Dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, penderitaan menjadi hal biasa bagi kita (Kej 3:16-19). Walaupun demikian, bukan berarti penderitaan mudah untuk ditahan, apalagi dihadapi dengan cara yang benar. Sebagian orang memilih untuk melarikan diri dari masalah. Sebagian memilih bertahan, namun sambil menyalahkan diri sendiri, orang lain, atau keadaan. Sebagian lagi berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Salah satu penderitaan yang terberat adalah diperlakukan secara tidak adil tanpa alasan yang benar. Dalam kalimat yang lebih sederhana, menderita karena kebenaran. Hukuman yang ditanggung seseorang memang berat, tetapi jauh lebih berat apabila kesusahan menimpa kita tanpa kita melakukan kesalahan sebelumnya.
Bagaimana seharusnya kita meresponi penderitaan kita? Teks kita hari ini akan memaparkan keteladan Yesus Kristus pada saat Ia menghadapi penderitaan yang tidak seharusnya Ia tanggung.
Penderitaan Yesus Kristus (ayat 21)
Kata “untuk itulah” (eis touto) di ayat ini merujuk balik pada penderitaan karena kebenaran di ayat 19-20. Orang-orang Kristen tidak dikecualikan dalam hal penderitaan. Tidak seperti para pengkhotbah kemakmuran yang memberitakan kenyamanan hidup secara jasmaniah, Petrus bersikap realistis terhadap kehidupan di dunia yang bengkok ini. Namun, bukan berarti ia tidak berusaha menghibur penerima surat. Sebaliknya, ia justru memberikan penghiburan yang sejati.
Penghiburan pertama yang ia berikan berhubungan dengan penetapan Allah (ayat 21a). Penderitaan karena kebenaran bukanlah kecelakaan atau kebetulan, melainkan panggilan. Orang-orang Kristen memang dipanggil (eklēthēte) untuk itu. Sama seperti Allah secara berdaulat telah memanggil mereka kepada keselamatan di dalam Yesus Kristus (1:15; 2:9), demikianlah mereka juga dipanggil untuk menderita bagi kebenaran (2:21a).
Penghiburan selanjutnya berkaitan dengan penderitaan Kristus (ayat 21b). Tatkala kita menderita karena kebenaran, kita tidak sendirian. Kita bahkan bukan yang pertama mengalaminya. Penebus kita yang mulia sudah pernah melewatinya. Mengetahui bahwa orang lain sudah melewati dan memenangi pergumulan melawan penderitaan merupakan penghiburan besar, sebab ketika kita menderita kita cenderung merasa sendirian dan sebagai orang yang paling malang di seluruh dunia. Ini pikiran yang makin memperberat kesusahan kita.
Apa yang dilakukan Kristus bukan hanya sebagai penghiburan, melainkan keteladanan. Ini bukan hanya demonstrasi ketahanan untuk dikagumi, melainkan kemenangan untuk diikuti. Penderitaan kita dimaksudkan untuk memberikan teladan (hypogrammos). Kata ini biasanya digunakan titik-titik berbentuk sebuah huruf yang menolong anak-anak untuk belajar menulis huruf. Anak-anak tinggal mengikuti pola yang sudah ada.
Begitulah penderitaan Kristus bagi kita. Kristus sudah menjalani dan meninggalkan jejak yang jelas. Kita tidak usah bingung menebak. Kita tidak perlu resah menerka. Semua sudah ada di depan. Tugas kita hanyalah mengikuti jejak itu dengan setia.
Petrus tentu saja tidak menganggap penderitaan kita benar-benar identik dengan penderitaan Kristus. Mirip, namun tidak serupa. Kristus tidak memiliki dosa sepanjang hidup-Nya (1:20; 2:22-23), sedangkan kita mungkin hanya tidak bersalah dalam penderitaan yang kita alami. Penderitaan dan ketabahan Kristus benar-benar mendamaikan kita dengan Allah (1:18-19; 2:24; 3:18), sedangkan penderitaan dan ketabahan kita hanya menjadi sarana orang lain mengenal dan memuliakan Allah (2:12; 3:1-2).
Kemenangan Kristus atas penderitaan (ayat 22-25)
Pada bagian ini Petrus banyak mengutip dari Yesaya 53 dan mengaplikasikan teks itu pada penderitaan dan kemenangan Kristus. Hal ini tentu saja tidak mengejutkan. Yesaya 52:13-53:12 memang berisi nubuat tentang Hamba TUHAN yang menderita. Teks ini sejak awal memang dipahami sebagai teks mesianis (bdk. Mat 20:28; Luk 22:37; Kis 3:13; Rm 4:25; 1 Kor 15:3; Flp 2:7). Melalui pengutipan ini Petrus ingin menunjukkan bahwa penderitaan Kristus bukan peristiwa kecelakaan atau kebetulan, melainkan penetapan Allah. Yang ditekankan bukan hanya penderitaan Kristus, tetapi kemenangan-Nya atas penderitaan tersebut.
Dalam teks Yunani, bagian ini secara jelas terdiri dari tiga bagian, yang ditandakan dengan pemunculan kata kata ganti penghubung hos (lit. “yang”) di ayat 22, 23, dan 24. Tiga bagian ini mengajarkan penderitaan seperti apa yang dialami Kristus dan yang seharusnya kita teladani.
Pertama, menderita tanpa bersalah (ayat 22). Ketidakberdosaan Kristus di ayat ini merujuk pada dua hal: keseluruhan hidup-Nya yang tidak berdosa dan respon-Nya yang benar dalam menghadapi penderitaan. Kristus tidak melakukan dosa, tetapi Ia tetap menanggung penderitaan. Tatkala menghadapinya, Ia pun tidak berbuat dosa.
Mudah bagi seseorang untuk berbohong demi menghindari penderitaan. Sejarah mencatat bahwa tidak semua orang yang mengaku Kristen mampu mempertahankan iman di tengah penganiayaan. Beberapa memilih menyangkal dan berbohong. Dalam kehidupan sehari-hari pun kita berulang kali berbohong untuk menghindari konsekuensi yang tidak mengenakkan. Kebohongan telah menjadi senjata andalan banyak orang untuk menghindari penderitaan.
Tidak demikian dengan Kristus. Tipu daya tidak ada di mulut-Nya. Ia tidak tersenyum pada seseorang tetapi pada saat yang bersamaan mengutuki orang itu di dalam hati-Nya. Ia tidak menghalalkan penipuan dan kebohongan untuk mengalahkan musuh-musuh-Nya.
Kedua, menderita dengan sabar (ayat 23). Terjemahan “mencaci-maki” sebenarnya tidak terlalu tepat. Kata dasar loidoreō lebih ke arah pelecehan verbal atau ejekan (Yoh 9:28; Kis 23:4; bdk. NRSV “when he was abused, he did not return abuse”). Kata kerja imperfek “tidak balik melecehkan” (antiloidoreō) menyiratkan tindakan yang terus-menerus di masa lampau. Ia selalu mengontrol mulut-Nya dari semua perkataan yang melecehkan orang lain. Ini selaras dengan kesucian perkataan-Nya di ayat 22.
Bukan hanya tidak membalas, Kristus juga tidak mau mengancam. Sama seperti kata kerja anteloidorei (tidak balik melecehkan) yang berbentuk imperfek, kata kerja “tidak mengancam” (ouk ēpeilei) pun mengambil bentuk yang sama. Artinya, Kristus selalu memilih untuk tidak mengancam.
Hal ini sebenarnya sulit dilakukan. Dengan kuasa yang Ia miliki, Kristus bisa saja memberikan ancaman atau peringatan hukuman terhadap para penyiksa-Nya. Ia malah memohonkan pengampunan bagi mereka (Luk 23:34). Jangankan orang yang memiliki kuasa, orang yang tidak berdaya pun seringkali mengeluarkan umpatan dan kutukan terhadap orang lain yang menimpakan sengsara kepadanya. Tidak berdaya untuk membalas bukan berarti tidak berdaya untuk mengumpat dan mengutuk. Kristus menghindari keduanya. Ia tidak membalas, Ia pun tidak mengancam melalui kutukan atau semacamnya.
Rahasia kemenangan Kristus ini terletak pada penyerahan diri yang total pada Allah yang adil. Ia berdiam diri bukan karena tidak mampu melawan. Ia juga bukan berdiam diri karena secara hakekat Ia memang pemberani. Bukan. Ia berdiam diri sebab Ia mengetahui dan mempercayai Allah yang adil. Penyerahan ini pun tidak hanya terjadi sekali (lihat kata kerja imperfek paredidou). Ia selalu berserah.
Apa yang Ia serahkan? Hampir semua versi Inggris menambahkan “diri-Nya” sebagai obyek dari kata kerja “menyerahkan.” LAI:TB memilih tambahan “nya” (“menyerahkannya”) tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. RSV dengan tepat tidak memberi tambahan apapun. Jadi, apakah obyek dari kata kerja paredidou ini? Karena Petrus sengaja tidak memberikan obyek yang eksplisit, kita pun sebaiknya tidak membatasinya. Kristus mungkin menyerahkan diri-Nya, perkara-Nya, atau musuh-musuh-Nya. Semua tampaknya ada dalam pikiran Petrus.
Orang yang mengetahui dan mempercayai keadilan Allah pasti tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan. Mereka yakin bahwa Allah pasti akan bertindak secara adil. Sebaliknya, orang yang mengambil penghakiman di tangannya sendiri justru akan berada di bawah penghakiman Allah. Manusia seringkali membalas secara tidak adil.
Ketiga, menderita demi orang lain (ayat 24-25). Ungkapan “dosa-dosa kita” sengaja diletakkan di awal ayat 24 untuk memberi penekanan: Kristus tidak mengenal dosa (2:22), tetapi menanggung akibat dosa kita (2:24). Penggunaan kata “xylon” (lit. “pohon”; lihat KJV/ASV/NIV/ESV/RSV) – dan bukan “salib” (stauros) – turut menegaskan sisi kutukan yang ditanggung-Nya, karena “terkutuklah orang yang digantung pada pohon” (Ul 21:23 LXX; Kis 5:30; 10:39; Gal 3:13).
Semua penderitaan akibat dosa Ia pikul di bahu-Nya untuk kita. Untuk kebaikan kita. Ia bukan hanya memikul dosa-dosa kita (ayat 24a). Ia membuat kita hidup untuk kebenaran (ayat 24b). Terbebas dari kuasa dan hukuman dosa adalah satu hal, hidup untuk kebenaran adalah hal lain. Dua hal ini sama-sama dimungkinkan bagi kita melalui korban penebusan Kristus.
Bukan hanya itu. Bilur-bilur Kristus juga menyembuhkan kita (ayat 24c). Sesuai konteks yang ada, tidak ada alasan untuk memahami kesembuhan ini secara fisik (bdk. Mat 8:17). Kesembuhan yang dipikirkan Petrus identik dengan pertobatan rohani. Bagian awal ayat 24 membicarakan tentang penebusan dosa dan pembalikan hidup untuk kebenaran. Kata sambung “karena” (gar) di awal ayat 25 juga secara eksplisit menjelaskan kesembuhan seperti apa yang dimaksud. Orang-orang berdosa seperti domba yang tersesat tanpa gembala. Mereka rentan terhadap bahaya, baik semak duri, kecelakaan, maupun binatang buas. Terluka adalah akibat yang tak terelakkan. Walaupun demikian, kini mereka telah dikembalikan pada Gembala dan Pemelihara jiwa mereka, yaitu Kristus Yesus, Sang Gembala yang baik.
Apakah Saudara sedang berada dalam penderitaan? Terlepas dari apakah penderitaan itu sebagai akibat kesalahan Saudara atau penderitaan demi kebenaran, prinsip meresponi penderita yang sudah diterangkan tetap berlaku untuk kita. Tidak ada alasan untuk dirundung kesusahan dan diliputi penyesalan. Tidak ada waktu untuk menyalahkan diri sendiri, orang lain, atau keadaan. Pandanglah kepada Allah yang menetapkan dan mengontrol segala sesuatu! Pandanglah kepada Kristus yang sudah lebih dahulu mempersiapkan jalan bagi kita! Relakah kita memuliakan Allah melalui penderitaan kita? Soli Deo Gloria.