Sesudah mengajarkan kasih sebagai dasar dan cara menggunakan karunia-karunia rohani (13:1-3), Paulus sekarang menjelaskan karakteristik kasih Kristiani (13:4-7). Pemaparan di bagian ini disusun sebagai berikut. Pertama-tama, Paulus memulai dengan dua karakteristik secara positif (13:4a, sabar dan murah hati). Selanjutnya, ia menerangkan tindakan-tindakan apa yang tidak mencerminkan kasih (13:4b-6). Di bagian terakhir Paulus kembali ke nuansa positif dan mengaitkan kasih dengan “segala sesuatu” (13:7).
Terlepas dari dugaan apakah deretan karakteristik kasih ini seluruhnya ide Paulus ataukah ia hanya meredaksi sumber yang sudah ada, karakteristik yang ditulis sangat relevan dengan situasi jemaat di Korintus. Paulus tidak hanya mengupas karakteristik kasih secara umum atau abstrak. Ia berusaha mendaratkan semua itu sesuai keadaan di jemaat Korintus.
Sebelum membahas masing-masing karakteristik kasih secara detil, kita perlu menarik beberapa poin penting dari daftar ini. Pertama, kasih itu bukan sekadar perasaan. Paulus tidak memberi nasihat untuk sekadar memiliki kasih, tetapi untuk mendemonstrasikannya dalam bentuk sikap dan tindakan tertentu yang konkrit. Hal ini terlihat dari pemilihan 15 kata kerja (bukan kata sifat!) di teks kita. Kasih lebih daripada sekadar romantisme dan manipulasi perasaan. Kasih hanya dapat diukur melalui apa yang dilakukan atau tidak dilakukan.
Kedua, kasih itu bersifat pasif dan aktif. Di satu sisi, ada hal-hal tertentu yang harus dihindari karena bertentangan dengan kasih. Di sisi lain, ada beberapa hal lain yang harus dikejar karena selaras dengan kasih. Sebagian orang hanya berpuas diri dengan salah satu aspek kasih (pasif atau aktif), namun kasih menuntut kegenapan: menghindar dan mengejar. Keduanya harus dilakukan dengan kesungguhan yang sama.
Ketiga, kasih tidak meniadakan teguran. Dalam teks ini Paulus sedang mengajarkan tentang kasih sebagai teguran terhadap sikap jemaat Korintus yang keliru. Ia bahkan lebih banyak membicarakan tentang apa yang tidak boleh dilakukan (13:4b-6) daripada apa yang seharusnya dilakukan (13:41, 7), karena ia memang sedang menyoroti sikap jemaat Korintus yang tidak menunjukkan kasih. Keseimbangan antara kasih dan teguran ini sangat penting untuk digarisbawahi. Bukankah banyak orang tidak berani menegur kesalahan orang lain atas nama kasih? Bukankah banyak pula yang berani menegur tetapi tanpa kasih sama sekali?
Terakhir, kasih bersumber dari Allah. Seperti yang akan dijelaskan dalam bagian-bagian selanjutnya, karakteristik kasih di 13:4-7 mencerminkan apa yang Allah lakukan terhadap kita. Allah bukan hanya menuntut, namun juga memberikan teladan. Apa yang Ia lakukan terhadap kita menjadi sebuah dasar dan keharusan bagi kita untuk memperlakukan orang lain dengan cara yang sama. Kasih Allah bukan untuk dinikmati saja, melainkan juga untuk diikuti.
Kasih itu sabar
Kata Yunani makrothymei (LAI:TB “sabar”) adalah sebuah kata kerja dalam present tense, karena itu sebaiknya diterjemahkan “terus-menerus bersabar”. Ini bukan kata sifat, seolah-olah hanya orang-orang tertentu yang cenderung tidak mudah marah yang bisa menunjukkan karakteristik ini. Ini adalah kata kerja. Artinya, ini sesuatu yang harus kita upayakan dengan pertolongan Tuhan, bukan sesuatu yang dari awal melekat pada diri kita.
Kata “sabar” di dalam Alkitab digunakan dalam dua konteks: penderitaan dan kesalahan orang lain. Dalam konteks yang pertama, kata ini berarti “tabah” atau “tekun” (Ibr 6:15; Yak 5:7-8), sedangkan dalam konteks yang kedua berarti “tidak mudah marah” (1 Tes 5:14; 2 Pet 3:9). Di antara dua makna ini, Paulus – sesuai dengan situasi jemaat Korintus - tampaknya lebih menekankan arti yang terakhir, karena ide tentang sabar dalam arti “bertahan” atau “bertekun” akan dibahas di bagian selanjutnya (13:7d, hypomenei).
Di tengah situasi jemaat yang rentan dengan perselisihan (pasal 1-3, 8), Paulus menasihatkan mereka untuk menahan diri dari kemarahan. Perbedaan pendapat tidak boleh berujung pada pertikaian. Pihak yang kuat harus belajar menerima pihak lain (8:9-12). Teguran kepada mereka yang bersalah tidak boleh meniadakan kesabaran (1 Tes 5:14-15; 2 Tim 4:2). Paulus sendiri memberikan teladan ini dalam pelayanannya (2 Kor 6:6) dan menasihati orang lain untuk mengikuti teladan itu (2 Tim 3:10).
Bagaimana kita bisa menjadi sabar? Rahasia pertama adalah menyadari kehidupan kita sebagai hasil dari kesabaran Allah. Jika bukan karena kesabaran-Nya, kita tidak akan bisa hidup, apalagi menikmati pertobatan di dalam Dia. Allah berlaku sabar terhadap orang-orang berdosa supaya mereka beroleh kesempatan untuk bertobat (Rom 2:4; 9:22; 2 Pet 3:15). Semakin kita mengakui keberdosaan kita yang besar, semakin besar pula kesabaran Allah terlihat di mata kita (1 Tim 1:16). Kolose 3:12 “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.” Jadi, jika kita mengakui kesabaran Allah yang menakjubkan di balik kehidupan kita sekarang, mengapa kita kurang bisa bersabar terhadap mereka yang bersalah kepada kita?
Rahasia kedua adalah kedekatan dengan Roh Kudus. Kesabaran adalah salah satu bagian dari buah Roh (Gal 5:22). Secara naluri kita cenderung tidak sabar. Situasi hidup juga sering mengikis kesabaran kita. Hanya penyerahan diri dan kedekatan dengan Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk bersabar.
Kasih itu murah hati
Kata kerja chrēsteuomai (LAI:TB “murah hati”) hanya muncul sekali di Alkitab, walaupun kata benda chrēstotēs maupun kata sifat chrēstos muncul berkali-kali. Berdasarkan pemunculan kata kerja chrēsteuomai di luar Alkitab (Keb. Sal. 9:6) dan kata benda chrēstotēs maupun kata sifat chrēstos di Alkitab, kita sebaiknya menerjemahkan chrēsteuomai dengan “berbuat baik” (bdk. semua versi Inggris “kind”).
Kebaikan apa yang dimaksud Paulus di sini? Walaupun kata chrēsteuomai/chrēstotēs/chrēstos bisa mengandung makna yang cukup luas (merujuk pada segala macam kebaikan, LXX Mzm 30:20; 37:3; 65:11; Rom 3:12), tetapi Paulus tampaknya secara khusus memikirkan kebaikan yang berhubungan dengan pengampunan dosa dan keselamatan kita. Sama seperti di 1 Korintus 13:4, di Roma 2:4 Paulus juga menghubungkan kesabaran (makrothymia) dan kebaikan (chrēstotēs dan chrēstos). Di Roma 2:4 konteksnya adalah kebaikan Allah yang dimaksudkan untuk pertobatan. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Paulus juga seringkali menggunakan kata chrēstotēs atau chrēstos dalam kaitan dengan keselamatan kita (Rm 11:22; Ef 2:7; Tit 3:4-5).
Setiap kali kita memikirkan keselamatan yang sudah dikaruniakan Allah secara cuma-cuma kepada kita, kita didorong untuk menunjukkan kebaikan yang sama. Tidak cukup bagi kita untuk sekadar bersabar terhadap mereka yang berbuat salah kepada kita (makrothymei). Kita juga perlu menunjukkan kebaikan kepada mereka (chrēsteuomai).
Pada abad permulaan, wujud kasih ini sempat menjadi karakteristik orang-orang Kristen. Bapa gereja Tertulianus mencatat bahwa orang-orang kafir sering menyebut kekristenan dengan istilah chrēstiani (terdiri dari kelemahlembutan atau kebaikan), bukan hanya christiani. Apakah kita sudah kehilangan ciri khas ini?
Kasih itu tidak cemburu
Kata zēloō (LAI:TB “cemburu”) bisa mengandung arti yang positif maupun negatif, tergantung pada konteks pemakaiannya. Dalam makna yang positif, zēloō merujuk pada kesungguhan atau semangat untuk melakukan sesuatu, misalnya mengupayakan karunia rohani yang lebih penting (12:31; 14:1, 39). Paulus sendiri cemburu kepada jemaat Korintus pada saat ia berusaha menyelamatkan mereka dari para pengajar sesat (2 Kor 11:2). Di tempat lain ia menyinggung tentang semangat untuk menarik orang lain pada kebenaran secara konsisten (Gal 4:18).
Dalam arti yang negatif, zēloō lebih tepat dipahami sebagai iri hati. Dalam Perjanjian Baru kata ini dikenakan pada saudara-saudara Yusuf yang menjual dia ke Mesir (Kis 7:9), orang-orang Yahudi di Tesalonika yang hendak mengadili Paulus dan Silas (Kis 17:5), dan dua belas suku di perantauan yang saling berkelahi dan membunuh demi kepuasan hawa nafsu (Yak 4:2).
Mayoritas versi secara tepat menerjemahkan zēloō di 1 Korintus 13:4 dengan iri hati (KJV/ASV/NIV/ESV; kontra RSV/NASB). Keirihatian telah memicu perselisihan di antara jemaat Korintus (3:3). Tindakan orang-orang kaya yang menghina orang-orang miskin (11:21-22) bisa memicu keirihatian.
Dalam hal ini kita sebaiknya membedakan antara kecemburuan (jealousy) dan keirihatian (envy). Kecemburuan berarti menuntut apa yang menjadi hak kita. Contohnya adalah kecemburuan Paulus terhadap jemaat Korintus yang mudah diperdaya oleh para guru palsu, karena mereka telah dipertunangkan dengan Kristus (2 Kor 11:2). Allah juga bisa cemburu kepada kita apabila kita berubah setia, karena Ia sudah mengaruniakan Roh-Nya ke dalam hati kita (Yak 4:5). TUHAN pun cemburu kepada tanah-Nya (Yl 2:18).
Iri hati berarti menuntut apa yang bukan menjadi milik atau hak kita. Tatkala kita marah melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang baik, hal itu membuktikan keirihatian dalam diri kita (Mat 20:15). Waktu kita kesal melihat orang lain berhasil (apalagi jika melalui cara-cara yang tidak baik), maka kita juga telah bertindak iri kepada dia (Ams 3:31; 24:19). Ketika kita mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan pihak lain, kita telah menuntut apa yang bukan menjadi hak kita (Yak 3:14-16).
Obat untuk iri hati adalah kesadaran terhadap kedaulatan Allah. TUHAN berhak memberikan satu, dua, atau lima talenta kepada orang yang berbeda (Mat 25:14-30). Dia juga berdaulat untuk menentukan upah setiap orang menurut yang dikehendaki-Nya (Mat 20:1-16). Tugas kita adalah memaksimalkan apa yang dipercayakan kepada kita, bukan mengurusi apa yang menjadi milik orang lain.
Kesadaran terhadap pengaturan ilahi yang berdaulat menolong kita untuk tetap bersyukur, tenang, dan menikmati hidup. Ayub 5:2 berkata: “Sesungguhnya, orang bodoh dibunuh oleh sakit hati, dan orang bebal dimatikan oleh iri hati.” Di tempat lain, Alkitab memberikan sebuah nasihat indah: “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” (Ams 13:30). Masihkah kita mau menyimpan iri dalam hati kita? Soli Deo Gloria.