Kita mungkin sudah berkali-kali mendengar ucapan orang bahwa semua agama itu sama. Semua sama-sama mengajarkan perbuatan baik. Begitu populernya ungkapan ini – apalagi dalam iklim postmodern yang kental dengan relativismenya – banyak orang serta-merta mengaminkan tanpa memikirkannya secara serius.
Beberapa agama jelas mengajarkan kejahatan, misalnya pengorbanan manusia atau penggunaan sihir dalam ritual mereka. Beberapa yang mengajarkan perbuatan baik pun ternyata memiliki konsep dan motivasi yang berlainan tentang kebaikan. Perbedaan ini jelas tidak boleh diabaikan begitu saja, karena baik atau tidaknya suatu tindakan juga sangat ditentukan oleh konsep dan motivasi di baliknya.
Dalam khotbah hari ini kita akan belajar tentang empat konsep penting tentang perbuatan baik yang Alkitabiah. Konsep-konsep tersebut berguna untuk membentuk motivasi yang benar dalam hati kita. Mengapa kita berbuat baik?
Pertama, karena kita adalah milik Allah (ayat 10a). Poin ini agak sedikit sulit ditangkap dalam terjemahan LAI:TB. Penekanan pada terjemahan “buatan Allah” tidak terlalu jelas. Apakah penerjemah LAI:TB memaksudkan “buatan milik Allah” atau “buatan oleh Allah”? Hampir semua versi Inggris secara lebih kentara menyiratkan makna yang pertama. Hampir semua memilih “karya milik-Nya” (his workmanship). Aspek kepemilikan ini tampaknya sangat ditekankan oleh Paulus. Dalam teks Yunani, kata “milik-Nya” (genitif autou) sengaja diletakkan di awal kalimat untuk penekanan.
Bentuk kata kerja kekinian “adalah” (esmen) di ayat ini cukup menarik untuk diperhatikan. Sebelumnya Paulus sudah membicarakan tentang tema kepemilikan ini, tetapi dalam kaitan dengan hal-hal yang futuris. Efesus 1:14 menerangkan bahwa Roh Kudus adalah jaminan ilahi bagi kita sampai kita nanti sepenuhnya menjadi milik Allah melalui penebusan Kristus. Ketegangan antara kekinian dan keakanan ini sungguh indah. Kita sudah menjadi milik Allah sekarang, tetapi status ini akan terlihat lebih kentara dan sempurna pada saat Kristus datang kembali yang kedua.
Kita bukanlah milik yang sembarangan. Kata benda “buatan” (poiēma) dalam Perjanjian Baru merujuk pada suatu hasil karya yang istimewa. Dalam Roma 1:20 kata poiēma digunakan untuk alam semesta. Dalam Perjanjian Lama (LXX) kata ini dikenakan pada pekerjaan seorang penjunan (Yes 29:16) atau pekerjaan lain yang indah (Pkt 2:4). Jika dikaitkan dengan Allah, karya ini menyiratkan sesuatu yang luar biasa sampai-sampai manusia tidak dapat memahami sepenuhnya (Pkt 3:11) dan hanya bisa memuji semuanya itu (Mzm 64:10; 92:5). Tidak heran, para penerjemah versi Inggris sepakat memilih kata “hasil karya” (workmanship).
Poin yang ingin disampaikan Paulus adalah bahwa identitas dan perilaku kita ditentukan oleh siapa yang memiliki kita. Kita adalah milik Allah. Status ini seharusnya mempengaruhi cara kita menghargai diri sendiri (selalu bersyukur dan tidak minder dengan keadaan kita). Status ini juga sepatutnya membentuk perilaku kita (tidak sembarangan dengan hidup kita).
Jika kita mencermati, barang-barang yang dihasilkan secara langsung oleh tangan manusia (misalnya karya seni) memiliki nilai yang lebih besar daripada yang diproduksi dengan mesin. Batik tulis, apalagi dengan desain yang unik dan khusus, berharga sangat tinggi. Seandainya lukisan dan foto memiliki obyek dan tingkat keindahan yang sama, harga lukisan biasanya lebih mahal. Sadarkah kita bahwa kita bukan produk massal Allah? Setiap kita adalah unik di mata Allah. Setiap kita merupakan hasil karya-Nya yang indah. Kita milik Dia!
Kedua, karena kita diciptakan di dalam Kristus Yesus (ayat 10b). Dalam teks Yunani frasa ini merupakan anak kalimat (bentuk partisip “diciptakan” = ktisthentes). Fungsinya sebagai penjelasan terhadap ayat 10a. Jadi, ayat 10a dan 10b sama-sama menyinggung tentang ide penciptaan, namun dengan penekanan yang berlainan. Kalau ayat 10a lebih menerangkan aspek kepemilikan, ayat 10b lebih pada sarana atau cara. Bagaimana Allah menciptakan kita sebagai karya-Nya yang indah (ayat 10a)? Jawabannya adalah “di dalam Kristus Yesus” (en christō Iēsou, ayat 10b).
Ungkapan “di dalam Kristus/Yesus/Dia/Tuhan” memang sering muncul di Surat Efesus (1:1, 3, 4, 9, 10, 11, 12, 13, 20; 2:5, 6, 7, 10, 13, 21; 3:6, 11, 21; 4:1, 21, 32; 6:10, 21). Sesuai konteks Efesus 2:10, kita sebaiknya memahami “di dalam Kristus” dalam kaitan dengan persekutuan kita di dalam Dia. Ayat 5-6 mengaitkan “di dalam Kristus” dengan persekutuan orang percaya dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Di bagian selanjutnya “tanpa Kristus” (2:12) juga dikontraskan dengan “di dalam Kristus” (2:13), sehingga jelas “di dalam Kristus” merujuk pada kebersamaan dengan Dia.
Seandainya Paulus memaksudkan “di dalam Kristus” berarti “melalui Kristus,” ia mungkin akan menggunakan kata depan dia (melalui), bukan en (di dalam). Walaupun “melalui Dia” dan “di dalam Dia” berkaitan erat dan muatan teologis di dalamnya sama-sama benar, penekanan di ayat 10b lebih diletakkan pada persekutuan dengan Kristus, bukan Kristus sebagai agen atau subyek. Dalam persekutuan kita dengan Dia, kita menjadi ciptaan yang baru (bdk. 2 Kor 5:17; Gal 6:15). Manusia lama yang dikuasai oleh dosa dan hawa nafsu (2:1-3) sudah dihidupkan kembali (2:5-6). Manusia lama yang dibatasi oleh tembok-tembok jasmaniah (misalnya perseteruan etnis) telah dijadikan manusia yang baru (2:15).
Ketiga, karena kita diselamatkan untuk berbuat baik (ayat 10c). Frasa “untuk melakukan perbuatan baik” (lit. “untuk perbuatan-perbuatan baik”) muncul sesudah frasa “diciptakan di dalam Kristus Yesus.” Hal yang sederhana ini seringkali diabaikan. Perbuatan baik kita mengikuti keselamatan di dalam Kristus. Perbuatan baik bukan mendahului keselamatan. Dengan kata lain, kita berbuat baik karena sudah diselamatkan, bukan supaya diselamatkan. Keselamatan adalah sepenuhnya anugerah Allah, bukan hasil usaha kita (2:8-9). Sesudah diselamatkan, kita baru berbuat baik sebagai wujud ucapan syukur kepada Allah dan realisasi rencana-Nya. Seorang penafsir dengan tepat mengutarakan kebenaran ini dalam kalimat: “keselamatan kita adalah untuk perbuatan baik, bukan melalui perbuatan baik.”
Kebenaran yang menjadi keunikan kekristenan ini sayangnya seringkali mudah dilupakan oleh orang-orang Kristen sendiri. Mereka berpikir bahwa tujuan keselamatan adalah kehidupan bahagia yang kekal di surga. Pikiran semacam ini kurang tepat. Kehidupan kekal di surga adalah hasil tak terelakkan, tetapi bukan tujuan. Siapa saja yang percaya kepada Kristus Yesus secara pribadi sebagai Tuhan dan Juruselamat pasti akan menerima kehidupan kekal di surga kelak, namun – sekali lagi – ini bukanlah tujuan keselamatan.
Dalam perspektif Paulus, perbuatan baik adalah hal yang mustahil sebelum keselamatan di dalam Kristus. Semua orang yang berada di luar Kristus adalah mati di dalam dosa (2:1). Mereka takluk pada keinginan para penguasa kerajaan angkasa atau roh-roh jahat (2:2). Natur mereka juga tercemar oleh dosa sehingga mereka dikuasai oleh hawa nafsu (3:3). Satu-satunya solusi bagi keadaan mengenaskan tersebut adalah dihidupkan bersama Kristus (2:5), diangkat ke sruga lebih tinggi daripada para penguasa kerajaan angkasa (2:6), dan dijadikan ciptaan baru di dalam Kristus (2:10).
Keempat, karena perbuatan baik adalah rencana kekal Allah untuk kita (ayat 10d). Perbuatan baik Kristiani memang mengikuti keselamatan (ayat 10c). Walaupun demikian, Allah ternyata sudah memikirkan hal itu jauh sebelumnya. Dia sudah menyiapkan itu sebelumnya (proētoimasen).
Pembaca surat ini pasti teringat pada rencana kekal Allah yang disinggung oleh Paulus di awal surat. Orang-orang percaya sudah dipilih di dalam Kristus “sebelum dunia dijadikan” (1:4). Kita telah ditentukan “dari semula” (1:5, 11). Rencana ilahi ini Allah tetapkan berdasarkan kehendak-Nya yang bebas (1:9, 10b). Kita tidak mengerti alasan di balik semua keputusan kekal ini, tetapi kita tahu dengan pasti bahwa Allah menetapkan itu dengan alasan-alasan tertentu yang sesuai dengan hikmat dan pengertian-Nya (1:8).
Allah menetapkan segala sesuatu (1:11). Salah satu yang Ia tetapkan adalah perbuatan-perbuatan baik kita (2:10d). Dari kekekalan Ia sudah menentukan supaya kita hidup di dalam kebaikan. Untuk merealisasikan rencana inilah Allah menyelamatkan kita di dalam Kristus. Jadi, keselamatan di dalam Kristus merupakan sarana demi perwujudan rencana Allah.
Konsep ini seringkali diremehkan, bahkan oleh orang Kristen sendiri. Mereka menggunakan Allah untuk mencapai rencana hidup mereka. Allah tidak lagi menjadi perencana maupun tujuan hidup, melainkan sekadar sebagai sarana atau alat. Bukankah banyak orang Kristen yang tidak serius menggumulkan rencana hidup seturut dengan kehendak kekal Allah? Bukankah mereka lebih sering meminta pertolongan Allah untuk menggenapi ambisi dan keinginan hidup mereka tanpa mau tahu apakah ambisi dan keinginan itu memang sesuai dengan rencana Allah? Bukankah banyak orang Kristen telah menentukan kekayaan, kesuksesan, dan kenyamanan hidup sebagai tujuan hidup mereka, lalu meminta Allah untuk merealisasikan hal tersebut? Ini adalah sebuah ironi yang mengenaskan. Perancang justru dijadikan tukang. Pembuat rencana hanya dijadikan sarana. Allah bukan dikasihi dan ditaati, melainkan dimanipulasi!
Sebagai penutup, izinkan saya sekali lagi mengajarkan konsep kebaikan Kristiani seturut dengan Katekismus Heidelberg. Dalam khotbah beberapa minggu yang lalu saya sudah sempat menyinggung hal ini. Sama seperti Paulus, saya ingin berkata: “Menuliskan hal ini lagi kepadamu tidaklah berat bagiku dan memberi kepastian kepadamu” (Flp 3:1b).
Artikel ke-91 dari katekismus ini menerangkan bahwa perbuatan baik yang sejati harus memiliki beberapa katakteristik: (1) muncul dari iman yang benar; (2) seturut dengan perintah Tuhan di dalam kitab suci; (3) dilakukan untuk kemuliaan Allah; (4) bukan sekadar kesesuaian dengan tradisi atau ajaran. Berdasarkan ajaran ini kita mengerti dengan lebih jelas mengapa orang-orang luar yang terlihat saleh dan santun pun termasuk kategori orang yang tidak baik di hadapan Allah.
Jika konsep dan motivasi perbuatan baik kita lebih benar, hal itu seyogyanya berimbas pada perilaku kita sehari-hari. Sangat disayangkan apabila orang-orang Kristen justru kalah jujur dalam berbisnis daripada orang-orang lain. Sangat memalukan apabila orang-orang Kristen justru kurang mengasihi dibandingkan orang-orang lain. Sangat menyedihkan apabila orang-orang Kristen justru kalah sabar dibandingkan orang-orang lain. Siapkah Saudara mensyukuri keselamatanmu di dalam Kristus Yesus dan menggenapi rencana kekal Allah sebagai pemilik dari kehidupanmu? Soli Deo Gloria.