Eksposisi 1 Korintus 15:56-58

Posted on 27/05/2018 | In Teaching | Leave a comment

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh pembahasan di pasal 15. Paulus memungkasi uraiannya dengan sebuah ucapan syukur (15:56-57) dan dorongan untuk melayani (15:58). Ortodoksi (ajaran yang benar) berujung pada doksologi (pujian kepada Allah) dan ortopraksi (tingkah laku yang benar). Begitulah seharusnya rute yang ditempuh oleh mereka yang ingin belajar teologi (atau Alkitab) dengan sungguh-sungguh.

Ucapan syukur (ayat 56-57)

Sebelum mengungkapkan rasa syukurnya yang mendalam, Paulus kembali menyinggung tentang kedalaman persoalan umat manusia. Semua orang menghadapi dua persoalan utama yang tak terpisahkan: kematian (maut) dan kejahatan (dosa). Bukan hanya dua hal ini tidak terkalahkan, tetapi juga saling berkaitan dan tidak terpisahkan: sengat maut adalah dosa dan kuasa dosa adalah Hukum Taurat.

Semua manusia berdosa dan binasa di dalam Adam (15:21-22). Keberdosaan Adam tidak hanya bersifat personal, tetapi sekaligus komunal. Dia mewakili seluruh keturunannya. Apa yang dihasilkan dari perbuatan Adam diperhitungkan kepada keturunannya. Tatkala dia gagal menaati perintah Allah (Kej. 2:16-17; 3:6-7), kegagalannya diperhitungkan pada semua orang. Kita mewarisi status dan natur berdosa. Kita adalah orang berdosa. Kita dikuasai oleh dosa.

Menggunakan metafora dari dunia binatang buas, Paulus menggambarkan bahwa dosa adalah sengat maut. Ada gigitan atau sengatan yang sangat fatal. Melalui dosa, maut berkuasa atas umat manusia (Rm. 5:12), karena upah dosa adalah maut (Rm. 6:23). Semua orang berada di bawah murka Allah (Rm. 1:18; 3:20).

Apakah persoalan ini dapat diatasi dengan pemberian aturan? Sama sekali tidak! Hukum Taurat bukanlah solusi bagi kejahatan dan kematian. Sebaliknya, Hukum Taurat adalah kuasa dosa.

Pernyataan ini tidak berarti bahwa Taurat merupakan penyebab dosa. Untuk memahami hal ini, kita perlu menyimak perkataan Paulus di Roma 5:13: “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat”. Hukum Taurat bukan hanya tidak sanggup mengalahkan dosa. Melalui Taurat manusia justru semakin diingatkan tentang keberdosaan mereka yang sedemikian parah.

Dua persoalan di atas – yaitu kejahatan (dosa) dan kematian (maut) – sudah dibereskan oleh Yesus Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Kematian-Nya memastikan bahwa hukuman dosa sudah ditanggung. Kebangkitan-Nya memastikan bahwa upah dosa sudah dikalahkan. Persoalan terbesar umat manusia, yaitu dosa, sudah dibereskan melalui kematian-Nya. Ketakutan terbesar umat manusia, yaitu kematian, sudah dikalahkan melalui kebangkitan-Nya.

Salah satu respons yang paling pantas untuk semua karya ilahi ini adalah ucapan syukur (ayat 57 “Syukur kepada Allah!”). Kemenangan ini memang menjadi milik kita, tetapi kita menerima sebagai pemberian dari Allah. Oleh anugerah-Nya kita dilibatkan dalam perayaan kemenangan ini dan menikmati hasilnya. Dialah yang melakukan semuanya melalui Yesus Kristus.

Bentuk partisip present “yang memberikan” (tō didonti) menyiratkan sebuah kepastian. Penerjemah LAI:TB mencoba mengekspresikan makna ini melalui bentuk lampau (“yang telah memberikan”). Kita memang belum sepenuhnya mampu mengalahkan dosa. Kita pun masih akan mengalami kematian. Walaupun demikian, semua ini kelak pasti berubah. Kemenangan mutlak sudah dituntaskan oleh Kristus.

Selain kepastian, partisip ini juga menunjukkan kekinian. Kemenangan mutlak yang kelak akan dinikmati sudah bisa dirayakan mulai dari sekarang. Peperangan sudah usai. Kita hanya masih harus menyelesaikan beberapa pertempuran. Karena itu, kehidupan Kristiani seyogyanya diwarnai dengan ucapan syukur dan sukacita. Dosa tak lagi berkuasa. Kematian tak lagi menakutkan. Kristus adalah Roh yang menghidupkan (15:45).

Dorongan untuk pelayanan (ayat 58)

Sapaan “saudara-saudaraku yang kekasih” (adelphoi mou agapētoi) menyiratkan bahwa pasal 15 bukanlah sebuah polemik yang panas dan ofensif. Tidak ada ungkapan-ungkapan kasar di sepanjang pasal ini. Seluruh pembahasan bahkan ditutup dengan sapaan yang manis: saudara-saudaraku yang kekasih.

Mengucap syukur saja tidaklah cukup. Respons yang diharapkan oleh Allah bersifat utuh. Tidak hanya masalah hati (bersyukur) atau mulut (mengucap syukur). Yang tidak boleh dilupakan adalah tindakan konkrit.

Kita harus berdiri teguh, jangan goyah (ayat 58a). Injil Yesus Kristus sudah diteguhkan di antara jemaat (1:6) dan merupakan pondasi teguh yang di atasnya kita berdiri (15:1). Bagaimanapun, kekokohan ini tidak boleh menjadi dalih bagi kecerobohan. Kita tetap perlu berpegang teguh padanya (15:2).

Ibarat sebuah kapal yang besar, kita masih bisa jatuh terpeleset, tetapi tidak mungkin jatuh ke lautan dan binasa. Namun, semua keamanan ini akan menjadi percuma apabila kita secara sengaja menceburkan diri ke laut. Keamanan sudah disediakan. Peraturan sudah ditegakkan. Kekuatan untuk menaati pun sudah diberikan pula.

Kita juga harus giat selalu dalam pekerjaan Tuhan (ayat 58b). Terjemahan yang lebih hurufiah berbunyi: “senantiasa melimpah dalam pekerjaan Tuhan” (mayoritas versi Inggris). Kata kerja perisseuō (“melimpah”) menggambarkan sesuatu yang tumpah di semua sisi. Ada kelimpahan di sana. Kata ini sebelumnya sudah muncul dalam konteks pelayanan yang membangun jemaat (14:12 “tetapi lebih dari pada itu hendaklah kamu berusaha mempergunakannya untuk membangun Jemaat”). Arti yang sama seharusnya ada di 15:58b. Bukan sekadar aktif dalam pelayanan tetapi dengan agenda pribadi. Bersemangat melayani untuk pemtumbuhan rohani orang lain.

Semua ini dilandaskan pada kebenaran bahwa “segala jerih-payah kita tidaklah sia-sia di dalam Tuhan” (15:58c). Kata kunci di sini adalah “di dalam Tuhan”. Bukan masalah seberapa banyak pelayanan yang dilakukan, melainkan pada landasan apa semua itu dilakukan.

Mengapa tidak sia-sia? Karena Kristus sudah dibangkitkan! Jika tidak demikian, semua pelayanan kita akan sia-sia (15:14). Sebaliknya, melalui kebangkitan Kristus Allah memastikan bahwa anugerah-Nya tidaklah sia-sia. Contoh yang paling jelas adalah Paulus sendiri. Anugerah Allah dalam hidupnya tidak sia-sia (15:10). Sebaliknya, dia bekerja keras melampaui yang lain. Inilah artinya melimpah dalam pekerjaan Tuhan.

Bentuk kekinian “tidak sia-sia” (ouk estin kenos) patut diperhatikan. Paulus tidak berkata: “tidak akan sia-sia”. Dia lebih berfokus pada apa yang sudah dan/atau sedang terjadi. Bukan sesuatu yang futuristik belaka. Realitas futuristik mewarnai realitas kekinian. Pendeknya, keuntungan dari kebangkitan Kristus sudah bisa dinikmati dari sekarang. Paling tidak, fakta ini menjadi dorongan yang kuat bagi hasrat yang kuat dalam pelayanan. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko