Diutus Ke Tempat Yang Janggal (Kisah Rasul 8:26-40)

Posted on 25/08/2019 | In Teaching | Leave a comment

Pelayanan misi seringkali menjadi anak tiri. Nilai pentingnya dengan sigap diamini, namun tanpa apresiasi dan partisipasi. Banyak orang hanya antusias memberikan berbagai jargon hebat untuk pelayanan misi, tetapi mereka sendiri tidak mau terlibat.

Pelayanan misi memang tidak menyenangkan. Jauh dari kenyamanan. Selalu dalam pergerakan. Perubahan bisa muncul dalam sekelebat pandangan. Pimpinan Tuhan kadangkala mengagetkan. Kita bisa saja diutus ke suatu tempat yang janggal. Yang paling dibutuhkan adalah ketundukan terhadap kehendak Tuhan. Dia tidak pernah salah menempatkan orang di suatu ladang.

Itulah yang dialami oleh Filipus. Itulah yang akan kita pelajari hari ini.

 

Panggilan yang janggal

Allah sudah memiliki rencana besar bagi dunia. Injil akan disampaikan dari Yerusalem, Yudea dan Samaria, bahkan sampai ujung bumi (1:8). Untuk mencapai tujuan ini, para murid sudah dilengkapi dengan kuasa supaya mereka bisa menjadi saksi-saksi Injil yang efektif (1:8).

Apakah rencana dan kuasa yang besar dari Allah yang besar ini membuat pelayanan misi menjadi gampang? Tidak juga. Allah seringkali tidak menjelaskan rencana detilnya secara gamblang di awal perjalanan. Dia tidak menerangkan kapan, di mana, dan bagaimana rencana ilahi akan dilaksanakan.

Injil keluar dari Yerusalem ke Yudea dan Samaria melalui penganiayaan (8:1). Kini tinggal menunggu Injil sampai ke ujung bumi. Allah sedang mengarah ke sana.

Pertobatan sida-sida dari Etiopia menjadi cicipan awal bahwa jalan ke sana sangat terbuka. Pada zaman itu ujung bumi kadangkala dikaitkan dengan kota Roma atau negara Etiopia. Yang jelas, Etiopia saat itu berada di luar wilayah kekaisaran Romawi, sehingga patut ditempatkan sebagai perwakilan dari “ujung bumi”.

Apa yang dilakukan oleh Filipus menggenapi rencana besar Allah. Injil harus dibawa dari Yerusalem ke ujung bumi melalui Samaria dan Yudea. Menariknya, semua ini dilakukan melalui Filipus. Dia termasuk salah satu diaken di Yerusalem (6:5). Dia menyingkir ke Samaria dan memberitakan Injil di sana (8:5-13). Sekarang dia harus menuju ke propinsi Yudea (8:26) untuk menemui seorang sida-sida dari ujung bumi (8:27).

Sekilas apa yang terjadi dalam dan melalui Filipus terlihat sangat mudah. Rencana Allah digenapi secara sempurna. Semua berjalan sesuai rencana.

Walaupun demikian, jika dicermati lagi, proses ke arah sana tidak begitu gampang. Panggilan Allah tampak agak janggal. Memang tidak gagal, tetapi tetap terlihat janggal.

Kejanggalan yang paling kentara adalah meninggalkan sebuah pelayanan yang sangat sukses. Sebelum diutus menemui sida-sida dari Etiopia ini, Filipus memberitakan Injil di kota Samaria. Lawatan Allah terjadi secara luar biasa. Banyak mujizat terjadi (8:7). Banyak penduduk Samaria yang menerima Injil dengan segenap hati dan bersukacita karena Injil (8:6, 8). Bahkan keajaiban ini sangat memukau Simon, mantan penyihir di kota itu (8:9-13). Dengan kedatangan Petrus dan Yohanes ke Samaria, berkat ilahi atas penduduk Samaria menjadi lebih lengkap (8:14-25). Apa lagi yang kurang dari pelayanan seperti ini?

Ternyata di tengah keberhasilan dan kemapanan, Allah memberikan panggilan. Mengagetkan? Mungkin  saja. Namun, bagi mereka yang terbiasa memberi diri di ladang misi, hal semacam itu menjadi sebuah kewajaran. Allah kerap mengguncang sebuah kemapanan demi penjangkauan yang lebih besar. Gereja di Antiokhia sangat berkembang melalui pelayanan Barnabas dan Paulus (11:22-26), tetapi Allah justru memanggil keduanya untuk meninggalkan kemapanan tersebut (13:1-3).

Kejanggalan lain terlihat dari tempat yang dituju. Allah tidak memanggil Filipus ke suatu kota. Dia diutus ke suatu jalan. Jalan ini disebut “jalan yang sunyi”. Dalam teks Yunani, kata “tempat yang sunyi” (erÄ“mos) sebaiknya diterjemahkan “padang gurun” (semua versi Inggris). Jadi, bukan hanya sunyi, tetapi sangat gersang. Jika frasa “ke sebelah selatan” (kata mesÄ“mbrian) diterjemahkan “di siang hari” (bdk. 22:6 “waktu tengah hari” dan 24x pemunculan frasa ini di Septuaginta/LXX), kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kesukaran yang ada dalam panggilan ini.

Apakah Allah tidak salah memanggil? Mengapa dari kota besar ke jalan yang gersang? Apa manfaat panggilan ini bagi pelebaran pekerjaan Allah di muka bumi? Bukankah lebih efektif apabila Filipus dipanggil ke kota lain yang jauh lebih besar? Semua ini adalah pemikiran dan pertimbangan manusiawi. Bagaimanapun, Allah memiliki rencana-Nya sendiri.

Ketidakjelasan panggilan juga turut menambahkan kejanggalan dalam panggilan Tuhan. Ketika Allah memanggil Filipus, panggilan itu memang jelas. Tuhan mengutus salah satu malaikat-Nya untuk memberitahu Filipus. Masalahnya, malaikat itu tidak menginformasikan siapa yang akan ditemui atau apa yang harus dilakukan oleh Filipus di jalan yang gersang tersebut. Menariknya, Alkitab mencatat: “Lalu berangkatlah Filipus” (8:27a).

Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa ketaatan harus mendahului kejelasan. Satu-satunya kejelasan yang diperlukan adalah “jelas dipanggil oleh Tuhan”. Hanya itu yang diperlukan. Selebihnya adalah drama perjalanan bersama dengan Tuhan. Menegangkan, tetapi selalu membawa kemenangan. Membingungkan, tetapi tidak pernah ditinggalkan sendirian.

 

Respons terhadap panggilan yang janggal

Bagi kita yang sudah mengetahui hasil perjalanan Filipus melalui Alkitab, kisah ini mungkin terlihat biasa-biasa saja. Dari hasil kita menilai proses. Namun, keuntungan ini tidak dimiliki oleh Filipus. Dia tidak tahu sebanyak kita tahu. Jangankan hasilnya, prosesnya saja dia benar-benar perlu meraba-raba. Situasi ini jelas tidak menyenangkan.

Apa yang seharusnya kita lakukan seandainya kita mendapatkan panggilan yang janggal seperti itu dari Tuhan? Ada dua hal yang sangat diharapkan: ketaatan dan kepekaan.

Ketaatan Filipus benar-benar diuji dalam kisah ini. Cara Allah mengutus dia ke jalur Gaza (8:26) dan Asdod (8:39-40) terlihat berbeda. Untuk ke Asdod, Filipus tampaknya tidak diberi pilihan. Dia tiba-tiba dilarikan ke sana dalam sekejap secara supranatural. Terlepas dari bagaimana kita menafsirkan teks ini sebagai mujizat teleportasi (secara tubuh dipindah ke tempat lain) atau ekstasi (tanpa sadar dia langsung berjalan cepat ke arah yang baru), kehendak bebas Filipus tampaknya tidak diberi ruang gerak yang lebar. Tiba-tiba saja dia dipindahkan ke Asdod, dan dari sana menuju ke kota besar Kaisarea. Pada saat diutus ke jalan gersang di jalur Gaza, Filipus terlihat lebih diberi kebebasan. Tidak ada “paksaan”. Malaikat Tuhan hanya sekadar memberikan perintah.

Cara manapun yang dipakai oleh Tuhan, Filipus tetap taat. Dia rela meninggalkan pelayanan yang sukses di Samaria. Dia rela pergi menuju ke tempat yang gersang bahkan tanpa tahu apa yang harus dilakukan atau siapa yang harus ditemui di sana. Bagaimana jika tidak ada satu orangpun yang melalui jalan tersebut? Bagaimana jika yang dia temui adalah orang biasa saja? Bagaimana jika yang ditemui tersebut menolak berita Injil yang dia bawa? Secara manusiawi, tetap tinggal di Samaria jelas merupakan pilihan yang tepat. Namun, Filipus menempatkan ketaatan di atas kejelasan dan kemapanan. Dia percaya bahwa Tuhan pasti mempunyai rencana yang lebih baik.

Selain ketaatan, Filipus juga menunjukkan kepekaan. Peka terhadap pimpinan Roh Kudus. Filipus tidak tahu apakah ada orang yang akan melintasi jalur Gaza tersebut. Kalaupun ada yang melintasi, dia juga tidak tahu jumlah mereka dan kepada siapa dia akan diutus. Ini adalah sebuah ketaatan yang memerlukan kepekaan.

Ketika ada kereta karavan lewat, dia mendengar seseorang sedang membaca kitab suci (8:28). Ini tidak mengherankan. Dalam Yudaisme teks kitab suci memang biasanya dibaca sambil bersuara. Ketika hal itu terjadi, Roh Kudus memerintahkan Filipus untuk mendekati kereta tersebut (8:29). Dari situ Filipus selanjutnya tahu apa yang harus dilakukan. Diapun membantu menafsirkan teks yang sedang dibaca (8:34) dan memberitakan Injil Yesus Kristus (8:35).

Mengasah kepekaan terhadap pimpinan Roh adalah penting, bahkan sangat penting. Para rasul juga beberapa kali diberi pimpinan yang jelas oleh Roh Kudus (13:4). Beberapa kali mereka menemui bahwa pimpinan Roh berbeda dengan rencana mereka sendiri (16:6-10). Hal ini sangat wajar dalam pelayanan. Pimpinan Tuhan tidak meniadakan persiapan dan perencanaan yang matang. Bagaimanapun, semua ini tidak boleh menggantikan kepekaan terhadap pimpinan Tuhan yang supranatural.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita siap berkata “ya” untuk panggilan Allah bagi kita? Siapakah kita untuk tetap mengikuti Dia walaupun panggilan-Nya terlihat janggal dan membingungkan? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko