DIA yang lemah lembut dan rendah hati (Matius 11:28-30)

Posted on 21/02/2016 | In Teaching | Leave a comment

Kita hidup di tengah zaman yang mengabaikan – bahkan memandang rendah – kelemahlembutan dan kerendahhatian. Dua sikap ini dianggap sebagai musuh dari kehormatan, keberanian, dan kekuatan. Kelemahlembutan disamakan dengan kelemahan dan ketidakberdayaan. Kerendahhatian diidentikkan dengan kerendahan dan kehinaan.

Semangat zaman yang bengkok di atas mendorong banyak orang untuk mengejar kehebatan. Semua berlomba untuk menjadi yang terdepan dan meninggalkan orang-orang lain sejauh mungkin. Melebihi orang lain telah menjadi ambisi tidak kudus di zaman ini. Prestasi yang spektakuler adalah dewa yang dipuja.

Bagaimana orang-orang Kristen seharusnya meresponi situasi ini? Apakah yang dimaksud dengan kelemahlembutan dan kerendahhatian? Bagaimana kita bisa memiliki dua sikap ini?

Konsep kelemahlembutan dan kerendahhatian

Memahami makna kata sifat praus (LAI:TB “lemah lembut”) dan tapeinos (LAI:TB “rendah hati”) bukanlah tugas yang mudah. Dua kata ini (juga kata benda yang terkait) biasanya muncul dalam sebuah daftar kebajikan (Mat 5:5; Gal 5:23; Ef 4:2; Kol 3:12). Pemunculan di beragam konteks menambah kesulitan untuk menemukan makna yang tepat untuk dua istilah tersebut.

Khotbah hari ini tidak akan berfokus pada definisi, melainkan pada konsep. Khotbah hari ini juga hanya akan lebih berfokus pada penggunaan dua kata itu di konteks Matius 11:28-20. Apa saja yang kita perlu pahami tentang kelemahlembutan dan kerendahhatian?

Pertama, kelemahlembutan dan kerendahhatian merupakan sikap dari dalam. Banyak orang memikirkan kelemahlembutan dalam batasan tindakan. Orang yang bicaranya lembut dan tidak terburu-buru dianggap pasti memiliki kelemahlembutan. Orang yang minder atau yang menyangkali semua kelebihannya disamakan dengan orang yang rendah hati.

Matius 11:29 memberikan kritikan terhadap pandangan populer ini. Dalam teks Yunani, kata praus (”lemah lembut”) dan tapeinos (lit. “rendah”) diberi keterangan “dalam hati” (tē kardia). Jadi, kata “hati” memayungi lemah lembut dan rendah.

Senada dengan Yesus, Paulus mengajarkan bahwa kelemahlembutan berhubungan roh kita (Gal 6:1 “dalam roh lemah lembut”). Yakobus membicarakan tentang perbuatan baik yang lahir dari kelemahlembutan (Yak 3:13). Petrus pun mengontraskan kelemahlembutan dengan perhiasan yang lahiriah (1 Pet 3:3-4). Hati yang lembut dan rendah tentu saja akan nampak dari perbuatan, tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa kelemahlembutan terutama adalah masalah hati.

Orang yang terlihat selalu merendah belum tentu rendah hati. Siapa tahu orang itu justru berharap agar orang lain yang mulai memuji dirinya. Orang yang tidak menunjukkan kemarahannya juga belum tentu lemah lembut. Siapa tahu di dalam hatinya ia memberontak dan mengumpat. Orang yang lemah lembut memiliki hati yang rela melepaskan kekuatannya dan menyerahkan orang lain untuk ditrasformasi oleh Allah melalui kelembutan dirinya. Orang yang rendah hati memiliki hati yang sadar bahwa di balik semua kelebihan yang ia miliki, ia tetaplah orang yang miskin dan hina di hadapan Allah.

Kedua, kelemahlembutan dan kerendahhatian tidak meniadakan kekuatan dan teguran. Penggunaan istilah “lemah lembut” dalam Bahasa Indonesia dapat memberikan kesan keliru bahwa kelemahlembutan berhubungan dengan kelemahan. Pandangan umum bahwa orang yang lemah lembut berarti tidak pernah marah juga turut memperkeruh konsep kelemahlembutan. Konsep banyak orang tentang kerendahhatian juga tidak begitu jelas. Kerendahhatian dikaitkan dengan kehinaan dan ketidakberdayaan. 

Matius 11:29 menyatakan sebaliknya. Penyelidikan konteks menunjukkan bahwa Yesus bukanlah Pribadi yang lemah maupun hina. Ia membuat begitu banyak mujizat di Khorazim, Betsaida, dan Kapernaum (11:20-24). Ia pun berani mengecam penduduk kota-kota tersebut. Yesus juga memegang otoritas atas segala sesuatu (11:27a “Semua telah diserahkan kepada-Ku”). Salah satu otoritas itu adalah dalam hal keselamatan. Tidak ada seorang pun dapat mengenal Bapa jika Anak Allah tidak berkenan menyatakan hal itu kepadanya (11:27b). Yesus pun tidak segan-segan menempatkan diri sebagai seorang guru yang siap memberikan ajaran dan disiplin (dilambangkan dengan pemberian kuk, 11:29-30).

Dalam filsafat Yunani kuno, kelemahlembutan juga tidak dipisahkan dari otoritas, kekuatan, maupun kemarahan. Aristotle, salah seorang filsuf Yunani terkenal, memahami kelemahlembutan sebagai keseimbangan antara kemarahan dan ketidakmarahan, antara kemarahan yang berlebihan dan ketidakadaan kemarahan yang seharusnya.

Bagian lain Alkitab memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda. Paulus menasihatkan agar teguran kepada yang salah tetap diberikan, tetapi harus dengan kelemahlembutan (Gal 6:1; 2 Tim 2:25). Ia mengaitkan kelemahlembutan dengan kasih sekaligus mengontraskannya dengan cambuk (1 Kor 4:21). Di tempat lain, kelemahlembutan dan kerendahhatian dihubungkan dengan kesabaran, pengendalian diri, keramahan, dan segala sesuatu yang manis dalam interaksi dengan orang lain (2 Kor 10:1; Gal 5:23; Ef 4:2; Kol 3:12; Yak 3:13).

Ketiga, kelemahlembutan dan kerendahhatian terwujud dalam kasih dan pengertian terhadap mereka yang hina. Ucapan Yesus di Matius 11:29 tidak bisa dipisahkan dari ajaran Farisi dan ahli Taurat. Mereka tergolong orang-orang bijak dan pandai secara duniawi tetapi tidak mampu memahami penyataan Allah di dalam Kristus Yesus (11:25). Ajaran mereka yang terlalu berbelit-belit dan detil tentang Taurat telah membuat banyak orang letih lesu dan berbeban berat (11:28; bdk. 23:4). Di tengah situasi seperti inilah Yesus menawarkan sebuah pola ketaatan yang memberikan kelegaan: meniru Dia yang lemah lembut dan rendah hati.

Tidak seperti orang-orang Farisi dan ahli Taurat, Tuhan Yesus bersimpati pada orang-orang yang kecil, yaitu orang-orang yang tidak dianggap oleh dunia (11:25). Ia berkenan menyatakan Bapa kepada mereka (11:27). Tidak seperti orang-orang Farisi yang hanya bisa menghakimi orang lain, Tuhan Yesus justru memperhatikan keletihan dan kesusahan mereka. Ia menawarkan kelegaan (11:29). Mereka yang merasa gagal dan tanpa harapan direngkuh-Nya. Kuk yang Ia berikan disesuaikan dengan kekuatan mereka. Ia hanya memberikan kuk yang enak dan ringan (11:30).

Keteladan Kristus

Mengetahui konsep tentang kelemahlembutan dan kerendahhatian adalah satu hal. Memiliki dua sikap itu adalah hal yang berbeda. Bagaimana kita bisa menjadi lemah lembut dan rendah hati?

Buku hanya bisa menjelaskan definisi, konsep, dan berbagai aspek lain, namun tidak memberikan contoh konkrit. Buku hanya bisa mengubah perilaku kita di luar sehingga terlihat lemah lembut dan rendah hati, tetapi pembaruan di dalam hati hanya dimungkinkan melalui Yesus Kristus. Ada dua proses yang perlu dilalui untuk menjadi lemah lembut dan rendah hati.

Proses yang pertama adalah keselamatan secara pribadi (11:25-27). Semua berawal dari perjumpaan pribadi dengan Bapa melalui Kristus Yesus. Tanpa penyataan ilahi ini, kelemahlembutan dan kerendahhatian yang sejati tidak akan tercipta. Bagaimana kita bisa memperlakukan orang lain dengan lemah lembut jika kita tidak berserah pada “Bapa, Tuhan langit dan bumi” yang berdaulat untuk mengontrol dan mengubahkan manusia (11:25)? Bagaimana kita bisa rendah hati jika kita tidak menyadari bahwa keselamatan kita dan semua berkat yang menyertainya merupakan anugerah dari Kristus Yesus (11:27)? Hanya mereka yang mengakui kedaulatan Bapa dan Kristus Yesus dalam segala sesuatu yang mampu bersikap lemah lembut dan rendah hati.

Proses lain yang diperlukan adalah pemuridan (11:29). Para ahli pendidikan sepakat bahwa gaya belajar yang paling efektif bukanlah mendengar atau melihat, melainkan melibatkan diri. Murid tidak hanya mengetahui sebuah teori, tetapi melihat bagaimana teori itu diterapkan. Bukan hanya itu. Mereka juga terlibat secara aktif di dalam penerapan itu.

Prinsip yang sama berlaku pada kelemahlembutan dan kerendahhatian. Cara terbaik adalah dengan memperhatikan sebuah contoh konkrit dan meneladani contoh tersebut. Yesus Kristus tidak hanya mengajarkan kelemahlembutan dan kerendahhatian melalui perkataan saja, melainkan juga dengan seluruh hidup-Nya.

Tatkala Paulus diserang dan dikecewakan oleh jemaat Korintus, ia tetap menyikapi semua itu dengan kasih dan kelemahlembutan. Ia memilih jalan yang terlihat lemah di mata orang lain (2 Kor 10:1). Ia memperingatkan jemaat tentang kelemahlembutan dan keramahan Kristus.

Sebagai sebuah peniruan terhadap Yesus Kristus, proses ini jelas tidak akan mudah. Jatuh dan bangun akan menjadi bagian tak terpisahkan dari proses ini. Walaupun demikian, kita tidak perlu berkecil hati. Kristus Yesus memperhatikan orang-orang yang gagal. Tidak seperti orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang siap memberikan hujatan dan penghakiman, Kristus justru menawarkan ketenangan dan kelegaan. Tiap kali kita gagal, kita bisa dengan leluasa datang kepada-Nya untuk dipulihkan dan disegarkan.

Kita juga tidak boleh melupakan bahwa di dalam seluruh proses ini ada keterlibatan Roh Kudus yang berkuasa. Kelemahlembutan adalah salah satu aspek dari buah Roh (Gal 5:22-23). Kita lemah, tetapi Roh dalam diri kita adalah kuat. Yang dibutuhkan hanyalah penyerahan diri yang tulus. Soli Deo Gloria. 

Yakub Tri Handoko