Dasar Kesatuan Yang Kokoh (Efesus 4:1-6)

Posted on 07/04/2019 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/dasar-kesatuan-yang-kokoh-efesus-4-1-6.jpg Dasar Kesatuan Yang Kokoh (Efesus 4:1-6)

Banyak gereja lebih mirip tempat perkumpulan daripada persekutuan. Berada di tempat yang sama dan melakukan aktivitas yang sama tetapi tidak ada kebersamaan. Tidak saling mengenal sudah menjadi budaya yang makin mengental.

Yang lebih parah, tidak sedikit gereja yang bertikai sampai “berdarah-darah”. Saling menjatuhkan dan menjelekkan. Saling curiga dan prasangka. Beberapa bahkan berujung pada perpecahan gereja yang sangat menyakitkan dan memalukan.

Situasi di atas terlihat begitu kontras dengan panggilan gereja. Untuk apa gereja ada? Apa rancangan Tuhan bagi gereja-Nya?

Teks kita hari ini merupakan nasihat Paulus kepada jemaat di Efesus agar mereka menunjukkan kesatuan yang kokoh. Yang menarik, nasihat ini bukan hanya petuah moral. Bukan pula sekadar tips-tips praktis. Ada fondasi teologis yang melandasi.

Walaupun alur pemikiran Paulus di 4:1-6 mudah untuk diikuti, tetapi secara struktur kalimat bagian ini cukup rumit. Tanpa bermaksud mengesampingkan kesulitan ini, teks hari ini secara sederhana dapat dipahami sebagai berikut. Ayat 1 merupakan inti nasihat, yaitu supaya jemaat hidup sesuai dengan panggilan mereka. Ayat 2-3 menerangkan wujud kehidupan yang memancarkan panggilan tersebut. Ayat 4-6 memberikan dasar bagi kesatuan tadi. Untuk menyederhanakan, kita bisa membagi 4:1-6 menjadi tiga bagian: panggilan (4:1), perwujudan (4:2-3) dan landasan (4:4-6).

 

Panggilan (ayat 1)

Kata sambung “sebab itu” di awal ayat ini perlu digarisbawahi. Ini menyiratkan sebuah bagian yang baru, yaitu nasihat praktis. Sebelumnya Paulus sudah memberi penjelasan teologis tentang kesatuan antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi (2:11-22). Dia juga sudah mengungkapkan kasih dan pengurbanannya demi Injil untuk semua jemaat (3:1-13). Dia juga tidak lupa memanjatkan doa supaya mereka memahami kasih Allah yang tak terbatas (3:14-21). Walaupun demikian, penjelasan teologis, keteladanan dan doa tidaklah cukup. Jemaat juga membutuhkan nasihat-nasihat praktis yang bersumber dari tiga hal tersebut. Itulah yang sedang dilakukan oleh Paulus di 4:1-6.

Seperti sebelumnya, dia menerangkan dirinya sebagai “orang yang dipenjarakan karena Tuhan” (lihat 3:1). Tambahan ini mengandung kekuatan persuasif. Paulus adalah rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi (3:6, 8). Harga yang dibayar agar berita Injil sampai kepada mereka tidaklah murah. Paulus berkali-kali harus mendekam di penjara. Kini dia ingin mengingatkan jemaat tentang betapa berharganya iman yang sudah sampai dan dikaruniakan kepada mereka.

Walaupun figur Paulus sangat penting, dia tidak mau mendasarkan nasihat pada pengultusan individu. Yang terpenting bukan siapa yang turut berperan dalam pendirian suatu gereja. Yang terpenting adalah untuk apa gereja ada. Gereja ada karena panggilan ilahi (4:1).

Kata “panggilan” ini tampaknya diberi penekanan. Kata benda “panggilan” (klēsis) dan kata kerja “dipanggil” (eklēthēte) muncul bersamaan di ayat 1. Kata kerja eklēthēte nanti juga akan muncul kembali di ayat 4.  

Jemaat perlu menyadaribahwa panggilan ini bukan hal yang biasa. Panggilan ini berkaitan dengan kemuliaan dan kekuatan Tuhan yang luar biasa (1:18). Di dalamnya ada pengharapan yang pasti (4:4). Pengharapan tentang penyatuan segala sesuatu di dalam Kristus, baik gereja maupun seluruh ciptaan (1:22-23).

Jemaat dinasihati untuk hidup (lit. “berjalan”; KJV/NASB/ESV) berpadanan dengan panggilan ilahi. Terjemahan “berpadanan” (LAI:TB) sebenarnya tidak terlalu kuat. Kata Yunani yang digunakan di sini mengandung arti “layak” (axiōs). Kemuliaan panggilan juga patut dibarengi dengan kualitas kehidupan yang tinggi.

Keterkaitan antara panggilan ilahi dan gaya hidup Kristiani di sini perlu untuk dicamkan. Apa yang dilakukan oleh Allah (panggilan ilahi) mendahului apa yang sepatutnya dilakukan oleh manusia (gaya hidup Kristiani). Dengan kata lain, gaya hidup kita merupakan respons terhadap karya Allah di dalam hidup kita. Jika kita benar-benar menyadari dan mengalami karya-Nya yang luar biasa, mengapa kita hidup biasa-biasa saja?

 

Perwujudan (ayat 2-3)

Perwujudan dari panggilan ilahi tentu saja sangat beragam. Namun, dalam konteks ini Paulus hanya menyoroti aspek sosial dalam jemaat. Tentang bagaimana setiap jemaat seharusnya berinteraksi satu dengan yang lain.

Dari sisi tata bahasa, perwujudan ini terdiri dari empat hal, yang diungkapkan melalui dua frasa kata depan dan dua frasa partisip. Secara hurufiah, ayat 2-3 dapat diterjemahkan sebagai berikut: “dengan segala kerendahhatian dan kelemahlembutan, dengan kesabaran, [dengan] menanggung satu dengan yang lain dalam kasih, [dengan] mengupayakan sebisa mungkin untuk memelihara kesatuan Roh di dalam ikatan damai sejahtera”. Sekarang marilah kita menelaah masing-masing poin ini.

Pertama, dengan segala kerendahhatian dan kelemahlembutan (ayat 2a). Dalam teks Yunani terlihat dengan jelas bahwa kedua hal ini - kerendahhatian dan kelemahlembutan – memang sengaja dikaitkan secara erat. Keduanya dihubungkan dengan kata sambung “dan” (kai). Kata depan (meta) dan kata sifat (pasēs) memayungi keduanya juga. Struktur seperti ini biasanya dimaksudkan untuk menyiratkan kesatuan, ibarat sebuah mata uang dengan dua sisi. Kesatuan ini tergambar jelas dalam diri Yesus Kristus yang “lemah-lembut dan rendahhati” (Mat. 11:29).

Kata “kerendahhatian” (tapeinophrosynēs) adalah kata yang sama digunakan untuk menggambarkan pelayanan Paulus di Efesus. Dia melayani jemaat dengan segala kerendahhatian (Kis. 20:19, pasēs tapeinophrosynēs). Kata ini berkaitan dengan memandang diri lebih rendah daripada orang lain (Flp. 2:3).

Kerendahhatian harus dibarengi dengan kelemahlembutan (prautēs). Tidak seperti budaya Yunani-Romawo waktu itu yang melihat kelemahlembutan sebagai kelemahan dan kehinaan, kelemahlembutan menyiratkan kekuatan (1Kor. 4:21) atau keunggulan (Gal. 6:1). Beberapa kali kata ini dihubungkan dengan tindakan mengoreksi atau menasihati orang lain yang bersalah (Gal. 6:1; 2Tim. 2:25).

Kedua, dengan kesabaran (makrothymia). Kata ini bisa berarti “bertekun” (dalam situasi yang tidak menyenangkan) atau “bersabar” (terhadap sikap orang lain). Dalam konteks Efesus 4:1-6, arti yang lebih tepat adalah yang terakhir. Kita perlu menunjukkan kelemahlembutan pada mereka yang bersalah. Kita perlu menanggung kesalahan orang lain (lihat poin selanjutnya).

Ketiga, menanggung orang lain (anechomenoi allēlōn en agapē). Terjemahan LAI:TB “tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu” kurang begitu tepat. Kata anechomai (LAI:TB “membantu”) seringkali muncul dalam konteks bersabar terhadap kesalahan atau kebodohan orang lain (1Kor. 4:12; 2Kor. 11:1, 19-20). Di tempat lain Paulus berkata: “Sabarlah (anechomenoi) kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kol. 3:13). Hal ini baru bisa dilakukan apabila kita memiliki kasih yang besar. Tidak peduli seberapa besar kesalahan orang lain, selama kasih kita cukup besar untuk menanggung semuanya itu kita akan mampu untuk bersabar.

Keempat, berusaha memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai sejahtera. Kata “berusaha” (spoudazō) bukan sekadar berusaha asal-asalan (bdk. NIV “make every effort”). Ada kesungguhan (Gal. 2:10) dan hasrat yang besar (1Tes. 2:17). Upaya ini juga seharusnya tidak terlalu sukar untuk dilakukan. Tugas kita bukan menciptakan kesatuan, tetapi memelihara (tēreō). Semua dikerjakan oleh Roh.

 

Landasan (ayat 4-6)

Panggilan ilahi (4:1) menunjukkan arah ke depan: gereja harus berperilaku seperti tujuan yang mulia tersebut. Namun, ini saja tidaklah cukup. Harus ada fondasi yang kuat untuk menuju ke sana. Itulah yang disinggung oleh Paulus di ayat 4-6.

Ada tujuh kata benda yang dimulai dengan kata sifat “satu”: tubuh, Roh, pengharapan, Tuhan, iman, baptisan, dan Bapa. Jika diamati lebih seksama, struktur bagian ini bersifat Trinitarian: Roh = Roh Kudus, Tuhan = Yesus Kristus dan Allah = Bapa.

Roh dikaitkan dengan satu tubuh dan satu pengharapan (4:4). Oleh Roh Kudus semua orang percaya memperoleh jalan masuk yang sama menuju Bapa (2:18). Semua orang merupakan tempat kediaman Roh (2:22). Itulah sebabnya mereka disebut satu tubuh. Roh juga menjadi meterai dan jaminan kepemilikan (1:13-14) sampai hari penyelamatan tiba (4:30). Itulah sebabnya semua orang percaya berbagi pengharapan yang sama.

Ada dua poin dihubungkan dengan Yesus Kristus (Tuhan), yaitu satu iman dan baptisan (4:5). Iman di sini lebih merujuk pada substansi keyakinan daripada perasaan. Iman yang benar tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan yang benar tentang Anak Allah (4:13). Salah satu manifestasi publik dari iman yang benar itu adalah baptisan. Baptisan menyimbolkan bahwa semua orang percaya telah dipersatukan dengan Kristus, dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rm. 6:1-13).

Kesatuan ini mencapai klimaks pada Bapa (4:6). Dia adalah sumber dari segala sesuatu (3:14-15). Dia melebihi segala sesuatu. Dia bekerja di dalam segala sesuatu. Dia memenuhkan segala sesuatu. Visi global penyatuan segala sesuatu oleh Bapa di dalam Kristus Yesus seharusnya sudah tercermin dalam kehidupan bergereja mulai sekarang.

Pola Trinitarian di atas menyiratkan bahwa doktrin ini bukan ajaran yang abstrak atau basi. Seluruh aspek kehidupan Kristiani bersumber dari relasi antar Pribadi dalam Tritunggal. Kita hanya mencerminkan relasi tersebut melalui kesatuan di dalam keragaman. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community