Dalam tiga khotbah sebelumnya kita sudah belajar bahwa sebagian karakteristik kasih di 13:4-7 merupakan modifikasi Paulus dari sumber-sumber lain. Ia memberi nuansa Kristiani yang kental untuk tiap karakteristik. Ia mengaitkan itu dengan situasi spesifik dalam jemaat Korintus. Ia pun menunjukkan bagaimana ia sendiri telah belajar untuk mempraktekkan tiap karakteristik.
Minggu ini kita sampai pada ayat 7. Dari teks Yunani terlihat dengan jelas bagaimana ayat ini merupakan satu kesatuan. Empat baris dalam ayat ini membentuk kesejajaran (paralelisme). Tiap baris sama-sama dimulai dengan kata panta dan diikuti oleh kata kerja dengan akhiran –ei. Lebih jauh, ayat ini memperlihatkan sebuah struktur chiasme: baris pertama dan keempat berbicara tentang hal yang hampir sama, sedangkan baris kedua dan ketiga tentang dua hal terbesar dalam kekristenan selain kasih (iman dan pengharapan, 13:13).
Kasih itu selalu menanggung (panta stegei)
Terjemahan LAI:TB “menutupi segala sesuatu” sering menimbulkan kebingungan. Apa arti dari frase ini? Apakah kita boleh berbohong demi kasih? Tentu saja tidak! Apakah kita harus menutupi kesalahan orang lain atas nama kasih? Tentu juga tidak! Kalau begitu, apa arti panta stegei di ayat 7a?
Kata kerja stegei (dari kata dasar stegō) bisa mengandung arti “menutupi” atau “menanggung/menahan”. Berdasarkan pemunculan kata ini dalam Perjanjian Baru – yang semuanya terdapat dalam tulisan Paulus (9:12; 13:7; 1 Tes 3:1, 5) – kita sebaiknya memilih arti yang kedua (kontra LAI:TB/NIV). Di 9:12 Paulus memilih untuk menanggung (stegō) segala sesuatu yang tidak menyenangkan (tidak menerima tunjangan dan bahkan bekerja keras dengan tangannya sendiri, 9:6) daripada menerima tunjangan dari jemaat Korintus tetapi efektivitas pemberitaan injil menjadi terhambat. Semua ini ia lakukan karena ia mengasihi mereka. Di 1 Tesalonika 3:1-5 kasih Paulus kepada jemaat justru membuat dia tidak dapat tahan (stegō) untuk segera mengetahui keadaan mereka dan menguatkan mereka. Ia pun memutuskan untuk mengirim Timotius ke sana sembari ia sendiri menunggu kesempatan berkunjung ke sana (1 Tes 2:17-18; 3:2). Jadi, stegō memang lebih tepat diterjemahkan “menanggung” atau “menahan”.
Kata panta dalam frase panta stegei bisa berfungsi sebagai obyek dan diterjemahkan “segala sesuatu” (mayoritas versi Inggris), tetapi juga bisa sebagai kata keterangan dengan arti “selalu” (NIV). Alternatif pertama menekankan cakupan yang ditanggung oleh kasih (kasih menanggung segala sesuatu), sedangkan yang kedua lebih pada konsistensi dalam menanggung (kasih selalu menanggung). Di antara dua pilihan ini, yang terakhir lebih tepat. Kasih tidak menanggung segala sesuatu. Paulus pun tidak dapat menanggung kerinduan dalam dirinya terhadap jemaat Tesalonika dan tidak tahan melihat mereka dalam bahaya. Tidak semua ditanggung oleh kasih. Hanya hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain yang ditanggung. Artinya, demi kebaikan orang lain, kita harus rela menanggung apa pun juga. Itulah kasih.
Pada saat kita menanggung sesuatu untuk kebaikan orang lain, kita harus melakukan secara konsisten (selalu menanggung). Konsistensi ini seringkali sulit kita pertahankan. Situasi yang berubah maupun respon orang lain yang negatif terhadap kita tidak jarang melemahkan kerelaan kita untuk menanggung sesuatu bagi dia.
Kasih itu selalu percaya (panta pisteuei)
Karakteristik ini tidak berarti bahwa kasih secara sembarangan dan tanpa hikmat mempercayai semua orang dan segala ucapan. Sebagian orang tidak dapat dipercaya. Banyak ucapan juga mengandung kebohongan dan ketidaktulusan. Jadi, apakah arti panta pisteuei di ayat ini?
Sebagaimana kita sudah singgung di poin sebelumnya, kata panta di ayat 7 tidak berfungsi sebagai obyek, melainkan kata keterangan. Dengan demikian frase panta pisteuei seharusnya diterjemahkan “selalu percaya”. Kepada siapakah kepercayaan ini ditujukan: Allah atau orang lain?
Beberapa pertimbangan mengarahkan kita untuk mengambil Allah sebagai obyek. Kata benda “percaya” (pistis) sudah muncul di 13:2 dan merujuk pada iman kepada Allah. Di samping itu, dalam tulisan Paulus yang lain, iman dan kasih beberapa kali muncul bersamaan, dan iman di sana merujuk pada iman kepada Tuhan (Ef 1:15//Kol 1:4 “tentang imanmu dalam Tuhan Yesus dan tentang kasihmu kepada semua orang kudus”; 1 Tes 1:3 “pekerjaan imanmu dan usaha kasihmu”; 2 Tes 1:3 “imanmu makin bertambah dan kasihmu satu dengan yang lain makin kuat”; Fil 5 “kasihmu kepada semua orang kudus dan imanmu kepada Tuhan Yesus”). Jadi, kasih itu selalu percaya atau beriman kepada Tuhan, bukan kepada sesuatu atau seseorang. Kasih selalu percaya kepada Dia yang memanggil kita untuk mengasihi orang lain.
Di samping itu, kita hanya bisa mengasihi orang lain seperti yang Allah kehendaki apabila kita sudah memiliki iman kepada Tuhan Yesus. Allah yang mau merengkuh jemaat Korintus apa adanya merupakan alasan mengapa mereka perlu belajar untuk rendah hati dan menerima orang lain (1:25-29; bdk. Flp 2:5-8). Kristus Yesus yang menyatukan orang yang bersunat dan yang tak bersunat juga menjadi alasan yang cukup bagi kita untuk mengabaikan perbedaan dan melihat hal yang terpenting, yaitu “hanya iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Tanpa didasari oleh Injil Yesus Kristus kasih kita cenderung manipulatif (kita mengasihi untuk mendapatkan sesuatu, entah pahala, karma yang lebih baik, atau kehidupan kekal). Kasih yang bersumber dari salib Kristus tidak mengharapkan pamrih sama sekali.
Kasih itu selalu berharap (panta elpizei)
Terjemahan “mengharapkan segala sesuatu” bisa menyiratkan pesan yang keliru, seolah-olah kita didorong untuk berharap pada manusia. Hal ini tentu saja bertentangan dengan firman Alkitab (Yer 17:5). Kita justru diingatkan untuk bermegah di dalam Allah (1 Kor 1:29, 31). Jika demikian, apa maksud panta elpizei di sini?
Sama seperti iman ditujukan pada Allah, pengharapan juga terfokus pada Allah. Kasih selalu berharap pada Allah yang kepada-Nya kita telah meletakkan pengharapan kita. Dengan kata lain, pengharapan yang konsisten di dalam Allah merupakan karakteristik kasih yang sejati.
Lalu bagaimana kaitan antara kasih (kepada sesama) dan pengharapan (kepada Allah)? Pengharapan kepada Allah membuat kita mampu mengasihi orang lain dan mengharapkan hal-hal yang baik dari Allah bagi orang lain yang kita kasihi. Paulus berharap bahwa dalam kehendak Allah ia dapat mengunjungi jemaat Korintus lagi (16:7). Di tengah hubungannya yang rumit dengan jemaat Korintus, Paulus tetap mempertahankan harapan yang teguh tentang mereka (2 Kor 1:7; 10:15).
Kita kadangkala putus harap di dalam Allah tentang orang lain, sehingga kasih kita pun menjadi redup. Sebagian orang bahkan takut berharap karena kuatir tidak tercapai dan malah menambah kepedihan. Sebagian yang lain hanya mau mengasihi apabila harapannya tentang orang lain diwujudkan lebih dahulu oleh Allah. Semua sikap ini keliru. Kasih sejati mendorong kita untuk terus berharap kepada Allah bahwa Ia sanggup melakukan hal-hal yang baik bagi orang yang kita kasihi.
Kasih itu selalu bertekun (panta hypomenei)
Seperti sudah disinggung di depan, ayat 7a dan ayat 7d hampir identik. Kata dasar hypomenō di ayat 7d memiliki arti yang mirip dengan kata stegō di ayat 7a. Hypomenō muncul beberapa kali dalam tulisan Paulus, dan dikaitkan dengan kesesakan (Rom 12:12) dan penderitaan (2 Tim 2:10, 12).
Seandainya keduanya harus dibedakan, stegō lebih mengarah pada kerelaan untuk menghadapi sesuatu, sedangkan hypomenō lebih kepada ketahanan sampai akhir. Pembedaan semacam ini, bagaimana pun, tidak diperlukan. Penambahan kata panta (“selalu”) di depan stegō benar-benar membuat stegō memiliki arti yang sama dengan hypomenō.
Kasih diwujudkan melalui konsistensi kita dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan demi orang lain. Sama seperti Paulus mau menjalani berbagai penderitaan demi orang-orang pilihan yang harus mendengar Injil dan diselamatkan (2 Tim 2:10, 12), demikian pula kita harus menahan semua yang tidak enak demi kebaikan orang lain. Kerelaan untuk berkorban dan bertahan di dalamnya merupakan bukti kasih sejati.
Soli Deo Gloria.