:13; Flm. 1:7). Pendeknya, segala sesuatu yang baik dan membawa manfaat atau keuntungan bagi orang lain (Flm. 1:20 “Ya saudaraku, semoga engkau berguna bagiku di dalam Tuhan: Hiburkanlah hatiku di dalam Kristus!”).

Kita tidak perlu berspekulasi tentang keadaan jiwa/roh Paulus sebelum kedatangan mereka. Apakah Paulus sedang tertekan atau baik-baik saja? Teks tidak menyediakan petunjuk yang memadai untuk mengetahuinya. Kita juga tidak perlu menebak-nebak apakah kesegaran jiwa ini berkaitan dengan konflik yang terjadi antara Paulus dan jemaat Korintus. Sekali lagi, tidak ada petunjuk yang memadai dan konklusif yang disediakan oleh teks.

Ketidakadaan petunjuk yang eksplisit mungkin malah disengaja. Paulus ingin agar pembacanya memandang hal ini secara umum. Paulus mungkin sekadar mengakui bahwa kehadiran mereka bertiga selalu membuat orang lain terhibur dan dikuatkan. Pada saat berada di tengah jemaat Korintus, mereka menghibur dan menguatkan mereka. Ketika bersama dengan Paulus, mereka juga memberikan hal positif yang sama.

Bukankah semua orang yang sudah datang kepada Kristus pasti memperoleh kelegaan (istirahat) yang sempurna (Mat. 11:28)? Apakah kita rela menjadi agen kelegaan bagi orang lain juga? Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community
sabung ayam https://desakubugadang.id/ dinkestrenggalek klik88 tok99toto ntbberita.com https://klinikkitamura.com/