Cinta Kuat Seperti Maut (Kidung Agung 8:6-7)

Posted on 03/02/2019 | In Teaching | Leave a comment

Pernikahan sangat sukar dipisahkan dari cinta. Walaupun cinta tidak seharusnya menjadi pondasi pernikahan, tetapi nilai cinta dalam pernikahan tetap diakui oleh banyak orang. Seberapa pentingkah cinta dalam pernikahan? Seberapa kuatkah cinta dalam sebuah relasi?

Teks kita hari ini merupakan salah satu bagian yang paling banyak dikutip dan  paling mudah diingat di antara sekian banyak ayat dalam kitab Kidung Agung. Siapa yang tidak pernah mendengar ungkapan “cinta itu kuat seperti maut?” Banyak orang dengan sigap juga akan mengaminkan kekuatan cinta. Cinta bisa membuat orang melakukan apapun, bahkan hal-hal yang dia benci sekalipun (jika cintanya pada seseorang melebihi kebenciannya terhadap sesuatu).

Penerjemah LAI:TB secara tepat memisahkan ayat 5-14 dari ayat 1-4. Frasa “mengapa/jangan membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya” (2:7; 3:5) memang beberapa kali muncul sebagai penutup suatu bagian. Selain itu, penulis kitab ini sering memulai suatu bagian yang baru dengan sebuah pertanyaan (ayat 5; bdk. 3:6).

Banyak penafsir Alkitab mengklaim bahwa 8:6-7 menempati “klimaks” dalam kitab ini. Jika bagian lain dari kitab ini biasanya menceritakan tentang ungkapan kisah cinta laki-laki dan perempuan, baik yang ditampilkan dalam bentuk monolog atau dialog,  maka bagian ini menampilkan sesuatu yang agak berbeda. Ada yang menyebut bagian ini sebagai ‘eulogy of love’ (sanjungan terhadap cinta). Hal ini disebabkan karena isinya yang mengungkapkan tentang kualitas dan natur cinta secara umum, tidak semata antara pasangan tertentu.

 

Dua elemen cinta (ayat 5-6a)

Bagian ini menjelaskan bahwa cinta bukan hanya berbicara tentang kemesraan. Ada ruang untuk kemesraan antara suami dan isteri. Bahkan hubungan seksual yang hangat merupakan salah satu tanda pernikahan yang kuat. Walaupun demikian, cinta melebihi kemesraan.

Yang pertama, cinta berbicara tentang ingatan yang manis (ayat 5). Salah satu hal yang menarik dari ayat ini adalah rujukan tentang masa lalu. Ada rujukan tentang ibu sang laki-laki yang mengandung dan melahirkannya. Diibaratkan ketika sang perempuan melihat pohon apel, dia mengingat bahwa di sanalah dia membangunkan kekasihnya, di sanalah ibu sang laki-laki juga melahirkan, di sana jugalah ibu sang lelaki mengandung. Jadi, cinta itu berbicara tentang menempatkan seseorang dalam pikirannya secara berulang-ulang. Apa yang terus-menerus ada di dalam pikiran kita menunjukkan apa yang paling kita cintai.

Yang kedua, cinta berbicara tentang kepemilikan (ayat 6a). Cinta diibaratkan seperti meterai. Dalam budaya kuno, meterai (yotam) merujuk pada sebuah benda yang dipakai di leher yang diikat dengan tali (Kej. 38:18) ataupun benda yang berfungsi seperti cincin yang dilingkarkan di jari tangan (Yer. 22:24). Secara umum hotam ini bentuknya bermacam-macam tetapi fungsinya tetap sama, yaitu menghindarkan sesuatu yang tertutup atau terikat dapat dibuka atau dilepaskan secara sembunyi-bunyi. Dengan istilah lain, hotam itu menjadi tanda kepemilikan seseorang terhadap sesuatu, entah orang atau benda.

Perbedaan budaya seperti di atas menimbulkan kesulitan dalam terjemahan. Tidak ada padanan yang persis dalam budaya sekarang. Penerjemah LAI:TB memilih kata “meterai,” karena kata itu dianggap memiliki makna yang paling dekat. Terlepas dari keterbatasan terjemahan ini, inti yang ingin disampaikan tetap sama, yaitu kepemilikan.

Penempatan hotam di hati dan lengan juga merupakan gambaran yang cukup menarik dan sulit dipahami oleh orang modern, terutama posisi di lengan. Biasanya yang muncul adalah di hati dan tangan (Ams. 7:1-3; Ul. 11:18) atau di hati dan leher (Ams. 6:21). Para penafsir tidak bisa memastikan mengapa kata “lengan” muncul di sini. Sebagian memahami lengan sebagai perwakilan dari seluruh bagian (tangan dan jari).   

Penggunaan kata hotam dan keterangan tentang posisinya (di hati dan lengan) menyiratkan bahwa sang wanita sebenarnya meminta dirinya dimiliki oleh kekasihnya dan dijadikan sesuatu yang sangat berharga serta dibawa ke mana-mana, seolah-olah tidak ingin barang itu hilang. Makna ini akan diperkuat di ayat 6 ketika ada pembicaraan tentang kecemburuan (LAI:TB “kegairahan”).

 

Alasan bagi ingatan dan kepemilikan (ayat 6b-7)

Kualitas cinta yang mencakup memori dan kepemilikan seseorang terhadap orang lain itu  hanya bisa dipahami dengan memahami natur cinta itu sendiri. Mengapa seseorang dapat memikirkan orang lain secara terus menerus? Mengapa seseorang ingin memberikan hidupnya untuk dimiliki oleh orang lain?

Penjelasannya ada di ayat 6b-7 (bdk. kata sambung “karena” atau “sebab” di ayat 6b). Cinta merupakan sebuah misteri kehidupan. Orang yang merasakan dan memilikinya juga belum tentu memahami definisi dan menyadari kekuatan cinta. Cinta selalu melebihi kata-kata. Penulis kitab ini mungkin sangat memahami kesulitan ini. Itulah sebabnya dia berusaha menerangkan cinta melalui metafora-metafora yang cukup populer dan dapat dipahami orang pada zamannya.

Metafora pertama yang dipakai untuk menggambarkan natur cinta adalah maut (ayat 6b). Di sini penulis mengaitkan “cinta” dengan “kecemburuan” (LAI:TB “kegairahan”). Keduanya diibaratkan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Hal ini tentu saja tidak mengherankan, karena cinta berkaitan dengan kepemilikan (bdk. ayat 5). Alkitab juga memberikan contoh tentang hal ini, yaitu kecemburuan TUHAN tatkala bangsa Israel menyembah berhala. Sebagai umat Allah, mereka menjadi milik TUHAN, tetapi justru menyerahkan diri kepada illah-illah lain. .  

Baik cinta atau kecemburuan sama-sama dikaitkan dengan kematian (maut dan dunia orang mati). Metafora ini cukup bias. Sebagian penafsir mengaitkan kata sifat “kuat” dan “gigih” dengan orang yang sedang “berperang atau berselisih”. Mereka lantas menghubungkannya dengan mitos tentang kematian Dewa Baal. Dalam  mitologi orang Semitik kuno, kematian itu diibaratkan seperti seorang dewa yang sangat kuat, bahkan mampu mengalahkan Dewa Baal yang diyakini sebagai dewa tertinggi saat itu. Jika ini benar, inti yang ingin disampaikan adalah kekuatan cinta yang tidak dapat dibendung oleh apapun.

Sebagian penafsir menolak mengaitkan teks ini dengan mitologi kuno tadi. Mereka memahami kematian apa adanya. Kematian ya kematian. Siapapun pasti mati. Jika sudah mati, tidak ada seorangpun yang dapat membalikkannya lagi. Jika ini benar, inti yang ingin disampaikan adalah komitmen yang tidak dapat dibalik. Sekali masuk, tidak akan ada lagi putaran balik.

Kita sukar menentukan opsi mana yang lebih baik. Walaupun demikian, arti dasarnya tetap sama, yaitu kekuatan cinta yang tak tertandingi. Arti seperti ini juga muncul di bagian selanjutnya.

Metafora yang lain untuk cinta adalah api (ayat 6c). Sama seperti sebelumnya, beberapa penafsir mencoba mengaitkan kata “api” (rešep) dengan salah satu dewa dalam mitologi Ugarit yang digambarkan sedang mengacungkan kapak dan siap mendatangkan wabah atau sampar (bdk. Hab. 3:5; Ul. 32:24).

Penafsiran di atas tampaknya kurang tepat. Kata “api” di ayat 6c ini muncul dalam bentuk jamak. Kita sebaiknya memahami api dalam arti yang biasa. Lebih jauh, ini bukan sembarang api. Ini adalah api TUHAN (jika kata yah dipahami sebagai singkatan bagi YHWH). Kata “TUHAN” di sini mungkin menyiratkan makna superlatif (yang paling). Api TUHAN berarti api yang paling besar dan hebat.

Masyarakat kuno tidak akan mengalami kesulitan memahami kekuatan api. Api dapat menghabiskan sebuah hutan atau kota. Dalam budaya kuno dulu, tidak ada alat-alat yang hebat untuk memadamkan api. Api tetap dianggap sebagai kekuatan yang hebat.

Metafora ketiga yang dipakai untuk menggambarkan natur cinta adalah air (ayat 7a). Penggunaan istilah “air yang banyak” (mayim rabbim)  memiliki banyak latar belakang mitologisnya. Diceritakan tentang adanya peperangan antara dewa pencipta dengan dunia air yang mengalami kekacauan. Di Ugarit, dalam cerita perang antara Baal dan Yam (dewa air yang kacau), maka Yam disebut dengan julukan “Pangeran Laut”   dan “Hakim atas sungai”. Cerita ini bukan hanya terkenal di daerah Mesopotamia maupun Ugarit tetapi juga di Alkitab (Ayub 38:4-12).

Terlepas dari keterkaitan yang ada dengan mitologi kuno tersebut, gambaran tentang “air”,  entah sungai atau laut memang menggambarkan sesuatu yang ditakuti yang berada di luar kekuasaan manusia. Manusia tidak mampu mengetahui apa yang terjadi di kehidupan bawah laut dan itu digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam Kitab Mazmur “air yang banyak” ini menjadi sinonim dengan kematian (Mzm. 18:5-6, 17; Yun. 2:3-7).

Namun metafora kali ini agak berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya cinta diibaratkan seperti dunia orang mati dan api, kali ini cinta bukan diibaratkan seperti air yang banyak itu. Kali ini cinta diletakkan di atas atau melampaui air yang menakutkan itu.  Kekuatan air sebanyak apapun dan tak terkalahkan tidak akan mampu menghentikan cinta. Intinya cinta itu pada naturnya melampaui sesuatu yang biasanya secara hakikat atau normal mampu mengalahkan banyak hal. Di hadapan cinta, nalar mampu dikalahkan.

Metafora terakhir adalah harta (ayat 7b). Kali ini arti di balik metafora ini tidak sukar untuk ditemukan. Inti yang mau disampaikan adalah keberhargaan cinta. Tidak peduli seberapa banyak harta yang dimiliki seseorang, dia tidak dapat membeli cinta yang sejati. Cinta jenis ini tidak terbeli. Berharga, walaupun gratis.

Untuk menekankan keberhargaan ini digunakan kata “pasti” (LAI:TB). Dalam teks Ibrani penekanan ini diperoleh melalui akar kata dengan infinitif mutlak (bôz). Sebagian besar versi Inggris memilih terjemahan “sungguh-sungguh” atau “sama sekali”.     

Semua karakteristik cinta di atas terwujud dalam pengorbanan Yesus Kristus bagi kita. Dia begitu menginginkan kita. Apapun Dia lakukan untuk mendapatkan kita. Seharusnya tidak sukar bagi kita untuk membagikan apa yang kita sudah terima dari Dia. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko