Eksposisi 1 Korintus 14:34-35

Posted on 26/06/2016 | In Teaching | Leave a comment

Di tengah semangat zaman yang dipengaruhi oleh feminisme dan sensitivitas terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin atau gender, teks ini pasti menimbulkan persoalan. Mengapa Paulus memberikan larangan untuk berbicara di depan publik hanya kepada para perempuan saja? Bukankah para perempuan itu justru ingin belajar sesuatu di dalam ibadah?

Kesulitan lain bersentuhan dengan isu aplikasi. Apakah larangan ini bersifat temporal - kultural ataukah universal - kekal? Maksudnya, apakah larangan tersebut hanya berlaku pada zaman kuno di jemaat Korintus atau tetap mengikat sampai sekarang?

Sebuah situasi khusus

Larangan yang dibicarakan Paulus di ayat ini pasti berkaitan dengan sebuah situasi yang khusus. Paulus tidak memaksudkan larangan ini untuk diberlakukan secara mutlak di setiap keadaan. Ia baru saja menegaskan bahwa semua orang boleh bernubuat (14:31). Sebelumnya ia juga sudah mengajarkan bahwa para perempuan boleh bernubuat di dalam ibadah, asalkan tetap mengenakan kerudung kepala (11:5). Jika Roh Kudus memang memberikan karunia rohani pada setiap orang sesuai yang dikehendaki-Nya (12:7-11), maka Ia juga bebas mempercayakan itu kepada para perempuan (bdk. Kis 2:18). Tidak ada alasan bagi Paulus untuk memberikan larangan yang universal dan mutlak.

Lagipula, Paulus sendiri memiliki banyak rekan pelayanan yang perempuan, misalnya Euodia dan Sintikhe (Flp 4:2-3), Priskila (Rm 16:3; 1 Kor 16:19), Maria (Rm 16:6), Yunias (Rm 16:7), Trifena dan Trifosa (Rm 16:12). Beberapa memegang peranan yang penting. Febe sebagai diaken (Rm 16:1-2). Nimfa menjadikan rumahnya sebagai tempat ibadah (Kol 4:15). Begitu pula dengan Priskila (1 Kor 16:19). Sulit membayangkan bahwa para perempuan ini tidak pernah berbicara di dalam ibadah.

Situasi khusus seperti apa yang sedang terjadi di Korintus dan dibahas oleh Paulus di bagian ini? Pertimbangan konteks mengarahkan kita untuk mengaitkan situasi ini dengan kebiasaan menyampaikan atau menanggapi nubuat (ayat 29-31). Pemunculan kata kerja manthanō (“belajar”) di ayat 31 dan 35 (LAI:TB “mengetahui”) memberi petunjuk ke arah sana. Jika dihubungkan dengan relasi suami – isteri di ayat 35, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada beberapa perempuan di jemaat Korintus yang tidak segan-segan mengkritisi suami mereka di depan umum. Mungkin seorang suami sedang bernubuat dan isterinya menanggapi. Mungkin pertanyaan dari para isteri terlalu tajam dan terkesan memalukan suami mereka sendiri. Mungkin gaya bicara mereka dipandang tidak sopan. Intinya, beberapa perempuan Kristen di Korintus telah memberanikan diri berbicara di depan umum yang menunjukkan ketidaktundukan mereka terhadap suami.

Kita tidak perlu membesar-besarkan isu gender dalam teks ini. Yang diminta untuk berdiam diri bukan hanya perempuan. Mereka yang berbahasa roh tetapi tanpa penerjemah juga perlu berdiam diri (14:28). Mereka yang bernubuat juga berdiam diri apabila ada orang lain lagi yang mendapat penyataan (14:30). Dengan kata lain, diam di sini bersifat kondisional dan tidak permanen. Ini hanya diam secara temporal demi alasan ketertiban dalam ibadah. Tidak ada unsur gender yang terlibat di sini.

Di samping itu, Paulus tidak melarang para perempuan untuk belajar. Semua orang boleh belajar sesuatu dalam ibadah (14:31b). Hanya saja, dalam situasi khusus seperti yang sudah disinggung, lebih baik para perempuan belajar di rumah daripada memalukan suami mereka di depan umum. Toh, mereka tetap bisa belajar. Toh, belajar hal-hal rohani tidak harus mengorbankan keharmonisan pernikahan.

Alasan bagi larangan

Paulus tidak hanya memberikan larangan. Ia meneguhkannya dengan beberapa alasan.

Yang pertama, tradisi gereja-gereja (ayat 34a “sama seperti dalam semua jemaat orang-orang kudus”). Dalam versi Inggris ayat ini diletakkan di ayat 33b. Dengan kata lain Paulus sedang memikirkan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan secara luas di berbagai gereja pada masa rasuli. Tentang hal ini, ia sudah menyinggung beberapa kali (7:17; 11:16).

Dalam kaitan dengan pendapat Paulus ini, gereja perlu menghindarikan diri dari dua ekstrim seputar tradisi. Di satu sisi, sebagian gereja begitu terkungkung dalam tradisi. Mereka melupakan relevansi dan kontekstualisasi. Otoritas tradisi disejajarkan dengan firman Allah. Lebih parah lagi, apa yang disebut “tradisi” oleh mereka ternyata tidak berakar dari ajaran para rasul. Gereja mulai memasukkan beberapa inovasi, lalu menjadikannya otoritatif seperti firman Tuhan.

Di sisi lain, sebagian gereja mengabaikan tradisi. Inovasi selalu dianggap lebih baik. Kontekstualisasi acapkali dibarengi dengan kompromi. Nilai-nilai tradisional dipandang sebelah mata.

Alasan kedua yang digunakan oleh Paulus dalam larangannya adalah firman Tuhan (ayat 34b “seperti yang dikatakan juga oleh Hukum Taurat”). Kata nomos memang memiliki jangkauan arti yang sangat luas. Nomos tidak selalu merujuk pada Hukum Taurat. Kata tersebut bisa berarti hukum biasa yang berlaku di masyarakat atau negara (hukum “sekuler”). Namun, pemunculan ungkapan ho nomos legei di ayat ini dan tulisan Paulus yang lain jelas mengarah pada Hukum Taurat (Rm 3:19; 1 Kor 9:8).

Yang tidak jelas adalah kutipan spesifik yang ada dalam pikiran Paulus. Tidak ada satu teks pun di Perjanjian Lama yang melarang para perempuan untuk berbicara di depan umum dalam konteks ibadah. Sehubungan dengan kesulitan ini, sebagian besar penafsir berpendapat bahwa Paulus hanya memberikan rangkuman ajaran Alkitab tentang isu tersebut. Memang tidak ada teks yang spesifik dan eksplisit.

Berdasarkan kebiasaan Paulus yang menyinggung relasi suami dan isteri dari perspektif kisah penciptaan (11:3, 8-10; 1 Tim 2:12-14), kita bisa menarik kesimpulan bahwa Paulus mungkin memikirkan posisi suami sebagai kepala. Itulah sebabnya ia secara khusus mengaitkan ho nomos legei bukan dengan berbicara di depan umum, melainkan dengan ketundukan isteri terhadap suami (1 Kor 14:34b).

Alasan terakhir adalah norma masyarakat pada waktu itu (ayat 35 “tidak sopan”). Pada waktu membicarakan kebiasaan beberapa jemaat yang berbahasa roh dan bernubuat tanpa aturan, Paulus memandang itu sebagai sebuah kekacauan (14:33). Di ayat 35 ia menggunakan kata yang berbeda. Apa yang dilakukan jemaat perempuan bukan sebuah kekacauan, melainkan ketidaksopanan. Kata sifat aischron sebelumnya sudah pernah muncul pada waktu Paulus membicarakan jemaat perempuan yang tidak mau menudungi kepala mereka (11:6).

Para penulis kuno terkenal pada waktu itu, baik Yunani-Romawi maupun Yahudi, memandang keterlibatan para perempuan di dalam perkumpulan publik sebagai sesuatu yang tidak sesuai budaya. Berbicara di depan publik seolah-olah mereka tidak berbeda dengan kaum lelaki adalah sebuah ketidaksopanan dalam budaya kuno. Jadi, walaupun ibadah gereja mula-mula memberi ruang yang sedikit lebih longgar bagi para perempuan untuk berbicara di depan publik dibandingkan budaya kuno secara umum, tetapi Paulus tidak mau membiarkan hal itu terlalu jauh sampai dianggap tidak sopan menurut ukuran adat istiadat. Norma masyarakat tetap perlu diperhatikan. Itulah sebabnya Paulus menindak dengan sangat tegas jemaat Korintus yang kawin dengan ibu tirinya. Ia menganggap tindakan itu sangat rendah, bahkan tidak pernah lazim dalam budaya waktu itu (5:1).

Relevansi larangan

Apa yang terjadi dalam sebuah situasi khusus di jemaat Korintus jelas tidak boleh serta-merta diaplikasikan secara hurufiah ke dalam kehidupan gereja sekarang ini. Ada muatan-muatan kultural yang bersifat situasional dalam larangan Paulus.

Walaupun demikian, poin teologis yang diusung Paulus tetap relevan dan normatif di sepanjang zaman. Para isteri tetap tidak boleh melakukan hal-hal di depan umum yang berpotensi menghina atau meremehkan suami mereka. Perbedaan relasi antara suami dan isteri tetap harus dijaga. Segala tindakan yang dipersepsi sebagai sebuah ketidaksopanan di suatu budaya perlu untuk dihindari.

Dengan memperhatikan tradisi (masa lalu), budaya (masa kini), dan firman Tuhan (kekal), kita akan dimampukan untuk bersikap bijak, tahu membedakan mana yang bersifat kultural - temporal dan mana yang bersifat universal - kekal. Kekeliruan biasanya terjadi pada saat salah satu aspek ini diabaikan. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko