Eksposisi 1 Korintus 14:6-12

Posted on 25/10/2015 | In Teaching | Leave a comment

Sapaan “saudara-saudara” (adelphoi) mengindikasikan sebuah paragraf yang baru. Paulus sedang berpindah dari satu bagian ke bagian yang lain. Kali ini ia menerangkan kesia-siaan bahasa roh yang dipertontonkan oleh jemaat Korintus di dalam ibadah (14:6). Untuk mendaratkan poin ini, Paulus menggunakan dua ilustrasi.

Sebuah ilustrasi memang sangat efektif. Ilustrasi bermanfaat untuk memperjelas poin yang ingin disampaikan oleh pembicara. Itu disebabkan ilustrasi biasanya memang sederhana dan lebih mudah dimengerti daripada uraian logis. Bukan hanya itu. Ilustrasi juga berperan dalam memberikan kesan yang mendalam. Ilustrasi berasal dari hal-hal sepele di dalam kehidupan. Sekali nilai di balik hal sepele itu ditangkap, kesan yang tercetak akan lebih permanen.

Begitulah yang dilakukan oleh Paulus di teks ini. Ia sudah memaparkan poin di 14:6. Sekarang ia sedang menguatkan poin tersebut melalui dua ilustrasi. Yang pertama dari dunia musik (14:7-9), yang kedua dari dunia komunikasi (14:10-12). Masing-masing ilustrasi ini ditutup dengan konklusi (14:9, 12) supaya jemaat Korintus mengerti inti yang ingin diungkapkan melalui dua ilustrasi tersebut. Tidak butuh banyak upaya untuk menangkap kebenaran di balik dua ilustrasi ini: berbahasa roh di dalam ibadah bersama tanpa disertai penafsiran terhadap bahasa roh itu hanya akan menghasilkan kekacauan dan kebingungan.

Kesia-siaan bahasa roh (ayat 6)

Di ayat ini Paulus memberikan sebuah pertanyaan retoris melalui kalimat pengandaian. Secara taktis ia sengaja memilih kata ganti “aku” (ia bisa saja menggunakan kata “seseorang”, dsb), seolah-olah ia ingin jemaat Korintus membayangkan seandainya dia dulu datang kepada mereka hanya dengan bahasa roh, tetapi tidak membawa pesan apapun dari Tuhan yang dapat dimengerti oleh jemaat Korintus. Mereka tentu saja tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari kedatangan Paulus!

Kata ganti “aku” sekaligus mengingatkan jemaat Korintus bahwa Paulus sendiri diberi karunia berbahasa roh. Ia berdoa dengan roh dan akal budi (14:14-15). Ia bahkan berbahasa roh lebih daripada mereka semua (14:18). Perbedaannya dengan jemaat Korintus yang mengidolakan bahasa roh terletak pada kejelasan pesan yang disampaikan. Paulus juga menyampaikan kebenaran melalui karunia-karunia yang lain. Jika Paulus hanya berbahasa roh belaka, jemaat tidak akan dibangun. Bahasa roh perlu disertai dengan hal-hal lain.

Secara khusus Paulus menyinggung tentang empat hal: penyataan Allah, pengetahuan, nubuat, dan pengajaran. Kata “penyataan Allah” (apokalypsis) bisa merujuk pada penyataan injil (Gal 1:12), tugas tertentu yang perlu dilakukan (Gal 2:2), atau penglihatan tertentu (2 Kor 12:1, 7). Arti mana yang dimaksud di 14:6 tidak terlalu jelas. Kita sebaiknya memahami kata apokalypsis secara lebih umum: apa saja yang ingin disampaikan Allah secara khusus kepada umat-Nya.

Ketidakjelasan juga muncul sehubungan dengan perbedaan antara pengetahuan (gnōsis), nubuat (prophēteia), dan pengajaran (didachē). Sebagian penafsir menganggap apokalypsis, gnōsis, prophēteia, dan didachē saling berkaitan: yang ke-1 berkaitan dengan yang ke-3, demikian pula yang ke-2 dengan yang ke-4: penyataan Allah disampaikan melalui nubuat, sedangkan pengetahuan disampaikan melalui pengajaran. Terlepas dari bagaimana empat hal ini dipahami dan dihubungkan, maksud Paulus tetap jelas. Suatu pesan dari Allah harus disampaikan melalui cara-cara yang dapat dimengerti oleh orang lain. Bahasa roh yang tidak dibarengi penafsirannya adalah hal yang tidak berguna, tidak peduli betapa indah pesan yang ada dalam bahasa roh tersebut. 

Ilustrasi dari alat musik (ayat 7-9)

Setiap hari kita mendengar beragam bunyi, dan mendengarnya berkali-kali. Kita tahu bahwa semua itu hanya bunyi. Tidak lebih daripada itu. Namun, pada saat kita mendengarkan musik, kita juga sadar bahwa itu juga adalah bunyi, tetapi bukan sekadar bunyi. Itu adalah musik. Mengapa? Karena ada keteraturan dan keteraturan tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tertentu! Keteraturan berarti mencakup perbedaan jenis suara dan not yang dimainkan. Keteraturan berarti pengaturan waktu dan tempo. Tanpa keteraturan, musik tidak berbeda dengan bunyi lain yang tanpa pesan.

Itulah poin yang ditekankan oleh Paulus di ilustrasi pertama ini. Pada dirinya sendiri alat-alat musik adalah tanpa jiwa (ta apsycha). Pada saat dimainkan dengan tepat, alat-alat itu mampu mengekspresikan suasana atau pesan tertentu. Jika alat-alat yang tanpa jiwa ini saja membutuhkan keteraturan, apalagi manusia yang berjiwa dan berakal budi!

Kata “bunyi” di ayat 7 (LAI:TB, phthongoi) sebaiknya diterjemahkan “not” (melodi, NASB “tones”; ESV “notes”). Hal ini juga cocok dengan dua jenis alat musik yang disebutkan, yaitu seruling (aulos) dan kecapi (kithara). Keduanya menghasilkan melodi, bukan hanya bunyi secara umum. Apa jadinya jika masing-masing alat ini hanya bisa mengeluarkan satu not saja? Pendengar tidak akan mengerti apa yang sedang dimainkan. Jadi, kuncinya di sini adalah perbedaan not yang dimainkan.

Untuk memperjelas poin di atas, Paulus masih menyinggung tentang suatu “alat musik”, tetapi yang digunakan dalam situasi berbeda, yaitu dalam konteks peperangan. Kata “nafiri” (salpinx) bisa merujuk pada instrumen musik (terompet) atau sangkakala perang. Sebagai sebuah perlengkapan penting dalam peperangan, salpinx berguna untuk memberi tanda atau sinyal datangnya suatu serangan musuh (Yer 4:19; 6:1, 17; Yeh 33:3-6; Hos 5:8; Yo 2:1), permulaan serangan (Hak 3:27; Yer 51:27), maupun akhir dari suatu serangan (2 Sam 20:1). Seandainya sangkakala hanya mengeluarkan satu bunyi saja, bagaimana para tentara dapat menangkap pesan di dalamnya? Bukan hanya tidak berguna, sangkakala itu justru berpotensi menghancurkan pasukan. Mereka bisa menafsirkan bunyi itu secara keliru, sehingga melakukan tindakan yang salah pula. Jadi, sekali lagi, poin yang ditekankan adalah perbedaan bunyi untuk menyampaikan pesan tertentu.

Jemaat Korintus yang tergila-gila dengan bahasa roh dan menganggap berbahasa roh sebagai “pertunjukkan kerohanian” dapat disamakan dengan alat-alat musik yang dimainkan secara sembarangan atau alat musik yang hanya bisa mengeluarkan satu bunyi saja. Alat-alat tersebut jelas tidak berguna. Ungkapan yang dugunakan adalah “berbicara kepada angin” (14:9b). Demikian pula dengan bahasa roh dalam ibadah yang tidak disertai penafsiran bahasa roh.

Ilustrasi dari bahasa (ayat 10-12)

Ilustrasi kedua ini lebih kuat dan lebih dekat. Sama seperti “bahasa roh” adalah semacam “bahasa tertentu”, kini Paulus memberi ilustrasi tentang bahasa juga. Ia sengaja memakai kata Yunani phōnē (lit. “bunyi”) untuk “bahasa” di ayat 10 (bukan kata glōssa yang lebih umum). Ada dua kemungkinan alasan di balik pilihan ini. Pertama, karena ia ingin mempertahankan keterkaitan dengan ilustrasi sebelumnya yang juga berbicara tentang “bunyi” (14:8). Kedua, karena ia sudah menggunakan kata “bahasa” (glōssa) untuk “bahasa roh”.

Dari sisi teks Yunani, ayat 10 mengandung sebuah permainan kata/bunyi: “ada begitu banyak bunyi (phōnōn) di dunia dan tidak ada satu pun yang tidak berbunyi (aphōnon)”. Maksudnya, tiap bunyi dalam suatu bahasa pasti memiliki arti bagi mereka yang mengetahui atau menggunakan bahasa itu. Sebagai penduduk kota kosmopolitan Korintus, jemaat di sana pasti dengan mudah menangkap ilustrasi ini. Mereka sudah terbiasa dengan beragam dialek maupun bahasa.  

Jika seseorang tidak mengerti “arti bahasa itu” (tēn dynamin tēs phōnēs, lit. “kekuatan dari bahasa itu” ), ia akan menjadi seperti orang asing bagi si pembicara, begitu pula sebaliknya. Istilah “orang asing” dalam teks Yunani adalah barbaros. Ini adalah sebutan yang biasa dipakai oleh orang-orang Yunani untuk orang-orang lain yang tidak bisa berbahasa Yunani. Di telinga orang Yunani, bahasa mereka terdengar seperti bunyi “bar, bar, bar” (dalam linguistik penyebutan ini disebut onomatopoetic). Seandainya nuansa kultural yang negatif di balik istilah “barbarian” turut dipikirkan oleh Paulus, ia sangat mungkin sedang menurunkan posisi para penggila bahasa roh. Bahasa roh bukan tanda keunggulan secara kerohanian, melainkan tanda kehinaan dan kerendahan.

Tanpa disertai penafsirannya, bahasa roh hanya akan menciptakan kebingungan. Dua orang yang berinteligensia sedang berkomunikasi dalam cara yang tidak berinteligensia. Kekacauan pada saat pembangunan menara Babel (Kej 11:1-9) tampaknya sedang melanda jemaat Korintus.  

Bukan hanya kebingungan, hal ini juga menciptakan keterasingan. Hakekat gereja sebagai sebuah komunitas sedang berada dalam bahaya besar. Jemaat datang ke dalam ibadah bukan untuk bersekutu satu dengan yang lain, tetapi mempertontonkan “kerohanian” mereka melalui bahasa roh.

Berkaitan dengan kesalahan semacam ini, Paulus memberi nasihat agar mereka berusaha mempergunakan karunia mereka untuk membangun jemaat (ayat 12). Paulus mengakui semangat mereka dalam mencari hal-hal rohani. Secara hurufiah, ayat 12a berbunyi: “Demikian pula kalian: karena kalian adalah orang-orang yang bersemangat (zēlōtai) tentang hal-hal rohani,….”. Ia tidak melarang semangat semacam itu. Ia hanya mengarahkannya. Jemaat Korintus seharusnya berusaha dengan sungguh-sungguh (RSV/NRSV/ESV “strive”) untuk berlimpah-limpah (hina perisseuēte, versi Inggris “to excel”) bagi pembangunan jemaat. Semangat diarahkan pada kepentingan orang lain, bukan diri sendiri. Semangat ditujukan pada pembangunan kerohanian orang lain, bukan kebanggaan diri yang semu. Nasihat ini tidak mungkin dipenuhi oleh mereka yang menggilai bahasa roh dalam ibadah. Mereka tidak lebih daripada kumpulan orang asing yang egois dan tidak berinteligensia. Kiranya banyak gereja memberi telinga bagi teguran Paulus di bagian ini! Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko