Ada banyak gereja. Ada banyak pekerjaan yang dilakukan oleh gereja-gereja. Namun, apakah gereja sudah memberikan dampak yang banyak bagi dunia?
Pertanyaan di atas layak untuk direnungkan. Sebagian gereja yang terlihat bergairah ternyata tanpa arah. Sebagian lagi dilumpuhkan oleh kenyamanan. Rutinitas dijadikan ukuran kemapanan. Berbagai program dijadikan tuan. Tidak heran gereja-gereja kurang berkiprah di dalam dunia.
Situasi ini sangat memprihatinkan. Gereja dipanggil bukan untuk menghakimi dunia. Bukan untuk melarikan diri dari dunia. Bukan pula untuk menjadi sama dengan dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi saksi di tengah dunia. Untuk mengubah dunia. Untuk itu gereja membutuhkan kuasa. Kuasa dari surga.
Halangan untuk menjadi saksi bagi dunia (ayat 6-7)
Keengganan gereja untuk menjangkau dunia disebabkan oleh banyak faktor. Melalui teks hari ini kita akan mencermati dua alasan mengapa misi seringkali menjadi anak tiri. Hanya dikumandangkan tetapi tidak dilakukan. Dikhotbahkan, tetapi sang pengkhotbah sendiri kurang mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang.
Penghalang pertama adalah teologi yang keliru. Pertanyaan murid-murid di bagian ini merupakan bukti kesalahpahaman mereka terhadap ajaran Tuhan Yesus. Secara khusus, mereka salah mengerti konsep kerajaan Allah.
Sama seperti orang Yahudi pada umumnya, mereka mendambakan kedatangan kerajaan mesianis yang supranatural di muka bumi. Pengharapan ini sekilas selaras dengan inti ajaran Tuhan Yesus, terutama sejak kebangkitan-Nya dari antara orang-orang mati. Dia berkali berkali-kali memberitakan tentang kerajaan Allah (1:3). Ditambah dengan janji tentang kedatangan Roh Kudus (1:4-5), murid-murid langsung menangkap bahwa zaman keemasan di bawah pemerintahan Mesias semakin mendekat.
Dengan pemahaman seperti ini mereka bertanya kepada Tuhan Yesus: “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (1:6). Dalam pikiran mereka, kerajaan Allah (1:3) identik dengan kerajaan Israel (1:6). Kita tidak bisa memastikan bagaimana murid-murid memahami pemulihan kerajaan Israel di sini. Apakah mereka memahami pengharapan mesianis di Perjanjian Lama (Yes. 24:23; Dan. 2:44; 7:13-14; Ob. 21; Zak. 14:9) dengan benar? Ataukah mereka memahami pemulihan ini secara politis (sama seperti mayoritas orang Yahudi lainnya)? Sukar untuk ditentukan. Pada masa itu memang berkembang begitu banyak jenis pengharapan mesianis.
Yang jelas, kerajaan yang sedang dibicarakan memang bermula dari Israel (1:8 “dari Yerusalem, Yudea dan Samaria, sampai ujung bumi”). Walaupun berkaitan dengan Israel, namun kerajaan Allah tidak identik dengan kerajaan Israel. Target pemulihan Allah bersifat global. Pemulihan Israel hanyalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan ultimat: pemulihan seluruh bumi. Israel bukan tuan atas bangsa-bangsa lain. Umat Israel dipanggil sebagai komunitas yang melayani. Mereka adalah saksi-saksi bagi TUHAN (Yes. 43:10-12; 44:8). Mereka dipulihkan untuk memulihkan (Yes. 49:6 “Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi”).
Jika murid-murid Tuhan Yesus mengadopsi pandangan populer pada waktu itu, mereka pasti menempatkan Israel sebagai tujuan ultimat. Yang dipentingkan adalah pemulihan Israel, bukan tujuan di balik pemulihan itu. Bisa jadi mereka bahkan sedang memikirkan sebuah kerajaan secara politis. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengingatkan mereka pada sebuah tujuan yang lebih global.
Berbagai kesalahan teologis juga bisa menghambat pekabaran Injil. Sebagai contoh, ada hamba Tuhan yang menafsirkan “dari Yerusalem, Yudes dan Samaria, bahkan sampai ujung bumi” (1:8) sebagai berikut: “Yerusalem adalah keluarga kita sendiri. Sebelum semua anggota keluarga bertobat, kita jangan memikirkan Yudea atau Samaria atau ujung bumi”. Akibatnya, penginjilan ke luar tidak dilakukan. Tuhan Yesus saja terus memberitakan Injil walaupun saudara-saudara-Nya belum percaya kepada-Nya (Mrk. 3:21; Yoh. 7:5).
Bahkan sebuah teologi yang benar jika terlalu ditekankan secara berlebihan bisa menjadi penghalang. Sejarah misi mencatat beberapa gereja Reformed yang berlebihan memahami doktrin pemilihan sejak kekal (predestinasi) sehingga mereka tidak mau melakukan pemberitaan Injil. Mereka merasa bahwa rencana kekal itu akan tetap terlaksana sekalipun tanpa mereka.
Penghalang kedua adalah fokus pada hal yang tidak penting. Dari pertanyaan murid-murid di ayat 6, kita bisa menangkap apa yang mereka anggap penting. Dalam terjemahan LAI:TB yang ditekankan dalam pertanyaan tersebut adalah kesediaan Tuhan Yesus (“Maukah Engkau…?”). Kesan ini sedikit melenceng. Dalam teks Yunani, penekanan terletak pada waktu pemulihan, bukan kesediaan Tuhan Yesus untuk memulihkan. Secara hurufiah, ayat 6 berbunyi: “Tuhan, apakah pada masa ini Engkau memulihkan kerajaan Israel?”. Tidak heran, jawaban Tuhan Yesus di ayat selanjutnya juga mengarah pada masalah waktu (1:7 “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya”).
Frasa “yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya” merupakan sebuah teguran bagi murid-murid. Mereka terlalu mengurusi apa yang bukan menjadi urusan mereka. Ada hal-hal tertentu yang menjadi kuasa (lit. “otoritas”) Allah. Kita tidak usah mencampuri hal tersebut. Berfokus pada urusan pihak lain akan membuat seseorang mengabaikan urusannya sendiri.
Dalam upaya mobilisasi misi di berbagai gereja kesalahan ini sering menjadi persoalan. Sedikitnya jumlah petobat membuat sebagian orang merasa pekerjaan misi sebagai usaha yang sia-sia. Terlalu banyak biaya dan usaha, tetapi hanya mendapat satu atau dua orang jiwa. Mereka merasa tidak sepadan. Pikiran seperti ini merupakan musuh besar dalam upaya penjangkauan. Gereja telah berfokus pada hal-hal yang bukan urusannya. Bukankah pertobatan adalah urusan Allah? Bukankah tugas kita hanyalah memberitakan kebenaran dan membagikan kasih?
Dipanggil menjadi saksi bagi dunia (ayat 8)
Berbeda dengan murid-murid-Nya, Tuhan Yesus lebih mempedulikan bagaimana daripada kapan. Proses daripada hasil. Usaha daripada waktu. Dia memikirkan bagaimana rencana ilahi dapat direalisasi. Tuhan Yesus memanggil para pengikut-Nya untuk menjadi saksi bagi dunia. Itulah yang paling penting. Itulah bagian kita.
Pertama, dunia akan dipulihkan melalui kesaksian. Bukan melalui paksaan, apalagi peperangan. Tuhan Yesus berkata: “Kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku”. Tugas kita adalah bersaksi, bukan memerangi. Sekadar menceritakan pengalaman bersama Tuhan. Berbagi transformasi diri, bukan Kristenisasi.
Perkembangan gereja mula-mula menunjukkan kekuatan tak terelakkan dari sebuah kesaksian. Di tengah tekanan yang berat, para rasul dengan berani berkata: “Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar” (4:20). Melihat kehidupan orang-orang Kristen awal, banyak orang menyukai mereka dan akhirnya dimenangkan oleh Tuhan (2:47).
Kedua, rencana ilahi akan terjadi secara bertahap. Jangkauan pelayanan memang global (“ujung bumi”), tetapi Allah sudah menyiapkan sebuah proses menuju ke sana. One step at a time, only one step at a time.
Ketika murid-murid mendengarkan pergerakan Injil dari Yerusalem ke ujung bumi, mereka juga belum mengetahui secara persis bagaimana proses itu akan terjadi. Ada banyak kejutan yang Tuhan sudah siapkan. Perkembangan jumlah petobat yang besar di Yerusalem membuat para pemimpin Yahudi gerah. Tekanan yang mereka lakukan semakin serius. Stefanus dirajam dengan batu. Melalui peristiwa ini, Injil justru tersebar ke berbagai tempat (8:1). Filipus membawa Injil ke Samaria (8:2-13). Sebagian tersebar ke perantauan dan menjadi para pekabar Injil yang efektif di sana (11:19-21). Bahkan Injil dibawa ke ujung bumi (yaitu kota Roma) dengan cara yang tidak terduga juga. Paulus ditangkap di Yerusalem (pasal 21), akhirnya sampai ke Roma (pasal 28). Allah sudah menyiapkan rancangan yang matang. Kita tinggal menjalaninya saja.
Ketiga, Allah sendiri akan memerlengkapi. Sebelum menjadi saksi, murid-murid perlu mengalami sesuatu dulu. Allah bekerja di dalam mereka sebelum Dia bekerja melalui mereka. Mereka harus menantikan kepenuhan Roh Kudus dengan sabar (1:4-5). Tidak perlu buru-buru meninggalkan Yerusalem. Mereka memerlukan kuasa supaya menjadi saksi-saksi yang efektif (1:8).
Poin ini cukup menarik untuk diperhatikan. Keadaan murid-murid pada waktu itu sebenarnya baik-baik saja. Mereka tidak lemah atau putus asa. Berkali-kali mereka berjumpa dengan Yesus yang bangkit (1:3b). Mengapa Tuhan Yesus tidak langsung mengutus mereka saja ke tengah-tengah dunia?
Mereka membutuhkan kuasa. Kuasa dari Roh Kudus. Keberanian diri tidaklah memadai. Pengalaman juga tidak dapat diandalkan. Pengetahuan seringkali mengecewakan. Melalui Roh Kudus mereka melakukan hal-hal yang ajaib (2:4, 43). Roh Kudus memberi mereka keberanian (4:31), bahkan ketika diperhadapkan pada kematian (7:55).
Apa yang selama ini menghalangi Anda untuk memberikan diri bagi dunia? Sudah siapkan Anda menjalani prosesnya bersama Allah? Ingatlah, Allah yang memberi panggilan misi adalah Allah yang akan melengkapi. Soli Deo Gloria.