Eksposisi 1 Korintus 15:33-34

Posted on 26/11/2017 | In Teaching | Leave a comment

Di ayat 12 Paulus sudah memberitahukan persoalan yang sedang dihadapi oleh jemaat Korintus. Sebagian dari mereka tidak mempercayai kebangkitan orang mati. Dia lantas memaparkan serangkain argumentasi theologis dan praktis untuk menyanggah kekeliruan ini (15:13-32).  

Apa yang disampaikan Paulus di ayat 33-34 menguak dua hal tambahan yang penting tentang persoalan penyangkalan terhadap doktrin kebangkitan orang mati di ayat 15. Yang pertama adalah bagaimana sebagian jemaat Korintus sampai bisa terjebak pada penyangkalan tentang kebangkitan orang mati. Persoalan ini ternyata bermula dari pergaulan yang buruk (15:33). Yang kedua adalah seberapa parah pengaruh dari kesesatan itu terhadap jemaat Korintus. Konsep yang keliru ternyata telah memunculkan gaya hidup yang keliru pula (15:34). Theologi turut menentukan moralitas. Apa yang dipikirkan membentuk apa yang dilakukan.

Melihat situasi semacam ini, Paulus tidak hanya memberikan argumen yang solid. Dia juga menyikapinya secara lebih praktis. Ada teguran (15:33). Ada nasihat (15:34a). Bahkan ada kecaman keras (15:34b).

Teguran: Berhati-hati dengan pergaulan yang buruk (ayat 33)

Ungkapan “pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik” tidak eksklusif Kristiani. Ide yang sama juga muncul di literatur Yunani-Romawi kuno. Kebenaran di dalamnya merupakan hikmat secara umum. Realita sehari-hari menunjukkan bahwa seseorang ditentukan oleh dengan siapa dia bergaul. Pergaulan yang buruk merusak orang yang baik.

Kata ethos (LAI:TB “pergaulan”) bisa mengandung arti “kebiasaan” (LAI:TB) atau moralitas (hampir semua versi Inggris). Pertimbangan konteks mengarah pada arti yang terakhir. Jemaat diperingatkan oleh Paulus untuk berhenti berbuat dosa (ayat 34a). Bukan hanya dinasihati untuk memiliki kebiasaan yang baik. Ini berkaitan dengan kesalahan perilaku.    

Larangan “Janganlah sesat” berbentuk imperatif present (mē planasthe), sehingga menyiratkan bahwa hal yang dilarang sudah terlanjur dilakukan. Terjemahan yang lebih tepat adalah “Berhentilah disesatkan”. Pertimbangan konteks juga mendukung makna ini. Sebagian jemaat memang sudah menyangkali kebangkitan orang mati (15:12). Jadi, ayat 33  bukan sebuah pencegahan. Ini seruan untuk berhenti dari sebuah kekeliruan.

Kata dasar planaō secara hurufiah dapat merujuk pada gerakan menuju ke arah yang salah atau tanpa tujuan yang jelas (baca: tersesat atau mengembara, Mat. 18:12; Ibr. 11:38, lihat LAI:TB). Jika digunakan secara figuratif, kata ini berarti “tertipu” (mayoritas versi Inggris “Do not be deceived”). Jikalau Paulus sedang memikirkan makna “tertipu” di 1 Korintus 15:33, kita dapat menyimpulkan bahwa kesalahan pergaulan (“pergaulan yang buruk”) dan perilaku (“merusak kebiasaa yang baik”) dimulai dari pemikiran yang keliru.

Sebagian jemaat mungkin merasa diri sok tahu atau sok kuat (bdk. 8:1). Mereka tidak selektif dalam menggabungkan diri mereka ke dalam sebuah komunitas. Pada akhirnya ternyata mereka tidak sehebat yang mereka pikirkan. Mereka mulai terpengaruh.

Apakah yang dimaksud “pergaulan” (homilia) dalam kontek sini? Beberapa orang mencoba menafsirkan homilia sebatas pada pembicaraan (KJV). Ini merupakan terjemahan yang kurang tepat. Hampir semua versi memahami homilia sebagai “pergaulan” (company). Konteks tampaknya juga mendukung terjemahan “pergaulan”.

Jikalau ungkapan populer di ayat 32 memang merupakan sebuah sindiran yang relevan dan berasal dari lingkungan orang-orang kaya, kita memperoleh informasi tambahan tentang kesesatan sebagian jemaat. Mereka mungkin menggabungkan diri di bawah orang kaya tertentu sebagai pelindung (patron). Penggabungan ini memberikan banyak manfaat bagi mereka: prestise, perlindungan, dan kemudahan hidup yang lain. Sebagai timbal-balik, mereka akhirnya tidak kuasa untuk menolak gaya hidup dan konsep yang dipegang dalam komunitas mereka.

Nasihat: sadar dan berhenti berdosa (ayat 34a)

Mengingat kesalahan jemaat Korintus dimulai dari pemikiran yang menyimpang, tidak heran Paulus menasihati mereka untuk “sadarlah kembali sebaik-baiknya” (eknēpsate dikaiōs). Kata eknēphō (“sadar”) dalam Septuaginta (LXX) digunakan dalam kaitan dengan kemabukan (Kej. 9:24; 1Sam. 25:37; Yl. 1:5; lihat ESV “Wake up from your drunken stupor”). Sayangnya, kita tidak tahu apakah Paulus menggunakan kata ini di 1 Korintus 15:34a secara hurufiah atau figuratif. Jika maknanya hurufiah, sebagian jemaat mungkin melibatkan diri dalam pesta-pora yang dilakukan oleh orang-orang kaya yang tidak mempercayai kehidupan sesudah kematian (bdk. 15:32). Jika maknanya figuratif, Paulus mungkin sedang mengungkapkan betapa parahnya kesesatan jemaat Korintus. Mereka benar-benar tidak bisa menguasai diri, sama seperti orang-orang yang sedang dikendalikan oleh alkohol.

Saya cenderung memahaminya secara figuratif. Persoalan di ayat 33 mengandung dua sisi: theologis (kesesatan) dan praktis (pergaulan buruk, kerusakan moralitas). Sangat beralasan apabila kita berharap Paulus juga menyinggung dua aspek ini dalam nasihatnya: theologis (“sadar dari kesesatan”) dan praktis (“berhentilah berbuat dosa”). Di samping itu, seandainya Paulus memikirkan makna hurufiah, mengapa dia perlu membedakan kemabukan (“sadarlah dari kemabukan”) dari dosa-dosa lainnya (“berhentilah berbuat dosa”)?

Jikalau penafsiran figuratif di atas diterima, kita bisa melihat sesuatu yang menarik dari nasihat Paulus di ayat 34a. Perubahan tindakan harus dimulai dari perubahan pemikiran. Doktrin dulu, baru praktik. Kesalehan yang sehat dibangun di atas doktrin yang tepat dan kuat.

Nasihat seperti ini sesuai dengan situasi jemaat Korintus. Keberdosaan mereka dipicu oleh kekeliruan pandangan mereka. Penolakan terhadap kebangkitan orang mati telah mempengaruhi gaya hidup mereka ke arah yang lebih buruk. Karena itu, sangat wajar apabila Paulus berusaha mengubah perilaku mereka dari pemikiran terlebih dahulu. Selama mereka tidak menyadari dan mengubah kesesatan mereka, transformasi hidup sukar dicapai. Apa yang kita pikirkan menentukan apa yang kita lakukan.

Kecaman: sama dengan orang yang tidak mengenal Allah (ayat 34b)

Di antara semua kecaman kepada jemaat Korintus di surat ini, 15:34b mungkin adalah yang paling keras. Paulus menyebut mereka sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Dalam teks Yunani, kalimat yang digunakan bahkan terkesan lebih tegas. Secara hurufiah, bagian ini berbunyi: “Beberapa orang memiliki ketidaktahuan tentang Allah”. Berbentuk positif: memiliki ketidaktahuan. Bahkan kata “ketidaktahuan” (agnōsia) sengaja diletakkan di awal frase ini untuk penekanan. Mereka bukan hanya tidak memiliki apa yang seharusnya dimiliki. Mereka justru memiliki apa yang seharusnya tidak boleh dimiliki.

Melalui ucapan ini Paulus ingin menandaskan bahwa kesalahan mereka secara esensial sama dengan orang-orang lain yang tidak mengenal Allah. Bagi jemaat yang kaya dalam segala perkataan dan pengetahuan (1:5), serta merasa diri berpengetahuan (8:1), kecaman di 15:34b jelas terdengar sangat ironis. Bukan hanya perilaku jemaat yang mirip (bahkan lebih buruk) dengan dunia (5:1). Pengetahuan mereka pun tidak ubahnya seperti orang-orang dunia.

Untuk menambah keseriusan dalam kecamannya, Paulus sengaja mengungkapkan alasan di balik kecaman ini, yaitu untuk mempermalukan mereka. Dia tidak berusaha menyembunyikan maksud ini. Sebaliknya, dia ingin agar jemaat mengetahuinya. Ini bukan sekadar kecaman biasa. Bukan pula sarkasme. Paulus ingin agar jemaat yang menolak kebangkitan orang (juga kebangkitan Kristus) merasa malu. Mereka tidak lebih baik daripada orang-orang dunia yang tidak mengenal Allah!

Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah memiliki pergaulan yang baik? Sudahkah kita menggarami dan menerangi komunitas itu? Ataukah kita yang perlahan-lahan menjadi sama dengan mereka? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko