Seperti sudah diuraikan di khotbah-khotbah sebelumnya, jemaat Korintus mengalami kesulitan untuk memahami kebangkitan orang mati, secara khusus dari sisi material. Filsafat dualisme Yunani kuno yang mereka anut tidak memberi ruang bagi kebangkitan tubuh. Tubuh (materi) adalah jahat, sedangkan jiwa atau roh (non material) adalah baik. Kematian membebaskan yang baik dari yang jahat. Mengapa tubuh yang jahat masih perlu dibangkitkan? Bagaimana mungkin sesuatu yang material dapat ada dalam dunia roh di kekekalan nanti?
Jawaban eksplisit terhadap kebingungan di atas akan diberikan oleh Paulus mulai ayat 35. Di ayat 12-34 ia hanya berusaha menunjukkan bahwa penyangkalan terhadap kebangkitan orang-orang mati tidak selaras dengan injil yang berisi kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (ayat 3-4). Jika Kristus sungguh-sungguh dibangkitkan dari antara orang-orang mati, seharusnya kebangkitan orang mati secara umum menjadi konsep yang tidak sukar untuk dimengerti. Kenyataannya, jemaat Korintus mempercayai dua pandangan yang saling bertentangan ini, padahal yang satu menegasikan yang lain. Karena itu di ayat 12 Paulus mengungkapkan keheranannya: “Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati?”
Jemaat Korintus tampaknya belum (atau gagal) memikirkan konsekuensi dari penolakan mereka terhadap kebangkitan orang-orang mati. Dua kali Paulus menegaskan bahwa jika orang-orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan (ayat 13, 16). Jika ini yang terjadi, konsekuensi bagi kekristenan begitu fatal. Jatuh atau bangunnya kekristenan bergantung pada kebangkitan Yesus Kristus. Tanpa kebangkitan-Nya, kekristenan akan kehilangan esensinya.
Apa saja konsekuensi fatal seandainya Kristus tidak dibangkitkan? Hari ini kita hanya akan melihat tiga konsekuensi buruk apabila Kristus tidak dibangkitkan (ayat 14-15). Konsekuensi-konsekuensi yang lain di ayat 16-19 akan diuraikan di khotbah mendatang.
Pemberitaan injil menjadi sia-sia (ayat 14)
Konsekuensi pertama berhubungan dengan “pemberitaan” (kērygma) para rasul. Walaupun kata kērygma secara umum hanya berarti “pemberitaan”, tetapi dalam Perjanjian Baru objek dari pemberitaan ini sudah jelas, yaitu injil. Dalam 1 Korintus 1:21 dikatakan: “Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil”.
Kata “sia-sia” (kenos) sengaja diletakkan di depan kata kērygma sebagai sebuah penekanan. Pemunculan kata yang sama di akhir ayat ini (“sia-sialah juga kepercayaan kamu”) turut memberi penegasan tambahan. Urutan kata sebagai penekanan ini diungkapkan secara tepat dalam terjemahan LAI:TB “sia-sialah pemberitaan kami” (bdk. mayoritas versi Inggris “pemberitaan kami adalah sia-sia”).
Kata kenos mempunyai arti “kosong” atau “sia-sia”. Hampir semua terjemahan Alkitab memilih alternatif yang terakhir. Apa arti “sia-sia” dalam konteks ini?
Teks menyediakan petunjuk yang sangat bermanfaat untuk mengetahui makna “sia-sia” di bagian ini. Kata kenos sudah muncul di ayat 10. Di sana Paulus mengatakan: “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku”. Kasih karunia Allah tidak sia-sia bagi Paulus. Ada dampak nyata dari kasih karunia itu, yaitu perubahan hidup Paulus dan semangatnya dalam melayani Tuhan. Jadi, sia-sia dalam konteks ini lebih mengarah pada “tidak ada dampak sama sekali”.
Pemberitaan apapun yang tidak mengandung kebangkitan Kristus tidak akan memiliki kekuatan ilahi apa-apa. Tidak peduli apakah suatu pemberitaan dilakukan dengan tenik retorika Yunani-Romawi yang hebat atau dengan kekuatan Roh (2:1-4) hasilnya akan sama saja. Tidak ada kekuatan di dalamnya. Injil Yesus Kristus adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (Rm 1:16), tetapi tanpa kebangkitan Yesus tidak akan ada injil. Jika tidak ada injil, maka tidak akan ada kekuatan Allah yang mengubahkan.
Poin ini sangat mendesak untuk didengungkan berulang-ulang di berbagai gereja. Banyak khotbah terjebak pada moralitas humanis yang hanya berkutat pada aturan-aturan dan petuah-petuah manusiawi. Etika dipisahkan dari theologi. Moralitas diceraikan dari injil Yesus Kristus. Kesalehan hidup yang akan terbentuk tidak berakar pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Ini adalah kesalehan yang palsu.
Iman kita menjadi sia-sia (ayat 14)
Istilah “iman” (pistis) sudah menjadi begitu akrab di telinga banyak orang. Banyak orang Kristen latah menggunakannya. Ironisnya, tidak banyak yang benar-benar memahami arti iman yang sebenarnya.
Salah satu kesalahan fatal yang cukup populer adalah menyamakan iman dengan keyakinan yang buta. Iman dibatasi pada perasaan yang kuat terhadap Allah, tetapi tanpa disertai dengan bukti yang memadai. Contoh menarik ada di kamus Merriam-Webster yang sangat tradisional dan terkenal. Salah satu definisi iman yang disediakan di sana adalah “keyakinan yang teguh terhadap sesuatu walaupun tidak ada bukti”. Parahnya lagi, sebagian orang Kristen justru membanggakan imannya yang tidak rasional. Semakin tidak ada bukti dianggap semakin murni imannya.
Konsep tentang iman seperti di atas sangat bertentangan dengan pemahaman Paulus. Iman bukan hanya terbatas pada perasaan. Iman juga merengkuh kenyataan dan pengertian. Iman bersifat historis dan logis. Konsisten dengan logika dan koheren dengan realita.
Tanpa sebuah fakta historis, yaitu kebangkitan Kristus dari antara orang mati, iman kita akan menjadi sia-sia. Tidak peduli seberapa besar keyakinan kita. Tidak peduli seberapa tulus kita mempercayainya. Tidak peduli seberapa lama kita memegangnya. Iman yang nyata adalah iman yang tertancap pada kenyataan. Meyakini sesuatu yang tidak terjadi adalah kebodohan. Kabar baik yang tidak benar adalah kebohongan. Kabar semacam ini tidak akan bisa memberi penghiburan.
Kesalehan para rasul akan dipertaruhkan (ayat 15)
Inti pemberitaan para rasul adalah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (15:3-4). Tidak ada berita lain yang lebih sentral. Bahkan semua khotbah para rasul berputar pada poros ini.
Seandainya Kristus tidak dibangkitkan, maka para rasul akan didapati Allah sebagai pseudomartyres tou theou, yang secara hurufiah berarti “para saksi dusta tentang Allah”. Mereka memberitakan bahwa Allah membangkitkan Yesus Kristus, padahal kenyataan tidak demikian. Ini adalah kesaksian palsu tentang Allah atau, lebih tepatnya, melawan Allah.
Ini jelas sebuah konsekuensi yang tidak main-main. Dalam budaya Yahudi, menjadi saksi dusta tentang sesama manusia saja sudah dikategorikan pelanggaran yang sangat berat. Dalam Dasa Titah TUHAN tidak lupa menyertakan larangan untuk menjadi saksi dusta (Kel 20:16; Ul 5:20). Ada ancaman hukuman yang berat bagi para saksi dusta (Ul 19:16-21). Para pendusta tidak akan luput dari hukuman Allah (Amsal 19:5). Jika berdusta tentang sesama saja harus dihukum sedemikian berat, apalagi berdusta tentang Allah. Hukuman yang akan ditanggung jelas tidak tanggung-tanggung. Para rasul yang dibesarkan dalam tradisi Yahudi pasti memahami keseriusan dari pelanggaran ini.
Berdasarkan pertimbangan logis, tidak mungkin para rasul berbohong tentang kebangkitan Yesus Kristus. Mereka tidak memiliki motif untuk menciptakan maupun menyebarkan kisah kebangkitan. Tidak ada keuntungan apapun yang mereka terima. Sebaliknya, mereka justru menghadapi berbagai tekanan dan penganiayaan akibat pemberitaan itu. Jika kebangkitan adalah sekadar kisah dusta yang mereka ciptakan sendiri, tidak mungkin mereka mau menderita dan mati demi kebohongan tersebut.
Mereka juga tidak memiliki kapasitas yang mumpuni. Sangat sedikit pengikut Yesus Kristus yang layak dikategorikan terpelajar. Kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Bagaimana mungkin mereka mampu membuat sebuah kisah bohong yang dengan cepat dipercayai oleh jutaan orang? Kalau bukan karena kuasa ilahi dalam injil, tidak mungkin orang-orang sederhana ini mampu memiliki pengaruh yang begitu luas.
Mereka juga tidak memiliki strategi yang jitu. Jika ingin membuat cerita bohong, bukankah lebih mudah memberitakan kebangkitan Yesus secara spiritual sehingga tidak dapat dilacak kebenarannya? Mengapa mereka harus susah-payah mengarang kebangkitan tubuh? Keberadaan para wanita sebagai saksi-saksi awal juga memberi dukungan serupa. Dalam budaya Yahudi, kesaksian wanita tidak diperhitungkan. Jika mau menyebarkan dusta, mengapa tidak memilih saksi-saksi pria saja?
Kegagalan para penguasa untuk menghentikan pemberitaan injil merupakan sesuatu yang perlu dipertimbangkan secara serius. Mereka telah melakukan segala hal untuk menyanggah dan mematikan berita kebangkitan Kristus. Berita bohong tentang pencurian mayat Yesus Kristus pun disebarluaskan untuk melawan berita injil. Penganiayaan terhadap orang-orang Kristen dilakukan secara intensif dan komprehensif. Semua ini tetap tidak mampu mematikan api injil. Soli Deo Gloria.