Mengetahui apakah pemilik suatu rumah adalah orang Kristen bukanlah tugas yang terlalu sukar. Lihat saja pada dekorasi dan ornamen rumah yang bernuansa Kristiani. Salib. Gambar Tuhan Yesus. Kutipan ayat dari Alkitab.
Tugas yang lebih sukar adalah mengetahui apakah pemilik rumah benar-benar memberi tempat utama bagi Tuhan di keluarganya. Menempelkan ornamen Kristiani di dinding belum tentu menggambarkan kualitas kerohanian seseorang. Memasang salib yang besar di depan juga bukan jaminan bahwa keluarga tersebut menempatkan Injil Yesus Kristus sebagai poros kehidupan.
Teks kita hari ini akan menjelaskan tentang keluarga seperti apa yang diinginkan oleh TUHAN. Seberapa pentingkah TUHAN dalam kehidupan rumah tangga? Bagaimana konsep tersebut seharusnya menentukan cara masing-masing orang untuk membangun keluarga?
Beberapa catatan awal
Sebelum meneliti teks ini secara lebih detil, kita perlu mengetahui beberapa persoalan mendasar yang bisa mempengaruhi penafsiran. Sebagian ahli mempertanyakan apakah mazmur ini memang berbicara tentang keluarga. Hal ini wajar saja untuk ditanyakan, karena kata “rumah” di ayat 1a bisa merujuk pada beragam rumah: rumah TUHAN di surga (Am. 9:6), rumah TUHAN di Yerusalem (Mzm. 78:69), suatu dinasti (1Sam. 2:35; 2Sam. 7:27), dsb.
Pembacaan yang lebih cermat tampaknya mengarah pada “rumah” sebagai rumah yang biasa (atau keluarga). Gambaran tentang kerja keras di ayat 2 lebih cocok diterapkan pada mata pencaharian bisa (seorang kepala keluarga yang bekerja membanting tulang demi keluarganya). Kata “anak-anak lelaki”, “buah kandungan”, dan “anak-anak” yang muncul beberapa kali di ayat 3-4 menyiratkan sebuah konteks yang lebih sempit, yaitu keluarga.
Persoalan mendasar yang lain berkaitan dengan kesatuan teks. Sebagian penafsir menduga Mazmur 127 terdiri dari dua bagian yang sebenarnya saling terpisah. Di kemudian hari dua bagian itu digabungkan menjadi seperti sekarang. Dugaan ini didasarkan pada karakteristik yang berlainan antara ayat 1-2 dan ayat 3-5.
Menurut saya, dugaan ini tidak terlalu meyakinkan. Tidak ada bukti tekstual bahwa ayat 1-2 dan ayat 3-5 pernah disirkulasikan secara terpisah. Semua terjemahan dan salinan kuno yang ada menggabungkan keduanya. Beberapa kutipan juga mengarah ke sana. Lagipula ayat 1-5 menyediakan beberapa petunjuk tentang kesatuan. Ada permainan kata (atau bunyi) antara “orang yang membangunnya” (bônāyw, ayat 1) dan “anak-anak lelaki” (bānîm, ayat 3). Mazmur ini juga diawali dan diakhir dengan rujukan pada “keluarga - kota” (ayat 1 rumah - kota, ayat 4-5 anak-anak pada masa muda – pintu gerbang kota).
Berdasarkan penjelasan di atas, kita akan memperlakukan seluruh Mazmur 127 sebagai satu kesatuan yang berbicara tentang keluarga. Kini tiba saatnya bagi kita untuk melihat teks ini secara lebih detil.
TUHAN dan keluarga
Jika Mazmur 127 benar-benar membahas tentang keluarga, mazmur ini termasuk salah satu yang paling jelas berbicara tentang keterlibatan TUHAN dalam sebuah keluarga. Allah tidak hanya sibuk dengan hal-hal yang terlihat besar, misalnya bait Allah, negara, atau bangsa-bangsa. Dia juga peduli dengan hal terlihat kecil, yaitu keluarga. Perhatian Allah tidak ditentukan oleh jumlah orang. Keluarga juga penting di mata Allah. Jika Dia menganggap demikian, mengapa sebagian orang Kristen justru menyepelekan keluarga mereka?
Melalui teks hari ini, dan sesuai dengan struktur teks yang ada, kita akan belajar tentang dua hal penting. Ayat 1-2 menyoroti kesia-siaan semua usaha jika tanpa TUHAN. Ayat 3-5 merayakan keluarga besar sebagai berkat dari TUHAN.
Kesia-siaan semua usaha jika tanpa TUHAN (ayat 1-2)
Pemunculan kata “sia-sia” secara konsisten di dua ayat ini menunjukkan bahwa ayat 1-2 memang layak diperlakukan sebagai sebuah kesatuan tekstual. Selain itu, pemunculan seperti ini sekaligus menyiratkan pesan utama di ayat 1-2. Yang ingin ditekankan adalah “kesia-siaan usaha manusia jika tanpa TUHAN”.
Teks ini tentu saja tidak menentang kerja keras. Tidak salah untuk membangun rumah (ayat 1a). Menjaga kota dengan hati-hati juga sebuah tugas yang penting (ayat 1b). Bekerja keras mencari nafkah juga patut dipuji (ayat 2a). Bagian Alkitab bahkan menekankan kerja keras (Pkt. 11:6; 2Tes. 3:6-10). Yang dipersoalkan adalah mengabaikan TUHAN dalam semua usaha tersebut.
Seberapa besar kita menyertakan TUHAN? Jika teks ini dibaca dengan teliti, kita akan menemukan bahwa TUHAN bukan hanya perlu dilibatkan, tetapi Dia juga harus menjadi aktor utama. Pemazmur berkata: “Jika bukan TUHAN yang membangun rumah”. TUHAN yang membangun, bukan sekadar dilibatkan dalam pembangunan. Dia kontraktor, bukan tukang. Hal yang sama berlaku pada penjagaan kota. TUHAN bukan sekadar membantu para penjaga kota. Dia sendiri yang menjaga.
Poin ini terlihat lebih jelas di ayat 2. Yang berjerih-lelah mencari makan belum tentu bisa menikmati hasilnya. Sang Pemberi makan sejati adalah TUHAN. Sejak awal penciptaan memang demikian. TUHAN berkata kepada Adam dan Hawa: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu” (Kej. 1:29).
Bagian terakhir dari ayat 2 menimbulkan kerancuan arti. Apakah yang diberikan oleh TUHAN kepada yang dicintai-Nya? Apakah Dia memberikan berkat materi (penghasilan) pada mereka yang dicintai-Nya pada waktu tidur (LAI:TB/NASB)? Ataukah TUHAN memberikan tidur kepada yang dicintai-Nya (KJV/NIV/ESV)?
Dari sisi konteks, dua opsi ini sama-sama bisa cocok dengan ayat 1-2. Namun, dari sisi tata bahasa, opsi terakhir memang lebih baik. Penerjemah Septuaginta (LXX) tampaknya mengadopsi opsi ini. Jika ini diterima, “tidur” di sini sebaiknya dipahami secara figuratif. Tidur berarti kedamaian atau ketenangan. Jadi, membangun rumah atau menjaga kota di ayat 1 sebenarnya lebih berbicara tentang kedamaian atau ketenangan. Tuhanlah yang mampu menyediakan dan menjamin ketenangan atau kedamaian. Semua usaha manusia akan sia-sia jika TUHAN tidak bekerja. Semua adalah berkat TUHAN.
Keluarga besar sebagai berkat dari TUHAN (ayat 3-5)
Ayat 3 dimulai dengan seruan “lihatlah” (KJV/NASB/ESV) yang menyiratkan sebuah penekanan. LAI:TB memilih terjemahan “sesungguhnya”. Ini merupakan sebuah pilihan yang tidak buruk. Hanya saja, terjemahan hurufiah “lihatlah” bisa memberi kesan yang lebih kuat. Pemazmur seolah-olah sedang memberi gambaran konkrit (yang bisa dilihat) tentang kedamaian atau ketenangan yang dibicarakan di ayat 1-2. Kedamaian itu berbicara tentang kehormatan. Ketenangan ini berkaitan dengan masa tua.
Sebagai catatan, gambaran yang ada di bagian ini mungkin sulit untuk dipahami dari perspektif budaya sekarang. Gambaran ini muncul dari sebuah budaya patriakhal (laki-laki lebih dominan dan penting daripada perempuan). Karena itu, yang dimunculkan di sini hanya ayah dan anak-anak lelaki. Cara pandang masyarakat kuno terhadap berkat TUHAN juga berbeda dengan masyarakat sekarang. Salah satu wujud berkat TUHAN pada jaman dahulu adalah anak, apalagi laki-laki, apalagi jumlahnya banyak. Dengan pemahaman seperti ini, marilah kita sekarang mencoba menggali ayat 3-5.
Ayat 3 memberikan perspektif teologis untuk memahami posisi anak. Anak-anak bukan sekadar hasil sebuah proses alamiah. Mereka adalah pemberian dari Allah (NASB). Bukan sekadar pemberian, melainkan pemberian yang berharga. Mereka adalah milik pusaka (ayat 3a, KJV/NIV/ESV). Mereka juga adalah hadiah atau penghargaan (LAI:TB “upah”; mayoritas versi Inggris “reward”). Hadiah untuk orang-orang yang dicintai-Nya (bdk. ayat 3b). Penghargaan atas gaya hidup mereka yang terus bersandar pada TUHAN.
Ayat 4 mempertajam ayat 3. Pemazmur bukan hanya berbicara tentang anak-anak secara umum atau anak-anak lelaki. Dia menyinggung tentang anak-anak lelaki yang lahir pada muda seseorang. Poin tidak terlalu terlihat dalam terjemahan LAI:TB (ayat 4b “demikianlah anak-anak pada masa muda”). Tidak terlalu jelas masa muda siapa yang dimaksud di sini. Sesuai teks Ibrani, pemazmur sebenarnya berkata: “demikianlah anak-anak lelaki yang lahir pada masa muda seseorang”. Jadi, masa muda di sini merujuk pada ayah.
Situasi di atas digambarkan seperti tabung panah seorang pahlawan (ayat 4-5a). Seorang pahlawan memang perlu keahlian dalam membidikkan panah dengan tepat. Anak panah yang diluncurkan juga harus tajam. Bagaimanapun, dua hal ini tidaklah cukup. Dia juga perlu memiliki banyak anak panah (ayat 5a “membuat penuh tabung panahnya”). Pertempuran seringkali tidak terjadi sesaat. Peperangan seringkali berlangsung sangat lama. Dibutuhkan banyak anak panah untuk memenangkan pertempuran.
Demikian pula dengan orang tua yang memiliki banyak anak yang lahir pada masa muda mereka. Anak-anak yang lahir pada masa muda seseorang bisa memberikan perlindungan yang lebih awal dan lama untuk orang tua mereka. Mereka sudah dewasa sebelum orang tua mereka berusia lanjut. Pada saat orang tua sudah lanjut usia, mereka juga sudah matang untuk memberikan perlindungan dan pemeliharaan. Pada saat musuh-musuh datang di pintu gerbang, anak-anak mampu mempertahankan kota (ayat 5b). Mempertahankan kota berarti mempertahankan kehormatannya. Orang tua tidak akan merasa malu (atau, lebih tepat, dipermalukan). Ada ketenangan dan kedamaian yang diberikan sampai masa tua.
Apakah ada ketenangan dan kedamaian dalam keluarga Anda? Jika tidak, mungkinkah Anda telah salah menempatkan TUHAN dalam keluarga Anda? Mari datang kepada TUHAN dengan penyesalan dan kehancuran. Dia mampu memberikan ketenangan dan kedamaian sejati sampai kekekalan. Dia mampu memulihkan keluarga Anda dan mencurahkan kedamaian itu. Soli Deo Gloria.
Klik link berikut untuk mendapatkan materi PDF : http://rec.or.id/where-is-god-in-your-family.pdf