Minggu ini adalah pembahasan terakhir dari 1 Korintus 12:7-11. Kita sudah belajar konsep teologis yang benar tentang karunia-karunia roh. Kita juga sudah mempelajari pengertian dari masing-masing karunia roh, dari karunia berkata-kata dengan hikmat sampai membedakan beragam roh. Kini kita sampai pada dua karunia roh yang paling sering menimbulkan perdebatan, yaitu karunia bahasa roh dan menafsirkan bahasa roh.
Sebagaimana sudah disinggung beberapa kali dalam khotbah-khotbah sebelumnya, peletakan karunia bahasa roh dan penafsirannya pada urutan terakhir dalam daftar karunia rohani di 1 Korintus 12:7-10 sangat mungkin menyiratkan pesan tertentu: apa yang dianggap paling penting oleh jemaat Korintus sengaja diposisikan terbelakang. Paulus berusaha mengoreksi kesalahpahaman jemaat Korintus yang menganggap kepemilikan karunia berbahasa roh sebagai tanda kerohanian yang tinggi. Pesan teologis di balik pengaturan ini tampaknya memang beralasan. Sebagaimana di pasal 14 nanti Paulus meletakkan nilai penting nubuat di atas bahasa roh (14:2-5), demikian pula dalam urutan karunia di 12:7-11 ia menyinggung tentang bahasa roh tepat sesudah nubuat.
Mengingat karunia bahasa roh dan penafsirannya akan dikupas secara teliti di pasal 14, hari ini kita hanya akan fokus untuk menjawab beberapa pertanyaan atau perdebatan populer seputar bahasa roh dan penafsirannya.
Bahasa roh (heterō genē glōssōn)
Karunia ini sering disebut ‘karunia kontroversial,’ karena paling sering diperdebatkan. Hampir setiap hal dari karunia ini menimbulkan pertanyaan. Yang paling sederhana adalah istilah yang tepat untuk karunia ini. Sebagian orang memilih istilah ‘bahasa roh,’ yang lain ‘bahasa lidah’. Istilah pertama mungkin lebih didasarkan pada 1 Korintus 12-14 (bahasa asing sebagai karunia Roh), sedangkan istilah kedua lebih terkait dengan Kisah Para Rasul 2:1-11 (pemberian Roh Kudus ditandai dengan ‘lidah-lidah seperti nyala api’). Kerancuan istilah ini bisa dipahami. Kata Yunani glōssa sendiri bisa berarti ‘bahasa’ atau ‘lidah,’ tergantung pada konteksnya. Begitu pula dengan kata Inggris ‘tongue’ yang juga dapat berarti ‘lidah’ atau ‘bahasa’. Berdasarkan hal ini, istilah ‘bahasa lidah’ tampaknya sedikit membingungkan. Kata ‘roh’ pada istilah ‘bahasa roh’ adalah sebuah penambahan untuk menerangkan bahwa bahasa ini berbeda dengan bahasa pada umumnya. Ada aktivitas Roh Kudus di balik keberadaan bahasa ini.
Persoalan lain seputar karunia bahasa roh adalah keterkaitannya dengan peristiwa turunnya Roh Kudus pada Hari Pentakosta (Kis 2). Apakah keduanya identik? Mereka yang meyakini bahwa dua fenomena ini identik berusaha menafsirkan salah satu teks dari perspektif yang lain. Sebagian lagi meyakini bahwa dua teks ini menyinggung tentang dua hal yang berkaitan tetapi berbeda.
Kesamaan antara dua teks ini memang terlihat jelas. Keduanya sama-sama membuktikan kehadiran dan pekerjaan Roh Kudus (Kis 2:4; 1 Kor 12:10b). Keduanya bersifat spektakuler dan ajaib. Keduanya berkaitan dengan ‘lidah’ atau ‘bahasa’. Istilah yang digunakan pun sama-sama menyinggung tentang keragaman bahasa (Kis 2:4 ‘heterais glōssais’; 1 Kor 12:10b ‘heterō genē glōssōn’). Bahasa yang diutarakan juga sama-sama belum pernah dipelajari atau dikuasai oleh pembicaranya sendiri. Keduanya juga dihubungkan dengan kehadiran orang-orang yang belum/tidak percaya (Kis 2:5-11; 1 Kor 14:22-25).
Bagaimanapun, perbedaan penting di antara dua fenomena di atas juga kentara. Yang pertama merujuk pada bahasa-bahasa asing yang dapat dimengerti oleh orang lain yang menggunakan bahasa itu (Kis 2:8), sedangkan yang kedua dikaitkan dengan ‘bahasa malaikat’ (1 Kor 13:1) atau ‘bahasa yang tidak terpahami oleh akal budi’ (1 Kor 14:2b, 9, 14, 16). Yang satu lebih ditujukan kepada manusia (Kis 2:11), sedangkan yang lain kepada Allah (1 Kor 14:2a). Yang satu lebih berhubungan dengan penginjilan (kis 2:8-11), yang lain dengan pembangunan sesama jemaat (1 Kor 14:12-13). Untuk membedakan keduanya sebagian teolog menggunakan istilah xenoglossolalia (xeno = asing + glossolalia = berbicara dalam bahasa) untuk peristiwa di Kisah Para Rasul 2:1-11 dan glossolalia untuk yang di 1 Korintus 12-14.
Upaya untuk membedakan secara tajam maupun, sebaliknya, mengidentikkan secara mutlak dua fenomena di atas sebenarnya merupakan sebuah kekeliruan. Pertama, fenomena di Hari Pentakosta juga muncul beberapa kali di bagian lain Kisah Para Rasul, misalnya di Kaisarea (Kis 10:44-46). Menariknya, Petrus menyamakan peristiwa di Kaisarea dengan yang di Yerusalem (Kis 10:47 ‘sama seperti kita’; 11:15 ‘sama seperti dahulu ke atas kita’; 11:17 ‘sama seperti kepada kita’), walaupun dalam kasus di Yerusalem yang dimaksud jelas adalah bahasa manusia tetapi asing bagi pembicaranya (Kis 2:4 ‘berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain’), sedangkan di Kaisarea tidak ada petunjuk bahwa bahasa yang diucapkan adalah bahasa asing. Fakta bahwa yang mendengarkan bahasa roh itu adalah Petrus dan ‘semua orang percaya dari golongan bersunat’ menunjukkan bahwa mereka sangat mungkin tidak mengerti apa yang diucapkan Kornelius dan seisi rumahnya, terlepas dari apakah bahasa tersebut merupakan bahasa asing atau bahasa spiritual. Peristiwa yang sama di Kisah Para Rasul 19:6 juga tidak menyiratkan bahasa asing. Jika bahasa roh harus berbentuk bahasa asing, bagaimana Paulus bisa memastikan bahwa semua yang diucapkan orang-orang percaya di Efesus (bentuk jamak glōssais) benar-benar adalah bahasa roh, sedangkan Paulus tidak mungkin menguasai begitu banyak bahasa asing? Semua ini mengarah pada satu kesimpulan: bahasa roh dapat merujuk pada bahasa manusia yang asing maupun bahasa spiritual yang bukan bahasa manusia.
Kedua, penyelidikan yang lebih mendalam terhadap istilah di 1 Korintus 12:10b. Frase heterō genē glōssōn di ayat ini secara hurufiah berarti “berbagai jenis bahasa”. Jika kita memberi penekanan yang semestinya pada frase ini – terutama pada kata heterō dan genē – kita akan tertolong untuk tidak terjebak pada pola pikir yang sempit. Karunia roh (glōssa atau glōssōlalia) mencakup beragam jenis bahasa. Bahasa seperti apa yang dimaksud harus dilihat dari konteks. Di Kisah Para Rasul 2, glōssa berarti ‘bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang lain’, di Kisah Para Rasul 10-11, 19, dan 1 Korintus 12-14 makna yang ada mungkin berbeda (lihat bagian selanjutnya). Jadi, secara sederhana kita dapat memahami ‘bahasa roh’ sebagai bahasa yang bukan bahasa ibu dan tidak pernah dipelajari sebelumnya oleh orang yang mengucapkannya, terlepas dari apakah bahasa itu termasuk salah satu bahasa di dunia atau bukan.
Jika istilah ‘bahasa roh’ bisa merujuk pada bahasa manusia atau bukan, arti yang mana yang sedang dipikirkan Paulus pada saat ia menguraikan karunia ini di 1 Korintus 12-14? Sebagian penafsir berpendapat bahwa bahasa roh di 1 Korintus 12-14 adalah bahasa-bahasa asing yang tidak dipahami si pembicara tetapi mungkin dimengerti oleh orang-orang lain yang menggunakan bahasa itu. Beberapa argumen yang diajukan sebagai dukungan antara lain: (a) kata glōssa (lit. ‘bahasa’) memang seringkali merujuk pada bahasa manusia; (b) kebutuhan untuk penafsiran menunjukkan bahwa suara yang diucapkan memiliki tata bahasa dan arti, sebagaimana layaknya sebuah bahasa manusia; (3) kesamaan dengan peristiwa di Hari Pentakosta.
Bagaimanapun, pertimbangan konteks yang seksama tampaknya lebih berpihak pada bahasa spiritual yang tidak termasuk salah satu bahasa manusia (bahasa asing).
A. Ditujukan kepada Allah, sehingga tidak ada orang yang memahami rahasia di balik perkataan itu (14:2). Seandainya bahasa roh adalah sebuah bahasa asing, mengapa Allah perlu memberikan bahasa tersebut kepada seseorang? Bukankah orang itu dapat mengungkapkan isi hatinya dalam bahasa yang ia sudah pelajari dan kuasai?
B. Dimaksudkan untuk membangun diri sendiri (14:4a). Yang dilarang Paulus di 1 Korintus 14 adalah penggunaan bahasa roh yang tidak tertib di dalam ibadah (14:26-27), namun ia tidak melarang penggunaan secara pribadi (14:28), karena bahasa roh memang lebih berkaitan dengan diri sendiri (14:4a). Jika demikian, untuk apa Roh Kudus membangun kerohanian seseorang dengan cara mengaruniakan bahasa asing kepada orang itu?
C. Disamakan dengan berdoa menggunakan roh, sekaligus dikontraskan dengan berdoa menggunakan akal budi (14:14-15). Di samping menjelaskan bahwa bahasa roh tidak terpahami oleh manusia (14:2) Paulus menerangkan bahwa pada waktu berdoa menggunakan bahasa roh, akal budi seseorang dalam keadaan pasif (14:14). Kontras semacam ini mengarahkan kita untuk memandang bahasa roh lebih sebagai bahasa spiritual, walaupun sebuah bahasa asing juga sama-sama tidak dimengerti oleh si pembicara.
D. Untuk menafsirkan bahasa roh diperlukan karunia khusus dari Roh Kudus (14:13, 16-18). Seandainya bahasa roh terbatas pada bahasa asing saja, mengapa penafsirannya membutuhkan karunia khusus dari Roh Kudus? Bukankah orang lain yang tidak percaya yang menguasai bahasa itu dapat mengertinya, seperti dalam peristiwa Pentakosta? Poin ini akan menjadi semakin relevan apabila dihubungkan dengan situasi Kota Korintus sebagai kota metropolitan di mana banyak orang dari berbagai bahasa biasa berdagang atau beribadah di sana.
E. Penggunaan analogi dari bahasa-bahasa manusia (14:10-11). Di ayat 7-11 Paulus menggunakan tiga analogi yang berlainan dengan maksud yang sama: alat musik, nafiri, dan bahasa-bahasa di dunia. Berdasarkan prinsip bahwa sebuah analogi tidak mungkin identik dengan yang dianalogikan, kita memiliki alasan untuk menafsirkan bahwa bahasa roh tidak identik dengan bahasa manusia.
f. Dikaitkan dengan bahasa malaikat (13:1). Terlepas dari sumber ide dan makna dari ungkapan ini, pemunculannya dalam konteks bahasa roh menyiratkan bahwa bahasa roh termasuk bahasa yang berhubungan dengan dimensi roh.
Apakah penjelasan di atas berarti bahwa orang yang sedang berbahasa roh sedang berada dalam keadaan yang tidak sadar atau tidak terkontrol (ecstasy atau trance)? Sama sekali tidak! Orang yang sedang berbahasa roh mengetahui secara umum apa yang ia sedang sampaikan kepada Allah, entah itu doa, nyanyian, atau ucapan syukur (14:14-17). Peraturan tentang ketertiban penggunaan bahasa roh dalam ibadah – misalnya bergantian, menunggu orang lain yang menafsirkan, berdiam diri – juga menyiratkan bahwa si pembicara benar-benar dalam keadaan yang sadar (14:27-28). Bahkan pada saat Hari Pentakosta tidak ada indikasi tentang keadaan yang tidak terkontrol. Orang-orang percaya berkata-kata secara normal tentang perbuatan Allah yang besar (2:11). Satu-satunya yang janggal adalah kemampuan mereka berbicara dalam bahasa-bahasa yang tidak mereka kuasai sebelumnya, namun cara mengatakannya tidak menunjukkan keanehan. Tuduhan bahwa mereka mabuk pun tidak mewakili semua orang (2:12-13). Pendeknya, praktek bahasa roh di gereja mula-mula tidak sama dengan yang terjadi di beberapa gereja modern yang cenderung emosional dan tanpa kontrol.
Penafsiran bahasa roh (hermēneia glōssōn)
Sebagaimana karunia nubuat perlu dilengkapi dengan karunia membedakan bermacam-macam roh, demikian pula karunia berbahasa roh memerlukan karunia menafsirkan bahasa roh itu. Para teolog berdebat tentang arti kata hermēneia di sini. Kata ini dapat merujuk pada artikulasi verbal dari sebuah pikiran atau perasaan yang tidak terungkapkan, penafsiran/penjelasan, atau terjemahan. Jika arti ke-1 benar, maka bahasa roh adalah sebuah realita non-linguistik walaupun melibatkan suara tertentu (semacam keluhan atau seruan kegembiraan). Jika arti ke-2 benar, maka yang ditekankan bukan padanan kata per kata, tetapi inti dari yang disampaikan. Jika arti ke-3 yang dimaksud, maka hermēneia merujuk pada terjemahan ketat sesuai setiap kalimat yang diucapkan. Di antara tiga alternatif ini, yang kedua tampaknya lebih tepat. Yang ditekankan Paulus bukan arti kata per kata, tetapi inti dari perkataan tersebut. Kegunaan penafsiran bahasa roh adalah mengungkapkan misteri ilahi di dalamnya (14:2), sehingga jemaat dapat dibangun. Hal yang sama berlaku pada kasus nubuat (14:24-25). Pendeknya, fokus yang disorot adalah menyataan hal-hal rahasia dari Allah, bukan detil tiap kata yang diucapkan.
Sebagaimana kita dapat mengejar karunia-karunia rohani (12:31), demikian juga dengan karunia menafsirkan bahasa roh. Kita boleh mendoakan hal ini (14:13). Karena penafsiran bahasa roh tidak didapat melalui belajar dan latihan, melainkan dengan doa, demikian pula bahasa roh tidak dapat diperoleh melalui latihan-latihan tertentu. Keduanya adalah pemberian Roh Kudus seturut dengan kehendak-Nya sendiri (12:7, 11). Gereja-gereja modern yang mendorong dan melatih jemaat mereka untuk berbahasa roh jelas bertentangan dengan firman Tuhan.