Pendahuluan:
Ada satu pertanyaan sederhana yang perlu kita pikirkan diawal khotbah, yaitu: apa tandanya seseorang dapat dikategorikan sebagai orang yang telah mengenal dan mengasihi Allah? Mengasihi saudarnya (1Yoh. 4:20). Kasih adalah inti dari kehidupan kekristenan. Sebagaimana hati Kristus selalu digerakan oleh belaskasihan maka demikian juga seharusnya kehidupan setiap orang yang mengakui dirinya sebagai murid Yesus.
Dalam Alkitab, Perintah atau panggilan untuk mengasihi muncul secara konsiten, jelas dan berulang-ulang dengan penekanan sisi-sisi yang berbeda, tetapi pada akhirnya bermuara pada satu tujuan yaitu bagaimana setiap orang percaya harus mengasihi dengan cara-cara yang Allah inginkan.
Isi:
Jika kita membandingkan Lukas 10:25-37 dengan Injil Matius dan Markus, kita akan menemukan suatu perbedaan yaitu dalam catatan Lukas, kisah tentang hukum yang terutama digabungkan dengan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati, sedangkan dalam catatan Matius dan Markus tidak demikian (bdk: Mat. 22:34-40; Mar. 12:28-34). Hal ini memang segaja dilakukan karena Lukas ingin menekankan tentang elemen-elemen kasih yang sesungguhnya Allah inginkan, namun elemen-elemen tersebut tidak dipahami dan terabaikan dalam kehidupan oran Yahudi, yaitu:
Mengasihi Allah dan sesama adalah dasar bagi setiap ketaatan yang manusia lakukan (ay. 25-28).
Kisah ini diawali dengan sebuah keterangan bahwa ada seorang Ahli Taurat yang ingin mencobai Yesus. Kata mencobai dalam catatan Alkitab bisa bermakna positif atau negatif. Namun jika dikaitkan dengan kebiasaan orang Farisi dan Ahli Taurat maka dalam mencobai Yesus maka cenderung bermakna negatif, yakni ingin menjebak Yesus atau menyombongkan diri sendiri (Luk. 11:16; Mar. 8:11).
Dalam bagian ini, upaya untuk mencobai Yesus dilakukan dalam bentuk pertanyaan "apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh atau mewarisi hidup yang kekal" Ini berarti satu tindakan yang besar atau serangkaian tindakan manusia. Orang ini, sebagaimana kebanyakan orang Yahudi abad pertama (bdk: Luk. 18:18), mendasarkan keselamatan pada tindakan manusia dan manfaat (menjaga Hukum Musa, Im. 18:5; Gal. 3:1-14 ). Pertanyaan tentang hidup kekal pada dasarnya adalah sebuah pertanyaan yang baik dan penting, namun kerena diawali dengan motivasi yang tujuan yang salah maka berkonotasi negatif. Tujuan dari pertanyaan ini mungkin saja ditujukan untuk menguji pengetahuan Yesus, atau mendapat jawaban Yesus yang bertentangan dengan hukum Taurat sehingga ada celah untuk menyeret Yesus ke pengadilan.
Tetapi Yesus menjawab pertanyaan ahli Taurat dengan mengajukan sebuah pertanyaan untuk menggiring Si ahli Taurat kepada kebenaran yang sudah tertulis dalam Taurat. Berdasarkan jawaban yang diberikan, dapat disimpulkan bahwa Si ahli Taurat sesungguhnya mengetahui dengan baik tentang inti dari seluruh hukum Taurat yaitu mengasihi Allah dengan sepenuh hidupnya dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Hukum ini mengacu pada Ul. 6:4-5, yang disebut Shema (doa rutin orang Yahudi), dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Ini adalah kutipan dari Im. 19:18.
Mendengar jawabannya, Yesus tidak menyatakan salah tetapi sebaliknya meneguhkan jawaban dari Si ahli Taurat. Dari bagian ini dapat disimpulkan bahwa Yesus sama sekali tidak menyangkali atau meniadakan hukum Taurat. Penegasan Yesus dalam ayat 28 justru menunjukan bahwa hukum Taurat pada dasarnya baik. Melalui Taurat manusia dituntun untuk mengenal kehendak Allah. Tetapi hukum yang baik itu akan menjadi rusak jika motivasi dan tujuannya dipisahkan dari kasih kepada Allah dan sesama.
Mengasihi Allah terintegrasi dengan mengasihi sesama (ay. 28-29).
Setelah mendengar jawaban Yesus, Si ahli Taurat kembali mengajukan satu pertanyaan, yang menurut keterangan Lukas adalah suatu usaha untuk membela atau membenarkan diri. Mengapa harus membela diri? Ada dugaan bahwa meskipun Si ahli Taurat mengetahui dengan baik tentang hukum yang terutama dalam Taurat, namun hukum itu tidak terintegrasi dalam sikap hidupnya khususnya yang berkaitan dengan mengasihi sesama.
Dalam hal mengasihi sesama orang Yahudi membatasi cakupannya yaitu hanya sebatas sesama orang Yahudi. Orang-Orang di luar suku Yahudi dianggap sebagai orang-orang yang layak untuk dimurkai dan tidak perlu untuk dikasihi. Apalagi jika berkaitan dengan orang Samaria, ada catatan yang menyebutkan bahwa bagi orang Yahudi, makan bersama dengan seorang Samaria adalah sama artinya dengan makan bersama babi dan ini najis hukumnya. Dengan tradisi yang demikian maka sulit bagi seorang Yahudi untuk mengasihi sesama dalam cakupan yang sesungguhnya, sehingga melalui pertanyaan keduanya Si ahli Taurat berharap agar Yesus mengurangi tuntutan dari hukum mengasihi sesama dalam Taurat, sehingga ia tidak dapat disalahkan.
Tetapi berdasarkan jawaban Yesus diayat 28, perintah Yesus agar Si ahli Taurat melakukan Hukum yang utama dalam Taurat dengan jelas mengindikasikan bahwa mengasihi Allah tidak dapat dipisahkan dari mengasihi sesama. Mengasihi sesama merupakan bukti yang otentik bahwa seseorang sungguh-sungguh mengasihi Allah. Tidak mungkin untuk mengasihi Allah dan membenci orang yang diciptakan menurut gambar-Nya (bdk: 1Yoh. 2:9-11; 3:15; 4:20).
Apa yang kita praktekan dalam tindakan merupakan manifestasi dari karekater dan kecondongan hati kita yang sesungguhnya sehingga adalah suatu yang mustahil jika kita dengan yakin mengasihi Allah, tetapi tidak mengasihi sesama kita.
Mengasihi sesama adalah suatu tindakan nyata, bukan sekedar konsep yang disetujui (ay. 30-37).
Dalam menjawab pertanyaan ahli Taurat tentang siapakah sesamaku, Yesus menjawab dengan sebuah perumpamaan “seorang Samaria yang murah hati.” Fokus Yesus melalui perumpamaan ini tidak untuk menjelaskan siapa sesamaku tetapi lebih dari itu adalah bagaimana seseorang harus bertindak untuk menjadikan dirinya sesama bagi orang lain.
Beberapa ironis yang muncul dalam perumpamaan Yesus adalah respon atau tindakan seorang Imam dan seorang Lewi terhadap orang yang membutuhkan pertolongan tidak sesuai dengan pengetahuan mereka tentang hukum kasih. Sebaliknya respon atau tindakan yang berbeda dimiliki oleh seorang Samaria yang sangat dianggap najis oleh orang Yahudi dan sangat mungkin tidak memiliki hukum kasih seperti orang Yahudi. Bahkan Yesus menyebutkan dengan cukup detil, setiap tindakan orang Samaria kepada korban perampokan yang dijumpainya.
Dalam ayat 33, Yesus menjelaskan bahwa pertolongan yang diberikan oleh orang Samaria merupakan wujud dari hati yang digerakan oleh belas kasihan. Kata Yunani untuk belas kasihan secara literal bererti “tergerak bagian dalam tubuhnya.” Itu berarti bahwa hati yang berbelas kasihan akan akan menggerakan kita untuk mendekat kepada seseorang dan masuk atau menempatkan diri dalam situasi orang tersebut. Ungkapan yang sama juga dikait dengan tindakan-tindakan Yesus ketika menolong orang-orang yang menderita (bdk: Luk. 7:13; 15:20).
Fakta ini menunjukan kepada kita bahwa hati yang berbelas kasihan kepada sesama selalu berujung suatu tindakan atau aksi yang kongkret dan kontekstual, dan ditujukan kepada siapa saja tanpa memandang golongan, suku, kelompok, dan sebagainya. Dalam hal ini, kasih dan iman memiliki keserupaan (Yak. 2:15-16).
Aplikasi:
Adakah selama ini, segala bentuk ketaatan yang kita lakukan bersumber dari hati yang mengasihi Tuhan dan sesama?
Adakah kasih kita kepada Tuhan juga membuat kita semakin mengasihi sesama kita?
Tindakan nyata apa yang telah kita lakukan sebagai wujud dari hati yang berbelas kasihan kepada orang lain?