Eksposisi 1 Korintus 12:12-14

Posted on 23/02/2014 | In Teaching | Leave a comment

Pada bagian sebelumnya (12:4-11) Paulus sudah menerangkan tentang kesatuan dan keragaman karunia-karunia Roh. Semua karunia yang berbeda itu berasal dari satu sumber yang sama (12:4-6, 11) dan memiliki tujuan yang sama pula (12:7). Walaupun demikian, tiap orang yang berbeda dipercayakan karunia tertentu yang berbeda pula (12:8-10). Kesatuan tidak meniadakan keragaman, begitu pula sebaliknya.

Untuk menjelaskan poin tersebut Paulus menggunakan sebuah metafora (ayat 12 ‘sama seperti’). Ini bukan kali pertama Paulus memakai sebuah metafora untuk gereja. Di bagian sebelumnya ia sudah menggambarkan umat Allah sebagai ladang (3:5-9a) dan bangunan (3:9b-15). Sekarang ia memakai metafora tubuh manusia untuk mendaratkan poin khusus yang ia ingin tekankan.

Pasal 12:12-14 merupakan dasar teologis bagi metafora tubuh yang akan dijabarkan terus sampai akhir pasal 12. Sama seperti tubuh adalah satu tetapi memiliki banyak anggota, demikian pula umat Allah yang berbeda sudah disatukan secara rohani. Anggota memang banyak, tetapi tubuh hanya satu. 

Satu tubuh, banyak anggota (ayat 12)

Ayat ini tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Poin yang disampaikan cukup jelas. Cara menyampaikannya pun terlihat indah disertai penekanan. Dalam hal ini Paulus menggunakan struktur chiasme (ABB’A’): tubuh itu satu (A) – dan anggota-anggotanya banyak (B) – segala anggota itu sekalipun banyak (B’) – adalah satu tubuh (A’). Dengan kata lain, arti yang sama diutarakan dengan cara yang berbeda di ayat 12a dan 12b.

Walaupun dari sisi inti dan struktur tidak sukar, namun bagian terakhir dari ayat ini – yaitu frasa “demikian pula Kristus” - terlihat agak janggal. Kita mungkin berharap Paulus menutup dengan “demikian pula gereja” atau “demikian pula tubuh Kristus” (bdk. ayat 27 “kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya”). Mengapa Paulus menggunakan kata ‘Kristus’ dan bukan ‘gereja’ atau ‘tubuh Kristus’?

Paulus mungkin bermaksud menekankan keutamaan Kristus di dalam gereja. Penekanan ini memang diperlukan, karena dalam metafora tubuh di pasal 12 ini Kristus tidak ditampilkan sebagai kepala tubuh (bdk. Ef 4:12, 15-16). Sebagian jemaat menempati posisi di sekitar kepala, misalnya sebagai mata, telinga, dan hidung (12:16-17). Dengan metafora seperti ini Paulus perlu menegaskan posisi dan keutamaan Kristus: Kristus identik dengan tubuh-Nya. Konsep semacam ini tidak terlalu mengagetkan karena pada saat pertobatan Paulus Yesus Kristus juga mengidentikkan diri-Nya dengan seluruh jemaat melalui perkataan: “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kis 9:4). Alasan lain di balik pemilihan frasa “demikian pula Kristus” di ayat 12b berkaitan dengan isu perpecahan di pasal 1-3. Di sana Paulus menegur jemaat Korintus dengan sebuah pertanyaan retoris: “Apakah Kristus terbagi-bagi?” (1:13a). Maksudnya, Paulus ingin menegaskan bahwa sekalipun jemaat Korintus sangat beragam dalam banyak hal – jenis karunia yang dimiliki maupun status sosial mereka – semua adalah satu tubuh, yaitu Kristus. Di 6:15-17 Paulus juga menegur dengan pertanyaan retoris: “tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus?”. Setiap orang percaya telah dipersatukan dengan Kristus, karena itu setiap orang adalah anggota dari satu tubuh yang sama, yaitu Kristus.

Alasan bagi kesatuan tubuh (ayat 13)

Kata sambung ‘sebab’ menerangkan alasan bagi ayat 12. Kesatuan jemaat sebagai tubuh Kristus tercipta bukan dari kesamaan apapun yang dikerjakan oleh manusia. Kesatuan ini terjadi dalam dimensi rohani, berkaitan dengan pekerjaan Roh Kudus dalam diri kita: kita dibaptis dalam satu Roh (ayat 13a) dan dibuat minum dari satu Roh (ayat 13b).

Beberapa penafsir memperdebatkan apakah baptisan di ayat 13a merujuk pada baptisan air atau baptisan Roh. Jika alternatif pertama benar, frasa en heni pneumati berarti ‘oleh satu Roh’. Jika yang kedua benar, frasa en heni pneumati lebih tepat diterjemahkan ‘di dalam satu Roh’. Pilihan manapun yang benar tetap tidak akan mengubah penekanan Paulus. Yang ditekankan bukan jenis baptisan, tetapi karya Roh Kudus di dalam baptisan tersebut.

Seandainya kita harus memilih di antara dua alternatif di atas, pilihan yang pertama tampaknya lebih tepat. Jemaat Korintus bermasalah dengan baptisan air (lihat pembahasan di bagian selanjutnya). Kemiripan antara 1 Korintus 12:13 dan Galatia 3:26-28 – bahwa baptisan meniadakan tembok pemisah yang berasal dari perbedaan status sosial – memberi dukungan bahwa baptisan yang dimaksud adalah baptisan air. Bukan ritual baptisannya yang menentukan, tetapi komitmen dan dedikasi kepada Kristus di balik keputusan untuk pembaptisan.   

Bagi jemaat Korintus, baptisan tampaknya menjadi salah satu faktor pemicu perpecahan. Paulus secara retoris bertanya: “Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?” (1:13c). Jika baptisan telah menyebabkan perselisihan, Paulus bersyukur bahwa ia hanya membaptis beberapa orang saja di antara jemaat Korintus (1:14-16). Di 12:13a Paulus mengingatkan bahwa yang paling penting bukan siapa hamba Tuhan yang membaptis, melainkan fakta bahwa baptisan itu dilakukan oleh atau di dalam Roh Kudus. Walaupun mereka dibaptis oleh hamba-hamba Tuhan yang berbeda, tetapi semua itu bersumber dari satu Roh.

Yang menarik dari ayat 13a ini adalah pemunculan kontras status sosial – orang Yahudi dan Yunani, budak dan orang merdeka – walaupun isu yang sedang dibahas di pasal 12-14 adalah tentang perbedaan karunia rohani. Paulus tampaknya masih memikirkan perpecahan lain dalam jemaat Korintus yang disebabkan oleh perbedaan status sosial (1:10-3:23; 11:17-34). Baptisan air digambarkan sebagai pembasuh bagi semua halangan sosial-kultural yang ada. Baptisan memberikan dasar kesatuan yang lebih esensial daripada faktor sosial.

Selain dibaptis oleh/dalam satu Roh, semua jemaat Korintus juga memiliki kesamaan yang lain, yaitu dibuat minum dari satu Roh yang sama (ayat 13b). Ungkapan ini agak sulit untuk ditafsirkan. Beberapa penafsir menganggap bahwa poin teologis di ayat 13b sinonim dengan ayat 13a, hanya saja ungkapan yang digunakan agak berlainan. Sebagian besar penafsir tetap mempertahankan perbedaan antara ‘dibaptis oleh satu Roh’ dan ‘dibuat minum dari satu Roh’, namun mereka tetap belum sepakat tentang makna ‘dibuat minum dari satu Roh’. Ada yang mengaitkan ungkapan ini dengan perjamuan kudus, karena sama-sama mengandung unsur ‘minum’, tetapi ketidakadaan unsur ‘makan’ (bdk. 10:3-4; 11:23-27) melemahkan pandangan ini. Lagipula, Alkitab tidak pernah memberikan petunjuk bahwa pada saat perjamuan kudus orang-orang percaya minum dari Roh Kudus.

Usulan yang lebih tepat diberikan oleh beberapa penafsir yang menyamakan ‘dibuat minum dari satu Roh’ dengan ‘baptisan Roh Kudus’. Ada dua alasan utama bagi pandangan ini. Dari sisi kosa kata yang digunakan, kata dasar potizō dalam bentuk aktif bisa berarti ‘memberi minum’ (3:2) atau ‘mengairi’ (3:6, 7, 8). Arti yang kedua ini dalam konteks agrikultural kuno menyiratkan jumlah air yang banyak. Di samping itu, satu-satunya ayat dalam Alkitab yang mengaitkan potizō dan pneuma (‘roh’) adalah Yesaya 29:10 (ayat 10a lit. “TUHAN telah mencurahkan [potizō] ke atas kamu roh [pneuma] tidur nyenyak”, KJV/RSV/ESV, kontra NIV/LAI:TB). Ayat ini juga menyiratkan pencurahan sesuatu dalam jumlah banyak. Dari penjelasan ini terlihat bahwa penggabungan kata potizō dan Roh Kudus di 1 Korintus 12:13b sangat mungkin menyiratkan tindakan pencurahan Roh Kudus yang besar (lihat juga Kis 2:17, walaupun kata Yunani yang dipakai bukan potizō tetapi ekchō). Roh Kudus memberikan begitu banyak karunia roh kepada jemaat Korintus (bdk. 1:5). Perbedaan wujud karya Roh Kudus tidak boleh dimanfaatkan untuk mengaburkan sebuah fakta penting yang sama, yaitu semua berasal dari satu Roh (12:7, 11).

Karya Roh Kudus dalam baptisan air dan baptisan Roh Kudus seperti dijelaskan di atas tidak hanya berlaku untuk sebagian jemaat. Di ayat 13 Paulus benar-benar ingin menegaskan bahwa tidak ada perkecualian dalam hal ini.  Kata ‘semua’ (pantes) muncul dua kali. Pada pemunculan pertama, kata ini disertai dengan pengulangan subyek secara eksplisit (hēmeis pantes), seolah-olah Paulus ingin berkata: ‘kita, kita semua…’. Di samping itu, kata ‘satu’ juga muncul tiga kali sebagai penekanan: dalam satu Roh (en heni pneumati), menjadi satu tubuh (eis hen sōma), dan dari satu Roh (hen pneuma). Di tengah beragam perpecahan yang sedang dihadapi jemaat Korintus, penegasan semacam ini memang sangat diperlukan.

Keragaman dalam satu tubuh (ayat 14)

Kesatuan di dalam Roh Kudus (ayat 13) tidak meniadakan keunikan masing-masing jemaat. Kesatuan bukan keseragaman. Solidaritas tidak identik dengan kesamaan. Masing-masing anggota tetap mempertahankan keunikan masing-masing. Tidak ada satu tubuh yang terdiri dari sekian banyak anggota yang sama. Sebagai contoh, kumpulan ribuan mata tidak akan membentuk sebuah tubuh. Begitu pula, koleksi ratusan kaki dan tangan tidak mungkin membangun sebuah tubuh. Tubuh membutuhkan keragaman. Keseragaman justru tidak membentuk sebuah tubuh.

Poin di atas menerangkan mengapa Paulus memilih metafora tubuh manusia untuk menyikapi perselisihan dalam jemaat. Metafora tubuh manusia mampu menekankan keterkaitan organis dari setiap bagian, sebagaimana akan diuraikan oleh Paulus di ayat-ayat selanjutnya. Yang dibutuhkan bukan hanya keragaman, tetapi juga keterkaitan di antara mereka. Tubuh bukan hanya koleksi bagian-bagian yang berbeda. Jika semua itu tidak disatukan secara tepat, maka kumpulan bagian itu tidak bisa disebut sebagai tubuh. Jadi, poin yang ditekankan adalah keragaman dan keterkaitan. Jika salah satu poin ini tidak ada, maka tidak akan ada yang disebut ‘tubuh’. Demikian pula dengan jemaat sebagai tubuh Kristus.

Para penafsir berbeda pendapat tentang sumber dari metafora yang digunakan Paulus. Dalam tulisan-tulisan Yunani kuno ditemukan metafora yang sama dan digunakan dalam konteks yang sama. Sebagai contoh, para pemimpin politik Romawi menghimbau rakyatnya untuk bersatu dan mendukung pemerintah dengan gambaran bahwa sebuah negara ibarat tubuh manusia. Kita tidak dapat memastikan sejauh mana Paulus dipengaruhi oleh praktek-praktek politis seperti itu, namun kita dapat menemukan perbedaan esensial di antara keduanya: para pemimpin menggunakan metafora tubuh untuk kepentingan mereka yang berada pada status sosial yang tinggi, sedangkan Paulus justru menjaga keseimbangan di antara status yang berbeda (12:23-24).

Beberapa penafsir mencoba menghubungkan metafora ini dengan tradisi penyembahan kepada Asklepius, dewa kesembuhan Yunani-Romawi kuno, yang marak di Kota Korintus. Dalam ritual kepada dewa ini orang-orang biasanya meletakkan imitasi dari bagian-bagian tubuh tertentu yang sakit di dekat patung atau di kuil Asklepius. Jika ini yang dipikirkan oleh Paulus, maka poin yang ingin disampaikan kepada jemaat Korintus adalah ‘sekalipun bagian-bagian tubuh itu beragam, tetapi mati, karena tidak saling terkait satu dengan yang lainnya’. Walaupun ide ini menarik, kita tidak dapat memastikan seberapa banyak pembaca surat Korintus yang akan langsung mengasosiasikan metafora ini dengan penyembahan kepada Asklepius. Selain itu, pemunculan metafora tubuh dalam tulisan Paulus yang lain menimbulkan pertanyaan sejauh mana penyembahan kepada Asklepius masih relevan.

Berdasarkan keragaman cara yang dipakai Paulus dalam menggunakan metafora tubuh (1 Kor 6:15-17; Ef 4:15-16; 5:28-32) kita sebaiknya tidak memikirkan sumber tertentu yang spesifik. Paulus sangat mungkin menggunakan metafora tubuh karena mudah untuk dipahami dan mampu menyampaikan beberapa poin penting yang tidak tersampaikan melalui metafora lain. Pendeknya, kita lebih baik memfokuskan diri pada poin metafora, bukan sumber dari metafora itu. Soli Deo Gloria.

 

 

Yakub Tri Handoko