Dikasihi Untuk Mengasihi (Kol. 3:12-14)

Posted on 21/07/2019 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Dikasihi-Untuk-Mengasihi-Kolose-3-12-14.jpg Dikasihi Untuk Mengasihi (Kol. 3:12-14)

Semua orang menghargai dan membutuhkan kasih. Menariknya tidak banyak orang tahu bagaimana mendapatkan maupun menunjukkannya. Tidak heran, dunia kita menjadi tempat yang kurang bersahabat untuk kasih. Egoisme, pertikaian dan ketidakpedulian menjadi raja. Yang lebih ironis, semua ini seringkali terjadi di sebah komunitas yang seharusnya paling banyak memancarkan kasih: keluarga dan gereja. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebutuhan orang terhadap kasih tampaknya menjadi semain besar.

Mengapa kita harus mengasihi orang lain, terutama yang menjengkelkan dan melukai kita? Bagaimana seharusnya kita mengasihi mereka? Teks kita hari ini merupakan jawaban bagi dua pertanyaan ini.

Dari sisi sintaks, ada beberapa bagian teks yang posisinya tidak terlalu jelas. Sebagai contoh, dua kata kerja partisip “bersabar” (anechomenoi) dan “mengampuni” (charizomenoi) di ayat 14 dapat dipahami sebagai poin tambahan untuk daftar kebajikan di ayat 13b (jadi ada 7 wujud kasih) maupun poin tersendiri yang terpisah dari daftar itu (jadi ada dua kelompok: 5 + 2). Ketidakjelasan lain berhubungan dengan kasih di ayat 14. Apakah kasih merupakan poin tambahan yang bersifat klimaks atau intisari dari ayat 13b-14?

Berdasarkan pertimbangan tata bahasa dan konteks (lihat pembahasan selanjutnya) ayat 12b dan 13 akan dibedakan (pola 5 + 2). Kelompok pertama (5 kata benda) merupakan wujud yang bersifat personal (ada dalam diri masing-masing orang), sedangkan kelompok kedua (2 kata kerja partisip) bersifat komunal (ada dalam sebuah komunitas). Kasih di ayat 14 juga dipahami sebagai intisari (bukan sekadar tambahan yang bersifat klimaks) bagi ayat 12b-13.

 

Alasan untuk mengasihi (ayat 12a, 13b)

Jemaat di Kolose sangat beragam, baik dari sisi etnis, peradaban, maupun status sosial (3:11). Dalam komunitas yang majemuk seperti ini, perselisihan seringkali menjadi hal yang wajar. Masing-masing mempertahankan identitasnya sendiri-sendiri. Yang satu merasa lebih tinggi daripada yang lain. Karakteristik dan perilaku masing-masing suku atau kelompok susah untuk diubahkan, apalagi dihilangkan.

Di tengah situasi seperti ini Paulus mengingatkan mereka tentang status atau identitas baru mereka di hadapan Allah. Mereka adalah “orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya” (3:12a). Status/identitas baru ini sekaligus menjadi alasan mengapa mereka patut menunjukkan gaya hidup seperti di 3:12b-14 (ayat 12a “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah…”). Jadi, identitas mendahului aktivitas. Siapa kita menentukan apa yang kita lakukan.

Label “orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya” pasti tidak asing lagi bagi jemaat yang berlatar belakang Yahudi. Sebutan ini memang sering digunakan sebagai rujukan untuk bangsa Israel. Salah satu teks yang sangat mungkin ada dalam pikiran Paulus pada saat menuliskan hal ini adalah Ulangan 6:6-7 (“Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya. Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa?”). TUHAN memilih Israel semata-mata berdasarkan kasih-Nya.

Dengan cara yang sama, Allah memilih jemaat Kolose. Pilihan bukan berdasarkan faktor bawaan (etnis) maupun perbuatan (sunat, kesalehan, dsb). Pilihan ya pilihan. Terserah pada yang memilih. TUHAN memilih berdasarkan kasih-Nya. Pilihan itu memberi kekhususan bagi yang dipilih, baik dari sisi tujuan maupun gaya hidup. Kita dikuduskan dari (dosa) dan dikuduskan untuk (Allah).

Selain identitas di dalam Allah, alasan lain untuk mengasihi adalah pengalaman bersama Allah (3:13b “sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu”). TUHAN tidak mungkin meminta kita untuk melakukan sesuatu yang kita tidak ketahui. Dia tidak akan menuntut kita untuk memberi apa yang kita sendiri tidak miliki. Mengasihi pada dasarnya adalah membagi: membagi apa yang telah kita alami.

Rahasia untuk mengampuni bukan dengan cara melupakan kesalahan orang. Kita cenderung akan selalu mengingatnya. Bukan pula dengan cara merasionalkan kesalahan orang lain. Pikiran kita mungkin bisa memaklumi, tetapi hati kita tetap dipenuhi benci. Pengampunan didasarkan pada pengalaman bersama Tuhan. Semakin besar kesadaran kita tentang dosa kita sendiri yang sudah dihapuskan oleh TUHAN, semakin besar kemampuan kita untuk mengampuni orang lain. Jangan bandingkan kesalahan orang kepada kita dengan kebaikan kita terhadap orang itu. Jangan bandingkan kesalahan orang kepada kita dengan kesalahan kita kepada orang itu. Bandingkanlah dengan kesalahan kita terhadap Allah! Begitu banyak. Tak terhitung. Namun, melalui kasih karunia-Nya, semua itu sudah dibereskan oleh Kristus Yesus di atas kayu salib.

 

Wujud kasih (ayat 12b-14)

Seperti sudah disinggung di depan, Paulus tampaknya sengaja membedakan ayat 12b dan 13. Ayat 12b terdiri dari lima kata benda, sedangkan ayat 13 terdiri dari dua kata kerja partisip. Kelompok pertama bersifat personal (dimiliki setiap orang), sedangkan kelompok kedua lebih komunal (dimiliki suatu komunitas). Intisari dari semua ini adalah satu: KASIH (ayat 14).

Semua wujud kasih di atas seumpama pakaian yang menempel pada tubuh kita (3:12a “kenakanlah”; 3:9-10). Di manapun kita berada, orang lain bisa melihat itu. Jadi, identitas yang baru di dalam Kristus pasti akan membawa penampilan yang baru.

Dalam diri kita masing-masing harus ada belas-kasihan (splanchna oiktirmou; 3:12b). Banyak versi hanya menerjemahkan bagian ini dengan “belas-kasihan”. Sebenarnya ada tambahan kata splanchnon yang berfungsi sebagai penekanan. Kata ini merujuk pada bagian yang terdalam dalam diri kita. Jika digabung dengan “belas-kasihan”, makna yang disampaikan menjadi lebih mendalam. Bukan sekadar rasa kasihan yang muncul karena melihat suatu keadaan yang menyedihkan. Belas-kasihan seharusnya muncul dari hati yang terdalam.

Karakteristik lain adalah kemurahan (LAI:TB, chrÄ“stotÄ“s). Kata ini bisa berarti “benar” (Rm. 3:12) atau “baik” (Rm. 2:4; 9:23). Sesuai dengan konteks 3:12-14 dan arti umum chrÄ“stotÄ“s, kita sebaiknya menerjemahkan ini dengan “kebaikan” (semua versi Inggris). Belas-kasihan di poin berikutnya tidak akan ada gunanya jikalau tidak berwujud kebaikan.

Berikutnya adalah kerendahhatian (tapeinophrosynē). Pemunculan kata ini cukup mengagetkan. Paulus sebelumnya sudah mengecam kesalehan tertentu yang menipu: terlihat rendah hati padahal menyombongkan kekuatan diri sendiri (2:18, 23). Dalam budaya Yunani, kata tapeinophrosynē juga seringkali bermakna negatif, karena dikaitkan dengan perbudakan. Paulus menasihati jemaat Kolose untuk menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan sekitarnya.

Berikutnya adalah kelemahlembutan (prautēs). Ide yang ditekankan dalam kata ini bukan kelemahan, tetapi kelembutan. Ada kekuatan, tapi dikendalikan. Yesus Kristus lemah-lembut, tetapi tidak lemah (Mat. 11:29). Sebagai contoh, dalam kehidupan bersama, kita kadangkala harus menegur seseorang dengan berani sekaligus lemah-lembut, bukan merendahkan, melainkan memberikan pertolongan.

Kesabaran (makrothymia) juga harus menghiasi hidup orang percaya. Kata ini lebih mengarah pada ketahanan dalam menghadapi sesuatu (bisa bersabar atau bertahan). Sesuai konteks, arti yang pertama lebih tepat. Ketika menghadapi kesalahan orang atau keadaan yang tidak diinginkan, kita cenderung mudah marah dan melampiaskan hukuman. Ini bukan sifat yang diinginkan Allah (bdk. Rm. 2:4; 2Kor. 6:6).

Sesudah menjelaskan lima karakteristik yang harus ada dalam diri setiap orang Kristen (ayat 12b), Paulus kini bergeser pada karakteristik yang harus ada di setiap komunitas orang percaya. Yang personal akan membawa dampak pada yang komunal. Kita harus bersabar (anechō). Makna kata ini sangat mirip dengan makrothymia. Hanya saja, kata anechō lebih spesifik merujuk pada kesabaran dalam mengendalikan kemarahan. Ada unsur memaklumi (toleransi) dalam kata ini, tetapi bukan membiarkan (misalnya, Mrk. 9:19).

Tidak mudah marah bukan berarti mudah mengampuni. Ada orang yang memang tidak cepat marah atau tidak suka mengungkapkan kemarahannya, tetapi sukar untuk mengampuni. Itulah sebabnya Paulus menambahkan karakteristik “mengampuni” (charizomai). Perintah untuk saling mengampuni menyiratkan kelemahan semua orang. Setiap orang bersalah dalam banyak hal, sehingga semua orang membutuhkan pengampunan.

Intisari dari semua kebajikan personal (3:12b) dan komunal (3:13) adalah kasih (3:14). Secara hurufiah ayat 14b dapat diterjemahkan: “sebagai pengikat kesempurnaan” (ho estin syndesmos tÄ“s teleiototÄ“s). Penggunaan istilah ini menerangkan posisi kasih bagi ayat 12-13. Semua kebajikan di ayat 12-13 menunjukkan kesempurnaan (keutuhan) komunitas Kristiani, tetapi semua ini tidak mungkin bisa utuh tanpa kasih yang mempersatukan semuanya. Hanya kasih yang memampukan orang untuk memiliki semua kebajikan itu: kasih kepada Allah dan kepada manusia. Kasih kepada Allah, karena lebih dahulu mengalami kasih-Nya yang besar. Kasih kepada sesama manusia, karena semua orang adalah pendosa dan tidak sempurna. Kita saling membutuhkan satu dengan yang lain. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community
sabung ayam https://desakubugadang.id/ dinkestrenggalek klik88 tok99toto ntbberita.com https://klinikkitamura.com/