Eksposisi 1 Korintus 15:1-2

Posted on 25/09/2016 | In Teaching | Leave a comment

Pemunculan kata “sekarang” dan sapaan “saudara-saudara” di ayat 1 menandai sebuah topik yang baru. Pembahasan tentang penggunaan karunia-karunia rohani di pasal 12-14 sudah berakhir. Kini Paulus sedang membicarakan tentang kebangkitan, baik kebangkitan Kristus yang terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu maupun kebangkitan orang-orang percaya di akhir zaman.

Inti persoalan

Pembahasan tentang kebangkitan di pasal 15 tidak dapat dilepaskan dari sebuah persoalan yang muncul di tengah jemaat Korintus pada waktu itu. Ada di antara mereka yang tidak percaya pada kebangkitan, sebagaimana dikatakan dalam 15:12 “Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati?”. Permasalahan ini sangat mungkin didorong oleh persentuhan jemaat Korintus dengan pemikiran-pemikiran tertentu dalam filsafat Yunani-Romawi kuno. Di ayat 33 Paulus memberikan peringatan sebagai berikut: “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”.

Dari cara Paulus mengupas isu ini di sepanjang pasal 15 kita dapat menarik kesimpulan bahwa kesalahan jemaat Korintus bukan terletak pada penolakan mereka terhadap kehidupan sesuah kematian (life after death). Mereka tetap mempercayai itu. Hanya saja, mereka menganggap bahwa kehidupan sesudah kematian tetap dapat terjadi tanpa kebangkitan. Roh atau jiwa manusia tetap ada setelah kematian, terlepas dari ada atau tidaknya kebangkitan orang mati.

Kesesatan ini mungkin muncul dari kerancuan pemikiran. Mereka sulit membayangkan bagaimana tubuh manusia yang bersifat jasmaniah dan dapat binasa bisa berada di surga dengan dimensinya yang rohaniah dan kekal. Beberapa jemaat yang terpengaruh dualisme Yunani – yang material adalah jahat, yang non-material adalah baik – mungkin akan menghadapi kebingungan yang lebih parah. Bagaimana bisa sesuatu yang jahat (tubuh manusia yang material) berada di suatu tempat yang sempurna (dimensi spiritual)? Dengan kata lain, persoalan mereka terletak pada ketidakpahaman tentang konsep kebangkitan tubuh. Kebingungan ini tersirat jelas dalam argumen antisipatif Paulus: “Tetapi mungkin ada orang yang bertanya: ‘Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?’”.

Persoalan ini jelas merupakan sesuatu yang sangat serius. Kebangkitan adalah landasan iman Kristen. Jika kebangkitan ditolak, pondasi kekristenan akan runtuh (bdk. 15:13-19). Tanpa kebangkitan, semua aktivitas Kristiani – iman, pemberitaan injil, pengorbanan dalam pelayanan - tidak akan berguna sama sekali (15:29-32).

Bukan hanya tentang kebangkitan, tetapi kebangkitan tubuh. Ini juga merupakan doktrin penting dalam kekristenan. Ini adalah karakteristik kekristenan, sebagaimana diungkapkan dalam Pengakuan Iman Rasuli “[Aku percaya] kebangkitan tubuh dan hidup yang kekal”.

Injil Yesus Kristus (ayat 1-2)

Pada bagian ini Paulus tidak langsung memberikan jawaban detil terhadap kebingungan jemaat Korintus. Paulus lebih memilih untuk membicarakan tentang injil. Strategi seperti ini bukan hal asing dalam tulisan-tulisan Paulus.

Paulus meletakkan pijakan bersama (ayat 1-2a)

Semua perbincangan dan diskusi seyogyanya dilakukan di atas pondasi yang sama. Tanpa pijakan yang sama (common ground), sebuah diskusi akan berubah menjadi debat kusir yang tak berfaedah. Hal ini sangat dimengerti oleh Paulus, karena itu ia sengaja memulai pembahasan tentang kebangkitan dengan konsep yang sama-sama diyakini oleh dia dan jemaat Korintus, yaitu Injil Yesus Kristus.

Kata ganti penghubung “yang” yang muncul beberapa kali dalam bagian ini berfungsi untuk menerangkan “injil”. Ada empat keterangan penting tentang injil dalam bagian ini.

Pertama, “yang kami beritakan kepadamu” (ayat 1). Tambahan ini tampaknya cukup ditekankan oleh Paulus. Ia mengulang ide yang sama di ayat 2 (“seperti yang telah kuberitakan kepadamu”). Bahkan di antara semua keterangan tentang injil, hanya keterangan ini yang mendapat pengulangan untuk penekanan.

Keterangan tambahan semacam ini memang diperlukan karena kata euanggelion (“injil”) pada waktu itu bisa merujuk pada segala kabar baik, misalnya kelahiran putera mahkota atau kemenangan perang. Bahkan di kalangan kekristenan sendiri istilah euanggelion tidak selalu seragam. Beberapa pengajar palsu telah memberitakan injil yang lain, yang sebenarnya bukanlah injil (Gal 1:6-9). Injil yang diberitakan oleh Paulus kepada jemaat di Korintus adalah Yesus Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan (15:3-5; bdk. 1:1-2:5). Tanpa kematian dan kebangkitan Yesus tidak mungkin ada injil yang sejati. 

Tambahan “yang kami beritakan kepadamu” juga diperlukan sebagai sebuah strategi persuasi. Paulus ingin mengingatkan jemaat Korintus tentang relasi mereka dengan dirinya yang khusus. Sebagai perintis jemaat di Korintus (Kis 18), Paulus mendapat kesempatan untuk menyampaikan injil kepada mereka untuk pertama kalinya. Itulah sebabnya ia berani berkata: “Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu” (4:15). Ikatan historis dan emosional seperti ini kadangkala memiliki kekuatan persuasif yang tidak boleh diremehkan.

Kedua, “yang kamu terima” (ayat 1). Bentuk Kata “menerima” (paralambanō) dalam konteks ini lebih mengarah pada penerimaan sebuah tradisi atau ajaran yang diturunkan. Kata yang sama muncul di ayat 3 “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri”. Di pasal 11:23 kata kerja yang sama juga digunakan pada saat Paulus menyinggung tentang tradisi perjamuan terakhir Yesus bersama dengan murid-murid-Nya (11:23a “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan”). Maksud Paulus, injil yang diterima oleh jemaat Korintus adalah hasil dari sebuah mata rantai tradisi yang bisa dipercayai. Injil bukan ajaran baru yang asing. Injil bersumber dari Tuhan Yesus sendiri.

Di tengah zaman yang cenderung mengikuti tren (trendy), kekayaan warisan tradisi Kristiani seringkali diabaikan. Kita terlalu cepat bergairah terhadap hal-hal baru yang belum tentu benar dan teruji. Sudah waktunya gereja-gereja belajar sejarah dan Alkitab secara lebih seksama supaya bisa memilih dan memilah tradisi-tradisi yang ada. Apa yang baik dan bersumber dari ajaran Yesus dan para rasul sepatutnya dipertahankan dan diperjelas revelansinya bagi zaman sekarang.

Ketiga, “yang di dalamnya kamu berdiri” (ayat 1). Tidak seperti kata kerja “beritakan” dan “terima” yang berbentuk lampau (sejajar dengan past tense), kata “berdiri” di sini menggunakan bentuk perfek (hestēkate), yang menyiratkan sebuah tindakan yang terjadi pada masa lampau namun akibatnya masih ada. Artinya, siapa saja yang pernah mempercayai injil yang benar dengan cara yang benar pasti akan tetap berdiri sampai kapan pun juga. Godaan dan pencobaan pasti datang, tetapi ketahanan dan kekuatan dari Tuhan akan mengalahkan semuanya itu.

Keempat, “yang olehnya kamu diselamatkan” (ayat 2a). Bentuk kekinian pada kata kerja “diselamatkan” (sōzesthe) berfungsi untuk menekankan realita keselamatan. Orang-orang percaya sudah menikmati keselamatan itu sekarang. Kita tidak perlu menunggu nanti di akhir zaman. Kita sudah mencicipinya, tetapi nanti akan menikmati seutuhnya di kekekalan.

Ini semua bisa terjadi karena “injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan” (Rm 1:16). Tidak ada jalan keselamatan yang lain di luar injil Yesus Kristus (Yoh 14:6; Kis 4:12). Tidak ada yang perlu ditambahkan pada injil supaya kita diselamatkan. Kita diselamatkan hanya oleh injil melalui iman, bukan melalui perbuatan baik. Kebaikan kita adalah bukti, bukan syarat keselamatan; ucapan syukur atas apa yang Kristus perbuat bagi kita, bukan upaya kita untuk mendapat belas kasihan-Nya.

Paulus memberikan peringatan (ayat 2b)

Pijakan bersama di dalam injil tidak serta-merta berarti bahwa semua orang yang mengaku diri sebagai orang Kristen akan menikmati kebaikan injil tanpa terkecuali. Tidak semua orang mempercayai injil yang benar. Kalau pun mereka mempercayainya, belum tentu mereka mempercayai dengan cara yang benar. Berita injil harus benar, demikian pula dengan sikap kita dalam merespons injil itu. Itulah yang diajarkan Paulus di ayat 2b.

Kita perlu memegang teguh injil yang benar. Terjemahan “teguh berpegang” (katechō) adalah pilihan yang baik sekali. Ini bukan hanya sekadar percaya. Ini bukan sekadar setuju. Ini merupakan pegangan hidup kita.

Bentuk kekinian (katechete) menyiratkan konsistensi. Kita harus terus-menerus memegang erat pengakuan iman kita. Ini bukan tentang antusiasme sesaat, bukan pula fanatisme spontan tanpa pertimbangan.

 Hal ini tentu saja tidak berarti pengabaian terhadap peranan anugerah Allah dalam keselamatan kita. Allah tetap akan menjaga keselamatan kita, namun hal itu dilakukan-Nya dengan cara memampukan kita untuk terus-menerus berpegang teguh. Teguran, nasihat, dan pengajaran akan diberikan Allah kepada kita sehingga kita terus-menerus diingatkan dan didorong untuk memegang injil dengan kuat.

Tanpa injil yang benar, tanpa sikap yang benar terhadap injil, maka iman kita akan menjadi sia-sia (ayat 2c). Apa yang diyakini dahulu tidak akan bermanfaat apa-apa jika tidak disertai pemahaman yang benar dan keteguhan hati untuk berpaut pada injil. Soli Deo Gloria. 

Yakub Tri Handoko