Dalam bagian sebelumnya Paulus sudah menerangkan bahwa ibadah bersama seharusnya membangun orang lain (14:3-4). Hal-hal yang membuat sebagian orang merasa terasing dan tidak paham seyogyanya dihindari. Salah satunya adalah penggunaan bahasa roh (14:6, 9).
Tidak ada yang salah dengan karunia ini, karena ini merupakan salah satu pemberian Roh (12:10). Bahasa roh bermanfaat untuk membangun diri sendiri (14:4). Yang dipersoalkan adalah penggunaannya dalam ibadah bersama. Orang lain tidak akan mampu mengerti bahasa roh (14:2), kecuali kalau bahasa itu diterjemahkan (14:5).
Nah, dalam teks kita hari ini Paulus menerangkan apa yang harus dilakukan jika ada orang yang ingin menggunakan bahasa roh di dalam ibadah. Paulus menasihatkan orang seperti itu untuk berdoa agar diberi karunia menafsirkan bahasa roh (ayat 13) dan juga agar tidak meninggalkan aspek akal budi dalam ibadah (ayat 14-17). Untuk menguatkan nasihatnya, Paulus lantas menjadikan dirinya sendiri sebagai sebuah contoh konkrit (ayat 18-19).
Nasihat Paulus (ayat 13-17)
Kepada jemaat Korintus yang memahami dan menggunakan bahasa roh secara keliru Paulus memberikan dua nasihat yang berharga. Nasihat ini juga relevan untuk prinsip ibadah Kristiani secara umum.
Pertama, berdoa untuk karunia menafsirkan bahasa roh (ayat 13). Nasihat ini mengandung sebuah poin teologis yang penting. Paulus sedang mengajarkan bahwa walaupun pemberian karunia rohani bergantung sepenuhnya pada kebebasan Roh Kudus (12:7, 11, 28), tetapi bukan berarti orang-orang percaya berada dalam keadaan yang pasif. Di dalam kedaulatan-Nya, Allah juga telah menetapkan bahwa orang percaya bisa mendapatkan karunia tertentu melalui doa. Dalam hal ini karunia yang dimaksud adalah karunia menafsirkan bahasa roh.
Apakah ini berarti bahwa kita diperbolehkan meminta karunia apapun yang kita inginkan? Tentu saja tidak demikian. Yang ditekankan di sini adalah motivasi yang benar. Permintaan terhadap suatu karunia rohani bukan untuk kepuasaan dan kepentingan diri sendiri. Doa itu harus didorong oleh kerinduan untuk membangun jemaat. Apa yang paling dibutuhkan oleh jemaat, itulah yang seharusnya kita doakan. Dalam konteks jemaat Korintus yang sangat tergila-gila dengan bahasa roh, karunia yang sedang mereka perlukan adalah karunia untuk menafsirkan bahasa roh.
Nasihat di ayat 13 tidak hanya penting secara teologis, namun juga mengandung pemikiran pastoral yang luar biasa. Paulus tidak memerintahkan jemaat lain untuk berdoa agar yang diberi karunia bahasa roh atau salah satu jemaat lain diberi karunia menafsirkan bahasa roh. Ia memerintahkan orang yang berbahasa roh untuk berdoa!
Lebih jauh, tujuan dari doa ini adalah supaya yang berbahasa roh juga dapat menerjemahkannya. Ia tidak menasihati yang berbahasa roh agar mendoakan orang lain. Yang berbahasa roh dan ingin menggunakannya dalam ibadah harus berdoa agar diri mereka sendiri diberi karunia untuk menerjemahkannya.
Pendekatan pastoral semacam ini sangat menarik. Untuk menegur keegoisan jemaat yang berbahasa roh dalam ibadah tanpa memperhatikan perasaan dan kerohanian orang lain, Paulus sengaja mendorong mereka untuk melangkah lebih jauh: bukan hanya berbahasa roh, tetapi juga menafsirkannya. Dorongan ini menuntut mereka untuk melakukan satu hal demi kepentingan orang lain, yaitu berdoa.
Seandainya nasihat untuk berdoa ini ditujukan pada orang yang tidak berbahasa roh, maka daya persuasi di dalamnya mungkin berkurang. Mereka yang berbahasa roh mungkin akan tetap menggunakan bahasa roh dalam ibadah walaupun tidak ada orang yang menafsirkannya, karena mereka menganggap bahwa hal itu bukan tanggung-jawab mereka. Mereka sudah melakukan tugas mereka (berbahasa roh), orang lain harus melakukan yang lain. Untuk mencegah munculnya pemikiran seperti ini, Paulus menujukan nasihatnya pada mereka yang berbahasa roh.
Kedua, beribadah dengan roh dan akal budi (ayat 14-17). Perbedaan antara roh dan akal budi di bagian ini telah menimbulkan kebingungan dan perdebatan. Para penafsir mencoba memberikan penjelasan paling masuk akal untuk ungkapan “tetapi akal budiku tidak turut berdoa” (ho de nous mou akarpos estin), yang secara hurufiah berarti “tetapi akal budiku tidak berbuah.” Apa arti dari ungkapan ini?
Sebagian penafsir menduga bahwa Paulus sedang mengadopsi ajaran filsuf Yunani terkenal yang bernama Plato. Dalam konsep dualistik Plato, roh dan akal budi bersifat saling eksklusif. Roh berada dalam dimensi yang lebih tinggi daripada akal budi. Jika roh sedang bekerja, maka akal budi diam. Philo, seorang penafsir Yahudi abad ke-1 yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Plato, juga menandaskan bahwa pertemuan dengan yang ilahi bisa menghasilkan hal-hal yang bertentangan dengan akal budi seperti keadaan tidak sadar, kegilaan, dsb.
Dugaan ini tampaknya keliru. Konsep dualisme Plato lebih mirip kesalahpahaman jemaat Korintus yang menganggap bahwa hal-hal “rohani” dan “tak terpahami” sebagai sesuatu yang baik. Paulus justru sedang menentang hal tersebut. Di ayat 15 ia menandaskan perlunya menggunakan keduanya – roh dan akal budi – pada saat yang bersamaan di dalam ibadah. Nasihat praktis tentang penggunaan bahasa roh dalam ibadah di ayat 27-28 menunjukkan bahwa Paulus tidak menganggap roh dan akal budi sebagai dua hal yang eksklusif satu dengan yang lain. Ia bahkan menentang aktivitas ibadah yang kacau sehingga berpotensi dianggap sebagai sebuah kegilaan oleh orang luar (ayat 23).
Melalui perbandingan roh dan akal budi Paulus ingin mengajarkan bahwa ibadah Kristiani seyogyanya melibatkan dua aspek ini. Ada dimensi roh yang melampaui tetapi tidak bertentangan dengan akal budi. Demikian pula pemahaman yang benar (akal budi) seharusnya menolong orang-orang Kristen mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan secara ajaib di dalam ibadah.
Dalam kasus orang yang berbahasa roh, dimensi roh lebih kentara. Ini sesuatu yang baik, namun perlu ditopang oleh dimensi akal budi. Melalui karunia menafsirkan bahasa roh, akal budi seluruh jemaat juga dibangun, karena mampu memahami perkataan yang diucapkan dalam bahasa roh.
Kebersamaan di dalam ibadah tidak hanya menjadi tanggung-jawab mereka yang berbahasa roh atau yang menafsirkannya. Jemaat lain juga terlibat dalam kebersamaan ini. Paling tidak, mereka mengaminkan perkataan orang lain (14:16).
Mengaminkan berarti mengiyakan atau meneguhkan. Respon ini melambangkan sebuah kesepakatan atau peneguhan. Inti dari semuanya ini adalah kesatuan dan kebersamaan. Dengan kata lain, ibadah bersama harus melibatkan seluruh jemaat. Ibadah bukan pertunjukan atau konser. Ibadah bukan sarana pemuasan diri sendiri.
Teladan hidup Paulus (ayat 18-19)
Paulus bukan hanya memberi nasihat. Ia juga menjadikan dirinya sebagai sebuah contoh konkrit. Walaupun ia berbahasa roh lebih daripada yang lain, ia memilih untuk berbahasa yang bisa dipahami oleh orang lain.
Beberapa penafsir berpendapat bahwa Paulus tidak sungguh-sungguh berbahasa roh. Ia hanya menyindir jemaat Korintus. Atau, paling tidak, ia hanya berandai-andai jika ia berbahasa roh lebih daripada mereka semua.
Tafsiran ini tidak tepat. Jika ini hanya sebuah pengandaian, Paulus sangat mungkin akan mengungkapkannya dalam cara yang lebih kentara (bdk. ayat 6 “Jadi, saudara-saudara, jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa roh, apakah gunanya itu bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan Allah atau pengetahuan atau nubuat atau pengajaran?”). Ini juga bukan sindiran. Paulus sering membangun tempat pijakan bersama sebagai strategi persuasi yang penuh simpati. Seandainya ini cuma sebuah sindiran, kekuatan dari ajaran tentang keseimbangan roh dan akal budi di ayat 15 akan menjadi lemah. Justru daya persuasi dari nasihat Paulus terletak pada fakta bahwa ia pun berbahasa roh. Hanya saja, ia menggunakannya dengan pemahaman yang tepat.
Paulus bukan hanya berbahasa roh. Ia berbahasa roh lebih daripada mereka semua. Tentu saja yang ia maksudkan adalah secara kualitatif, bukan kuantitatif. Maksudnya, Paulus mempraktekkan bahasa roh dengan konsep dan cara yang benar. Tidak lupa Paulus juga mensyukuri karunia itu.
Serangan Paulus terhadap jemaat yang berbahasa roh secara sembarangan bukan dilandasi oleh keirihatian atau sikap negatif terhadap bahasa roh. Paulus memahami manfaat bahasa roh, karena ia sendiri memiliki karunia itu dan telah dibangun melaluinya. Serangan lebih ditujukan pada penggunaan yang keliru dalam ibadah bersama.
Berbeda dengan sebagian jemaat Korintus yang membanggakan bahasa roh mereka dan memandang diri mereka lebih rohani daripada yang lain, Paulus memilih untuk berkata-kata dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh orang lain. Untuk memperkuat kontras, ia sengaja memilih angka lima (pente logous) dan sepuluh ribu (myrious logous), karena dalam budaya kuno waktu itu lima menyiratkan “sangat sedikit” (bdk. Yes 30:17), sedangkan sepuluh ribu (lit. “beribu-ribu”) menyiratkan jumlah yang tertinggi (bdk. 1 Kor 4:15). Melalui kontras ini ia ingin mengajarkan bahwa sedikit tetapi bermanfaat bagi orang lain adalah lebih baik daripada banyak tetapi tidak berguna bagi orang lain. Soli Deo Gloria.