Eksposisi 1 Korintus 14:36-40

Posted on 24/07/2016 | In Teaching | Leave a comment

Bagian ini merupakan penutup dari uraian Paulus tentang karunia-karunia roh dan penggunaannya dalam ibadah. Sebagai sebuah penutup, bagian ini mengulang kembali poin penting yang ingin ditegaskan oleh Paulus, yaitu supaya jemaat menginginkan karunia-karunia roh dan menggunakannya dengan benar (ayat 39-40). Namun, sebelum sampai ke sana, Paulus lebih dahulu menyoroti inti persoalan di balik semua kekacauan ibadah di Korintus (ayat 36-38). Semua berakar dari kesombongan dan konsep tentang spiritualitas yang keliru.

Ada tiga poin penting yang Paulus sampaikan di 14:36-40. Semuanya relevan dan penting untuk disimak oleh gereja-gereja sekarang.

Tidak ada gereja yang spesial (ayat 36)

Kata ē di awal ayat 36 biasanya menandakan sebuah pertanyaan rhetoris (1:13; 6:2-3, 9, 16, 19; 9:6; 10:22; 11:22; 2 Kor 3:1; 11:7). Paulus tidak menantikan jawaban, karena jawabannya sudah sedemikian jelas. Pertanyaan ini lebih dimaksudkan sebagai sebuah teguran yang tak terbantahkan.

Jemaat Korintus merasa diri spesial. Pengalaman-pengalaman rohani membuat mereka merasa diri berbeda dengan gereja-gereja lain. Itulah sebabnya dalam beberapa nasihat yang ia berikan kepada jemaat di Korintus, Paulus berusaha menegaskan bahwa ajarannya sesuai dengan kebiasaan di gereja-gereja yang lain (14:34a; 7:17b; 11:16).

Paulus ingin meruntuhkan keangkuhan jemaat Korintus. Namun, ia tidak mau terjebak dalam permainan mereka. Mereka bermain pada wilayah karunia roh, Paulus pada firman Allah. Dua pertanyaan rhetoris yang ia berikan sama-sama berfokus pada firman Allah. Dalam konteks ini “firman Allah” merujuk pada Injil Yesus Kristus (2 Kor 4:2-3). Injil adalah firman kebenaran (Ef 1:13; Kol 1:5; Yak 1:18).

Secara hurufiah ayat 36 berbunyi: “Atau dari kalian firman Tuhan datang? Ataukah untuk kalian saja [firman Tuhan] datang?” Jawaban yang diharapkan tentu saja adalah negatif. Jemaat di Korintus bukan jemaat pertama. Mereka bukan penerima injil satu-satunya.

Strategi Paulus di sini sangat jitu. Ia menjadikan injil sebagai pondasi kebersamaan. Terlepas dari berbagai perbedaan yang dimiliki oleh banyak gereja Tuhan, mereka berbagi kesamaan yang fundamental, yaitu Injil Yesus Kristus. Selama mereka meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang mati di kayu salib dan bangkit dari kematian untuk mendamaikan manusia dengan Allah (12:3; 15:3-4), mereka tergolong gereja Tuhan.

Paulus tentu saja tidak meremehkan perbedaan-perbedaan lain. Setiap gereja seyogyanya memiliki kesatuan iman, pengetahuan yang benar, dan kedewasaan (Ef 4:13 “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”). Ada banyak kesamaan-kesamaan lain yang perlu diupayakan bersama.

Walaupun demikian, kita tidak boleh terlalu terpaku pada perbedaan sehingga melupakan kesamaan yang mendasar, yaitu Injil Yesus Kristus. Injil seharusnya menjadi perekat yang mempersatukan. Jangan sampai perbedaan denominasi menghalangi kita untuk bermitra.

Pengalaman rohani harus seturut dengan firman Tuhan (ayat 37-38)

Ayat 37 dimulai dengan frasa “Jika seseorang menganggap dirinya…” (ei tis dokei). Ungkapan ini sudah muncul sebelumnya. Jemaat Korintus  menganggap diri berhikmat (3:18). Mereka menganggap diri memiliki pengetahuan (8:2). Mereka menganggap diri memiliki karunia-karunia roh (14:37).

Semua orang boleh menilai dirinya, tetapi tidak semua anggapan itu adalah benar. Dalam kasus jemaat Korintus, anggapan-anggapan itu ternyata keliru. Perasaan bisa menipu. Pemikiran pribadi juga tidak kebal kekeliruan.

Standar pengukuran terbaik adalah respons terhadap ajaran rasuli (14:37b). Paulus menegaskan bahwa siapa yang mengaku menerima karunia rohani dari Roh, ia pasti juga dimampukan untuk menyadari ajaran rasuli (LAI:TB “ia harus sadar bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan”). “Menyadari” (epiginōskō) di sini lebih ke arah “mengakui” (RSV/NIV/ESV), bukan sekadar “mengetahui.” Mengetahui tanpa mengakui tidak akan ada gunanya.

Bagi yang tidak mengakui ajaran rasuli, sebuah bahaya siap mengancam: agnoeita (ayat 38b). Kata ini berbentuk pasif, tetapi tidak diketahui dengan jelas siapa subjek yang diasumsikan dalam kata kerja ini. Penerjemah LAI:TB memilih penerima surat sebagai subjek (“janganlah kamu mengindahkan dia”). Mayoritas versi Inggris hanya menyediakan terjemahan hurufiah: “ia tidak diakui.”

Sesuai dengan tata bahasa Yunani, sebuah kata kerja pasif yang tidak disertai subjek secara eksplisit berarti mengasumsikan Allah sebagai subjeknya. Ini biasanya disebut pasif ilahi (divine passive). Maksudnya, orang yang tidak mengakui ajaran rasuli tidak akan diakui oleh Allah.

Jikalau peringatan keras Paulus di sini tidak diindahkan, sebuah situasi ironis akan terjadi. Mereka yang merasa diri begitu dekat dengan Allah dan memiliki segala karunia rohani maupun pengalaman supranatural dengan Dia ternyata adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh Allah. Merasa dekat dengan Allah, tetapi tidak dikenal oleh Allah. Itulah yang akan terjadi dengan mereka yang tidak mengakui ajaran rasuli. Jadi, ukuran kerohanian yang sejati bukanlah kepemilikan karunia rohani, melainkan kesesuaian dengan ajaran rasuli.

Ibadah harus sopan dan teratur (ayat 39-40)

Sejarah mencatat bahwa gereja-gereja sering terjebak pada dua ekstrim: ibadah yang sangat spontan dengan ibadah yang sopan dan teratur. Jenis yang pertama lebih memberi ruang gerak bagi karya Roh Kudus yang nyata. Ada kebebasan dan keleluasaan dalam beribadah. Jenis yang kedua menghadirkan tata ibadah yang indah. Ada suasana khidmat yang tergambar jelas dalam ibadah.

Paulus tidak mau memilih salah satu kutub. Ia tetap mendorong jemaat untuk bernubuat (ayat 39a). Bahkan kata “usahakanlah dirimu” (zēloute) dalam teks Yunani mengandung sebuah penekanan. Kata ini bukan sekadar “menginginkan,” tetapi sungguh-sungguh menginginkan (ASV/NASB/RSV/ESV “earnestly desire”; NIV “be eager”; KJV “covet”).

Terhadap karunia berbahasa roh pun Paulus tidak memberikan larangan. Ia memang tidak memberi dorongan bagi karunia ini, tetapi ia tetap memberi keleluasaan. Orang yang berbahasa roh dalam ibadah tidak boleh dilarang (ayat 39b), selama karunia itu digunakan dengan tepat (bdk. ayat 27-28).

Ibadah yang kharismatik (dalam arti diwarnai dengan berbagai karunia roh) tidak berarti mengumbar kebebasan tanpa batas. Allah tidak menyukai kekacauan (ayat 33). Ibadah harus dilakukan di dalam kesopanan dan keteraturan. Ibadah Kristen tidak akan mengejar kebebasan sampai mengorbankan kesopanan. Ibadah yang benar tidak akan mengagungkan spontanitas yang liar sampai mengabaikan kekhusukan. Pendeknya, keseimbangan perlu untuk ditegakkan.

Tidak peduli seberapa heboh dan bersemangatnya suatu ibadah, semua harus dilakukan dengan penuh kesopanan dan keteraturan. Mengatasnamakan pekerjaan Roh tetapi melupakan kesopanan dan keteraturan adalah sebuah kesesatan. Roh memang bebas berkarya, namun Ia tidak akan bekerja bertentangan dengan sifat-sifat-Nya. Dia adalah Roh yang teratur. Dia adalah Roh yang lembut. Kekuatan-Nya selalu dinyatakan di dalam keteraturan dan kelembutan.

Bagaimana dengan gereja Saudara? Apakah keunikan yang Tuhan percayakan justru telah menjadi sumber kesombongan? Apakah firman Tuhan sudah menjadi ukuran di dalam segala sesuatu? Apakah penggunaan karunia-karunia rohani sudah diberi ruang yang memadai tetapi tanpa mengorbankan kesopanan dan keteraturan? Kiranya firman Tuhan hari ini menjadi teguran sekaligus tuntunan bagi kita. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko