Sebelumnya Paulus sudah menjelaskan persoalan yang terjadi (ayat 17-21), menegur kelompok kaya (ayat 22), dan mengingatkan mereka tentang tradisi perjamuan Tuhan yang mengedepankan kebersamaan dan kesatuan (ayat 23-26). Kini dia memberikan beberapa nasihat praktis tentang pelaksanaan perjamuan kudus yang benar (ayat 28-29, 31, 33-34). Tidak lupa ia juga menegaskan keseriusan dosa (ayat 27) dan hukuman Allah atas dosa itu (ayat 30).
Dosa serius dalam perjamuan kudus yang salah (ayat 27)
Teks ini lebih menyoroti tentang ketidaklayakan dalam cara pelaksanaan, bukan pada kerohanian orang yang melakukan, walaupun dua hal ini tentu saja sangat berhubungan. Kata “layak” (anaxios) yang muncul di tulisan Paulus yang lain menyiratkan ide tentang kesesuaian dengan natur atau karakteristik dari sesuatu (Ef 4:1; Flp 1:27; Kol 1:10; 1 Tes 2:12). Hal ini memberikan petunjuk bahwa ketidaklayakan cara pelaksanaan perjamuan kudus di Korintus berarti ketidaksesuaian dengan makna di dalamnya. Sikap mementingkan diri sendiri yang tercermin dalam tindakan mereka tidak sesuai dengan esensi perjamuan Tuhan yang menekankan kebersamaan dan kesatuan.
Ketidaksesuian tersebut merupakan dosa. Kata “berdosa” (enochos) merupakan istilah umum dalam bidang hukum, sehingga lebih tepat diterjemahkan dengan “bersalah” (guilty). Mengapa Paulus memilih kata ini? Selain sesuai dengan nuansa legal yang kental di ayat 27-34 (pengulangan kata “hukum”), kata ini juga dimaksudkan sebagai sebuah ironi. Dengan mengabaikan makna perjamuan kudus (yang didasarkan pada karya penebusan Kristus di kayu salib), sama bersalahnya dengan para penyalib yang menganggap Yesus sebagai orang yang bersalah (2:8; Mar 14:64).
Ujian kelayakan (ayat 28-29)
Berdasarkan keseriusan dosa di atas, Paulus selanjutnya menerangkan dua ujian kelayakan yang perlu diketahui dan dipenuhi oleh jemaat Korintus. Pertama, menguji diri (ayat 28). Posisi kata “menguji” (dokimazō) di awal kalimat menyiratkan penekanan. Kata kerja ini lebih berarti “membuktikan” daripada sekadar “menguji”. Pengujian hanyalah sarana untuk membuktikan sesuatu. Sesuai dengan konteks yang ada, yang perlu dibuktikan di sini adalah ketepatan konsep dan motivasi. Apakah mereka melakukan perjamuan Tuhan dengan konsep dan alasan yang benar?
Kedua, mengakui tubuh Tuhan (ayat 29). Penggunaan ungkapan ini sangat penting untuk diperhatikan. Paulus tidak menyebutkan darah. Apakah hal ini hanya penghematan kata belaka (Paulus memaksudkan “tubuh dan darah” tetapi hanya menyebutkan yang pertama sebagai perwakilan untuk semua) atau Paulus memang memiliki maksud tertentu? Pengamatan lain yang menarik adalah ketiadaan kata “Tuhan” setelah kata “tubuh” (KJV/ASV/NASB/RSV “the body”, contra NIV “the body of the Lord”). Dengan kata lain, Paulus sedang membicarakan tentang “tubuh itu”. Pertanyaannya, apakah yang ia sedang maksudkan dengan istilah ini?
Banyak penafsir meyakini bahwa “tubuh itu” bukan merujuk pada tubuh Yesus di kayu salib, tetapi pada gereja sebagai tubuh-Nya. Ada beberapa alasan yang mendukung ke arah penafsiran seperti ini. Pada waktu membicarakan tentang perjamuan Tuhan di pasal sebelumnya, Paulus juga menyinggung “tubuh/roti dan darah/anggur”, namun ia segera memfokuskan pada “tubuh/roti” untuk menekankan kesatuan gereja sebagai tubuh Kristus (10:16-17). Di pasal sesudahnya pun Paulus juga mengajarkan konsep gereja sebagai tubuh Kristus (12:26-27). Jika benar demikian, “mengakui tubuh itu” berarti “mengakui gereja sebagai tubuh Kristus”. Apa yang dilakukan sebagian jemaat di Korintus selama perjamuan kudus telah memecahkan tubuh Kristus, padahal untuk menyatukan tubuh ini (gereja) Kristus sendiri telah memecahkan tubuh-Nya yang lain (tubuh di kayu salib).
Mengikuti perjamuan kudus secara keliru akan mendatangkan hukuman. Dalam teks asli frase “mendatangkan hukuman” secara hurufiah berarti “makan dan minum hukuman”. Pilihan ungkapan ini sangat ironis. Sebagaimana jemaat kaya telah makan dan minum secara rakus sampai kenyang dan mabuk, demikian pula mereka akan makan dan minum hukuman Allah dengan puas!
Hukuman yang serius (ayat 30)
Ayat ini menjelaskan bentuk hukuman yang diterima: lemah, sakit, dan mati. Sebagian penafsir memahami hukuman ini bukan secara jasmani. Ini berbicara tentang hukuman rohani berupa kelemahan, kesakitan, dan kematian rohani. Penafsiran semacam ini sebaiknya ditolak karena sulit membedakan perbedaan antara ketiganya jika dikaitkan dengan kerohanian seseorang. Semua orang di luar Kristus sudah mati di dalam dosa-dosa mereka (Ef 2:1), tidak perlu melewati proses lemah – sakit – mati.
Sebagian sarjana yang lain menafsirkan tiga hal ini secara jasmani, tetapi menafsirkannya bukan sebagai hukuman, tetapi akibat. Apa yang dilakukan jemaat yang kaya menyebabkan jemaat yang kurang mampu lapar, mengalami kelemahan tubuh, sakit, dan bahkan ada yang meninggal. Walaupun penafsiran ini menarik dan kreatif, namun tidak sesuai dengan nuansa penghukuman di ayat 27-34. Lagipula, ucapan Paulus tentang tujuan dari hukuman Allah di ayat 32 tampaknya merujuk balik pada hukuman serius di ayat 30.
Kita sebaiknya memahami ayat 30 sebagai hukuman dalam arti yang jasmani. Kata “tidak sedikit” (hikanoi) lebih tepat diterjemahkan “cukup” (2 Kor 2:6). Jika angka kematian saja sudah cukup (besar), apalagi jumlah yang lemah dan sakit. Dari cara Paulus melihat hal ini sebagai hukuman atas dosa pelaksanaan perjamuan kudus yang salah, kita menduga bahwa jumlah yang terhukum memang cukup signifikan dan hanya terjadi pada orang-orang kaya.
Walaupun sekilas hukuman di atas terkesan sangat serius, hal itu bukan hal yang asing. Sebelumnya Paulus sudah mengingatkan mereka bagaimana Allah telah membinasakan orang-orang Israel di padang gurun sekalipun mereka sudah diberi makanan dan minuman rohani yang sama dengan mereka yang tidak dihukum (10:4-5). Jika kesalahan dalam perjamuan kudus mendatangkan hukuman, ketaatan dalam melakukannya juga pasti mendatangkan berkat.
Nasihat praktis (ayat 31-34)
Bagaimana mempraktikkan ujian kelayakan di ayat 28-29 dan menghindari hukuman di ayat 30? Paulus memberikan tiga nasihat praktis. Pertama, kita harus menguji diri sendiri (ayat 31). Walaupun LAI:TB memakai terjemahan yang sama di ayat 27 dan 31 (“menguji”), namun dalam teks Yunani kata kerja yang digunakan berlainan. Kalau di ayat 27 arti yang disiratkan lebih mengarah pada “membuktikan” (dokimazō), di ayat 31 lebih pada “menilai” atau “menghakimi” (diakrinomai). Penggunaan keterangan waktu imperfek menunjukkan sebuah konsistensi. Terus-menerus menghakimi diri kita akan menyelamatkan kita dari hukuman Allah.
Sebelum melanjutkan ke nasihat praktis yang kedua di ayat 33, Paulus menyisipkan pendapatnya tentang hukuman Allah (ayat 32). Hal ini mungkin dilakukan karena dia tidak ingin ucapannya di ayat 30 disalahmengerti seolah-olah Allah adalah kejam. Hukuman Allah tidak seburuk yang terlihat, bahkan hal itu justru mengungkapkan kasih-Nya pada kita. Pada waktu Allah menghukum kita sekarang, maka itu merupakan sebuah disiplin rohani yang bermanfaat untuk mendewasakan kita. Hukuman pada masa kini juga dimaksudkan supaya kita tidak menerima hukuman yang lebih serius di akhir jaman (kita tidak dihakimi bersama dunia). Pendeknya, sekalipun kita mengalami ketidaknyamanan secara jasmani, itu untuk kebaikan rohani kita. Sama seperti ungkapan Paulus di bagian sebelumnya: “marilah kita serahkan orang itu kepada iblis supaya binasa tubuhnya tetapi rohnya diselamatkan pada hari Tuhan” (5:5).
Nasihat praktis yang kedua adalah menantikan orang lain (ayat 33). Para penafsir berdebat tentang arti kata ekdechomai di ayat ini. Dari sisi arti kata, ekdechomai bisa merujuk pada tindakan menanti (Kis 17:16; 1 Kor 16:11) atau menyambut (sumber-sumber kuno di luar Alkitab). Jika dikaitkan dengan konteks 11:17-34 secara sekilas, kata ini juga bisa ditafsirkan untuk keduanya.
Bagaimanapun, pilihan yang lebih tepat tampaknya adalah “menyambut”. Pemunculan kata ekdechomai secara spesifik pada konteks jamuan makan merujuk pada tindakan menyambut tamu. Selain itu, persoalan di jemaat Korintus bukanlah tentang ketidakmauan sebagian jemaat untuk menunggu orang lain yang belum datang. Isu utama bukan keterlambatan, tetapi ketidak-mauan untuk berbagi. Jika ini yang terjadi, “menanti” belaka tidak akan menjadi solusi. Mereka harus belajar menyambut dan memperlakukan orang lain dengan baik dan terhormat.
Nasihat yang terakhir adalah makan di rumah (ayat 34a). Terjemahan LAI:TB “makan dahulu di rumah” menimbulkan kesan yang keliru bahwa inti persoalan terletak pada ketidaksabaran dalam menahan lapar dan menantikan orang lain. Dalam teks Yunani tidak ada kata “dahulu”. Paulus bukan sedang membicarakan tentang waktu makan, tetapi jenis acara/situasi makan.
Kita tidak boleh manafsirkan ayat ini seolah-olah Paulus memperbolehkan sebuah dosa (kerakusan) asalkan hal itu dilakukan di rumah sendiri, bukan di gereja. Inti pembahasan terletak pada perjamuan Tuhan di gereja. Makna di dalam acara makan semacam ini adalah kebersamaan dan kesatuan. Jika ada jemaat yang hanya ingin memuaskan diri sendiri, orang itu tidak perlu datang ke gereja untuk menikmati perjamuan Tuhan. Ia hanya perlu tinggal di rumahnya dan mengenyangkan diri sendiri di sana.
Kita juga dilarang memahami ayat ini seolah-olah kita dapat melakukan perjamuan Tuhan sendiri di rumah. Sebagai sudah ditekankan berkali-kali, tanpa unsur kebersamaan dan kesatuan dengan orang percaya yang lain, sakramen perjamuan kudus tidak akan ada artinya. Itu akan menjadi acara makan-makan yang biasa.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa maksud Paulus di ayat 34a adalah memerintahkan jemaat untuk memiliki motivasi berbagi sejak awal kedatangan mereka ke tempat pertemuan. Jika motivasi semacam ini tidak ada, mereka lebih baik makan sendiri di rumah: tidak perlu repot-repot datang, tidak menghina jemaat lain yang tidak memiliki makanan, dan tidak menerima hukuman serius dari Allah.
Aplikasi
Apa yang disampaikan Paulus di bagian ini sangat mendesak untuk diperhatikan dan ditaati. Sebagian gereja memiliki konsep dan praktek perjamuan kudus yang tidak Alkitabiah. Roti dan anggur dianggap sebagai jimat yang bisa disimpan dan digunakan kapan saja mereka mau untuk mendapatkan kesembuhan. Lebih parah lagi, pada beberapa kesempatan ketika roti dan anggur itu dibagikan, beberapa orang dengan justru saling berebut dan tidak memperhatikan orang-orang lain. Ini adalah dosa yang serius dan menuntut pertobatan segera. Soli Deo Gloria.