Eksposisi 1 Korintus 14:26-28

Posted on 24/04/2016 | In Teaching | Leave a comment

Pertanyaan “Jadi, bagaimana sekarang, saudara-saudara?” di ayat 26a (ti oun estin, adelphoi;) menandakan bahwa Paulus mengambil ancang-ancang untuk menutup pembahasan tentang karunia-karunia rohani. Sesudah memberikan konsep-konsep teologis yang penting tentang berbagai karunia rohani (12:1-14:25), terutama karunia berbahasa roh dan bernubuat (14:1-25), Paulus kemudian mengakhiri uraiannya dengan sederetan peraturan praktis tentang penggunaan karunia-karunia rohani dalam ibadah (14:26-40). Peraturan-peraturan praktis ini tentu saja dilandaskan pada poin-poin teologis yang sudah disampaikan sebelumnya.

Hari ini kita hanya akan menyoroti karunia berbahasa roh. Apakah karunia ini boleh dipergunakan dalam ibadah? Apa saja pedoman dan peraturan khusus dalam pengunaannya? Saya akan mengupas isu ini dalam dua bagian. Yang pertama tentang prinsip umum (ayat 26). Prinsip ini berlaku untuk semua karunia rohani tanpa terkecuali. Yang kedua tentang pedoman khusus dalam penggunaan bahasa roh (ayat 27-28).

Prinsip umum (ayat 26)

Sebagian orang Kristen menganggap bahwa ibadah pribadi sama saja dengan ibadah bersama. Sama-sama berdoa, sama-sama mempelajari firman Tuhan, sama-sama memuji Tuhan. Anggapan ini tentu saja keliru.

Yang satu bukanlah substitusi bagi yang lain. Ibadah bersama di gereja harus dibarengi dengan ibadah pribadi, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana ibadah pribadi memiliki dimensi tertentu yang tidak ada di ibadah bersama (keteduhan, intimasi yang lebih personal, dsb), demikian pula ibadah bersama memiliki keunikan tersendiri.

Dari 1 Korintus 14:26 kita dapat melihat dua prinsip yang menerangkan keunikan ibadah bersama (“Bilamana kamu berkumpul”). Dua prinsip ini saling berhubungan. Dua prinsip ini bukan pilihan. Dua-duanya harus diperhatikan dan ditaati.

Dalam ibadah bersama, masing-masing orang memberi sesuai dengan karunianya (ayat 26a). Pemunculan kata “tiap-tiap orang” yang diikuti oleh keragaman karunia rohani mengingatkan pada uraian Paulus sebelumnya di 12:7-11. Setiap orang pasti memiliki minimal satu karunia rohani (12:7, 11). Ada begitu banyak macam karunia rohani. Bahkan apa yang disebutkan di 1 Korintus 12-14 (12:7-11, 28-30; 14:6, 26) tidak mewakili semua karunia rohani yang ada (bdk. Rm 12:4-8; Ef 4:11-13). Setiap orang yang sudah bertobat dengan sungguh-sungguh, ia pasti menerima karunia Roh Kudus (Kis 2:38 “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”).

Keragaman karunia rohani adalah sinyal positif bagi suatu gereja lokal. Semakin beragam karunia di suatu tempat, semakin merata pertumbuhan rohani jemaat di sana, sebab masing-masing karunia memiliki keunikan dan tujuan tersendiri. Jika setiap jemaat tidak iri dengan karunia orang lain, dan menggunakan karunia masing-masing dengan cara yang benar, sebuah gereja lokal akan menjadi semakin kuat.

Dalam ibadah bersama, masing-masing memikirkan pertumbuhan rohani orang lain (ayat 26b). Menggunakan karunia rohani dalam ibadah bersama adalah satu hal. Membangun orang lain melalui karunia tersebut adalah hal yang berbeda. Jemaat Korintus sangat antusias dalam menggunakan karunia mereka, namun motivasinya bukan kebaikan orang lain, melainkan kesombongan diri sendiri. Karunia rohani telah dijadikan sebagai tanda kerohanian yang tinggi, bukan lagi sebagai simbol pelayaan yang rendah kepada orang lain. 

Pemunculan kata “semuanya itu” di ayat 26b menyiratkan bahwa tidak ada satu karunia pun yang diperkecualikan. Bahkan karunia berbahasa roh yang lebih diarahkan untuk pertumbuhan diri sendiri (14:2) juga wajib digunakan untuk membangun orang lain (14:5). Pendeknya, karunia rohani diberikan kepada kita, namun untuk kepentingan orang lain juga.

Gereja tidak membutuhkan orang-orang hebat yang mencari pengakuan dari orang lain dan menggunakan pelayanan sebagai sarana aktualisasi diri. Gereja tidak membutuhkan orang-orang bertalenta yang berambisi menjadikan diri mereka sendiri sebagai aktor utama. Fokus dalam ibadah bersama adalah Allah. Yang kedua orang lain. Yang terakhir kita. Jika tiga hal ini diterapkan secara serius dalam setiap ibadah, niscaya semua pihak akan mendapatkan sukacita. Allah bersukacita atas pujian kita. Orang lain dikuatkan oleh kehadiran Allah dan karunia rohani kita. Kita sendiri juga dibangun oleh kehadiran Allah dan karunia rohani orang lain.      

Bagaimana dengan mereka yang tidak bertalenta dalam ibadah? Beberapa orang Kristen merasa bahwa ia tidak memiliki sesuatu yang berguna untuk ibadah bersama. Ia tidak pandai bernyanyi atau memainkan musik. Mengajar orang lain bukanlah salah satu kelebihannya. Memimpin pun mereka tidak mampu. Mereka merasa tidak perlu berkontribusi dan merasa tidak diperlukan.

Pemikiran seperti ini dalam taraf tertentu dipengaruhi oleh suasana ibadah gerejawi yang cenderung terlalu formal. Ibadah cenderung diidentikkan dengan rangkaian liturgi. Ibadah hanya dibatasi pada pembangunan relasi vertikal dengan Allah. Tidak heran, talenta yang berkaitan dengan “ibadah” hanya tertentu saja.

Liturgi memang penting. Allah memang fokus dalam ibadah. Walaupun demikian, ibadah bersama juga menyentuh relasi horizontal dengan sesama. Ibadah juga mencakup apa yang kita lakukan kepada orang lain sebelum, selama, dan sesudah liturgi berlangsung. Ibadah bersama lebih luas daripada sekadar liturgi. Mendoakan atau menasihati orang lain adalah beberapa contoh sederhana bagaimana kita melayani orang lain dalam ibadah (dalam arti yang luas).

Pedoman khusus (ayat 27-28)

Pembacaan sekilas sudah cukup untuk memnunjukkan bahwa apa yang dituliskan Paulus di sini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam ibadah di gereja-gereja tertentu. Semua orang didorong untuk berbahasa roh tanpa mempedulikan manfaatnya bagi orang lain. Momen “penyembahan” menjadi ajang pelepasan emosi melalui “bahasa roh,” tanpa mempedulikan apakah yang diucapkan benar-benar dari Roh Kudus atau sekadar fenomena psikologis belaka.

Karunia berbahasa roh tidak boleh digunakan secara sembarangan. Ada prinsip umum yang harus diperhatikan. Ada pedoman khusus yang harus diikuti. Pedoman khusus ini dapat diringkas dalam dua kata: keteraturan (ayat 27) dan pengendalian diri (ayat 28).

Untuk menjamin keteraturan di dalam ibadah, Paulus memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan karunia bahasa roh (ayat 27). Jumlah orang yang berbahasa roh tidak boleh terlalu banyak. Dua atau tiga orang sudah cukup. Masih ada beragam karunia rohani lain yang juga perlu untuk dibagikan di dalam ibadah. Jika semua orang yang memiliki karunia berbahasa roh diberi kesempatan menggunakan karunia itu dengan semau mereka, karunia-karunia rohani yang lain akan dipadamkan. Tidak akan ada waktu bagi mereka.

Selain jumlah orang, waktu penggunaannya pun diatur. Beberapa orang tidak boleh berbahasa roh secara bersamaan, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekacauan. Setiap orang harus menunggu gilirannya. Budaya antri adalah sesuatu yang rohani!

Keteraturan yang lain dikaitkan dengan makna di balik bahasa roh itu. Dalam ibadah bersama, bahasa roh yang tidak disertai dengan penafsiran tidak akan membawa kebaikan bagi orang lain. Orang lain tidak akan dibangun (bdk. 14:6-12).

Penafsir bahasa roh bisa orang lain (14:26), tetapi bisa juga orang yang berkata-kata dalam bahasa roh (14:5, 13). Yang penting adalah bahasa roh harus dapat dimengerti oleh orang lain yang mendengarkannya dalam ibadah bersama. Salah satu tanda bahwa Allah memang sungguh-sungguh ingin menyampaikan sesuatu kepada umat-Nya melalui bahasa roh adalah keberadaan orang yang diberi karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. Kalau tidak ada yang menafsirkan berarti Allah memang tidak berkehendak menyampaikan sesuatu melalui bahasa roh. Ia mungkin akan menggunakan karunia yang lain sebagai sarana komunikasi.

Aturan lain yang berkaitan erat dengan keteraturan adalah pengendalian diri (ayat 28). Jikalau tidak ada orang yang menafsirkan bahasa roh, orang yang berkata-kata dalam bahasa roh harus berdiam diri. Ia tidak perlu memperdengarkan kata-katanya kepada orang lain.

Bukan berarti orang tersebut dilarang menggunakannya sama sekali. Ia masih boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan. Ini masih tergolong berdoa dengan menggunakan roh (14:14-17). Perbedaannya hanya pada suara dan tujuan komunikasi. Dari sisi suara, bahasa roh tersebut tidak perlu diperdengarkan kepada orang lain. Dari sisi tujuan komunikasi, bahasa roh itu tidak ditujukan pada orang lain.

Semua aturan main yang praktis ini menunjukkan bahwa bahasa roh dapat dikendalikan. Atau, lebih tepatnya, pemberian karunia bahasa roh oleh Roh Kudus tidak meniadakan pengendalian diri. Orang yang berbahasa roh masih bisa memikirkan aturan-aturan tertentu (maksimal tiga orang dan bergantian), bahkan mampu menahan diri (berdiam diri apabila tidak ada yang menafsirkannya). Penggunaan bahasa roh yang tidak terkendali di dalam ibadah bersama harus dicurigai, entah perkataan itu bukan dari Roh Kudus atau orang yang menggunakannya tidak mengindahkan kebaikan orang lain.

Apa yang disampaikan Paulus ini jelas berkontradiksi dengan ajaran di gereja-gereja tertentu. Banyak orang meyakini bahwa karunia berbahasa roh tidak dapat dikendalikan. Jika Roh Kudus sedang memberikannya kepada seseorang, maka di manapun, kapan pun, dan bagaimana pun orang itu tidak akan mampu melawan. Ia mungkin akan terus berkata-kata dalam bahasa roh selama berjam-jam. 

Gereja-gereja dari kalangan tertentu juga cenderung mengaitkan pekerjaan Roh Kudus dengan kebebasan. Kebebasan ini pun dipahami dengan cara yang aneh. Dalam dunia roh, semua batasan dan aturan yang ada di dunia nyata dipandang tidak lagi relevan. Yang penting mengatasnamakan Roh Kudus, semua etika manusiawi tidak lagi mengikat. Beberapa bahkan mengklaim mendapat bisikan dari Roh Kudus untuk melakukan tindakan yang aneh dan bertabrakan dengan ajaran Alkitab.

Semua ini jelas merupakan kebodohan dan kekeliruan. Pekerjaan Roh tidak meniadakan keteraturan dan pengendalian diri. Batasan-batasan tetap diperhatikan. Kebaikan orang lain mendapat perhatian. Soli Deo Gloria.   

Yakub Tri Handoko