Bagi sebagian orang, menjadi “orang Kristen” hanya dibatasi dan diukur dari aktivitas relijius di dalam gereja. Ibadah dipahami secara sempit: hari, tempat, atau aktivitas ritual tertentu. Tidak heran, mereka terjebak pada kerohanian yang dikotomis: apa yang dilakukan di gereja tidak selaras dengan apa yang dilakukan di luar gereja.
Ketimpangan seperti di atas ternyata bukan hal yang baru. Bangsa Yehuda di Perjanjian Lama juga pernah terjerumus ke dalam kesalahan yang sama. Berbagai ritual relijius tetap mereka praktekkan, namun kehidupan sehari-hari mereka terlihat bertolak belakang dengan semua kesalehan relijius tersebut. Ibadah seperti apa yang ditunjukkan oleh bangsa Israel? Bagaimana TUHAN memandang semuanya ini? Apa yang sebenarnya diharapkan oleh Dia?
Ritual yang kosong
Jika “relijius” diukur dari kerajinan dan ketepatan dalam hal-hal ritual, bangsa Yehuda pantas disebut “sangat relijius”. Mereka membawa korban dan persembahan yang banyak (ayat 11). Berbagai jenis binatang korban disebutkan di ayat ini: domba jantan, anak lembu, lembu jantan, domba-domba, dan kambing jantan. Keragaman ini selaras dengan kelimpahan korban yang dibawa kepada Allah. Ayat 13 juga menyinggung tentang jenis korban lain, yaitu wangi-wangian (Kel. 30:9).
Bukan hanya banyak, semua korban itu juga tampaknya masuk ke dalam kategori korban yang terbaik (ayat 11b). Yang dipersembahkan adalah binatang yang gemuk (LAI:TB “anak lembu gemukan”; NIV “fattened animals”). Bukan yang sakit atau kurus kering. Lebih jauh, bagian yang dibakar di hadapan TUHAN adalah lemak-lemaknya. Lemak menyimbolkan bagian yang terbaik dan dikhususkan untuk TUHAN serta yang paling disukai oleh TUHAN (Im. 3:14-17).
Tidak berhenti sampai di situ. Ibadah bangsa Yehuda juga sangat berdisiplin. Mereka tidak pernah lupa untuk menghadap kepada TUHAN (ayat 12). Berbagai hari raya dan pertemuan-pertemuan relijius menjadi kesukaan mereka: bulan baru, Sabat, dan pertemuan-pertemuan relijius lainnya (ayat 13). Pertemuan-pertemuan yang tetap juga tidak dilupakan maupun diabaikan (ayat 14; lit. “pertemuan-pertemuan yang sudah ditentukan”).
Sikap yang hormat (sungguh-sungguh) dalam ibadah juga diperlihatkan oleh bangsa Yehuda melalui gestur mengangkat tangan pada saat berdoa (ayat 15). Doanya pun dipanjatkan berulang-ulang. Mengangkat tangan dalam konteks ibadah sebenarnya cukup lazim dan penting. Konotasi di balik sikap ini adalah positif. Musa berdoa sambil mengangkat tangan pada saat bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek (Kel. 17:11). Harun mengangkat tangan sebagai tanda berkat TUHAN atas umat Israel (Im. 9:22). Bangsa Yehuda menyambut ucapan Ezra dengan berkata “Amin” sambil mengangkat tangan (Neh. 8:7).
Respons TUHAN terhadap ritual yang kosong
Terlepas dari praktek-praktek relijius yang terlihat begitu luar biasa di atas, TUHAN ternyata menerapkan ukuran yang berbeda untuk melihat kerohanian dan keagamaan orang. Di mata TUHAN, apa yang dilakukan oleh bangsa Yehuda merupakan ritual yang kosong (ayat 13a). Ungkapan “yang tidak sungguh” (LAI:TB) sebenarnya kurang begitu tepat. Yang ditekankan bukan dari sisi orang, melainkan TUHAN. Terjemahan yang lebih hurufiah adalah “yang sia-sia” (KJV/ASV/ESV), “yang tidak berharga” (NASB) atau “yang tidak berarti” (NIV/NLT). Keengganan Allah dalam menjawab doa mereka (ayat 15) merupakan salah satu bukti bahwa ibadah mereka kosong. Tidak ada manfaatnya sama sekali bagi mereka.
Mengatakan bahwa ibadah mereka adalah kosong mungkin terlalu menyederhanakan persoalan. Ada penilaian lain yang lebih buruk. Ritual mereka bukan hanya kosong, melainkan menyesakkan hati TUHAN. Allah bukan sekadar “tidak menyukai” (ayat 11b), tetapi Dia membenci semua itu (ayat 14).
Sayangnya, kebencian ini tidak terungkap dengan jelas dalam terjemahan LAI:TB (“Aku benci melihatnya”). Dalam teks Ibrani, tidak ada kata kerja “melihatnya”. Terjemahan yang lebih hurufiah mungkin adalah “jiwa-Ku membencinya” (mayoritas versi Inggris). Pilihan kata ini merujuk pada bagian yang terdalam dalam diri Allah. Penekanan bukan terletak pada apa yang Dia lihat (kontra LAI:TB), melainkan apa yang Dia rasakan di lubuk hati-Nya yang terdalam.
Kekecewaan mendalam inilah yang membuat TUHAN tidak dapat menahan lagi. Dia “tidak tahan melihatnya” (LAI:TB). Dalam teks Ibrani bagian ini tidak terlalu jelas. Yang muncul hanya “Aku tidak mampu”. Tidak mampu apa? Menurut penerjemah LAI:TB, tidak mampu melihatnya. Menurut sebagian versi, tidak mampu menanggungnya (RSV/NASB). Opsi terakhir ini tampaknya lebih tepat. Di ayat 14b TUHAN berkata: “semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya”.
Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak beribadah sama sekali sebenarnya lebih baik daripada beribadah dengan cara yang salah. Tidak beribadah merupakan penyangkalan terhadap TUHAN, tetapi beribadah dengan cara yang salah merupakan penghinaan terhadap Dia. Dua-duanya sama-sama buruk. Jika TUHAN harus memilih salah satu, Dia ternyata memilih yang pertama.
Mengapa TUHAN bersikap seperti itu? Apa yang salah dengan ibadah yang dipraktekkan oleh bangsa Yehuda? Pada dirinya sendiri, semua ritual itu tidaklah keliru. TUHAN bahkan yang memerintahkannya. TUHAN memang menginginkan korban yang banyak, terbaik, berdisiplin maupun hormat.
Kesalahan mereka terletak di sini: mereka membatasi ibadah kepada TUHAN hanya pada ritual-ritual relijius. Mereka melupakan satu hal yang penting: persembahan kepada TUHAN dalam ibadah hanyalah simbol dari penyerahan diri yang total kepada Dia. Apa yang dilakukan selama beberapa jam di bait Allah hanyalah cerminan dari apa yang dilakukan 24 jam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tampaknya perlu mendengarkan ulang apa yang diucapkan oleh Samuel kepada Saul: “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan” (1Sam. 15:22). Jadi, setiap ibadah yang berkenan di hadapan TUHAN harus dimulai dari penyerahan kehidupan yang total kepada-Nya.
Jika diukur dari konsep ibadah seperti ini, bangsa Yehuda jelas gagal total. Mereka disamakan dengan penduduk Sodom dan Gomora yang sangat terkenal dengan kefasikan dan kebebalan mereka (ayat 10). Dari sisi kehancuran yang (akan) menimpa, keadaan Yehuda (1:8) hampir sama dengan Sodom dan Gomora. Dari sisi kerohanian, keadaan bangsa Yehuda sama persis dengan mereka (1:10).
Kehidupan mereka dipenuhi dengan kejahatan. Tangan mereka penuh dengan darah (ayat 15b). Ungkapan ini sangat ironis. Banyaknya darah yang mereka tumpahkan di atas mezbah untuk pengampunan dosa mereka ternyata sama dengan banyaknya darah orang lain yang mereka tumpahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Para penafsir Alkitab memperdebatkan makna di balik “tangan mereka penuh dengan darah”. Sebagian memahami secara hurufiah: kejahatan mereka benar-benar melibatkan pembunuhan). Yang lain melihatnya secara figuratif: perwakilan paling tegas dari seluruh kejahatan yang mereka lakukan. Mereka juga menyoal tentang ketepatan dari ungkapan ini: apakah gambaran di dalamnya benar-benar seperti itu atau hiperbolis (dibesar-besarkan untuk efek retoris)?
Berdasarkan ayat 16-17, kita sebaiknya menafsirkan bagian ini secara seimbang. Tidak ada bukti yang eksplisit bahwa mereka melakukan pembunuhan yang melibatkan darah. Namun, bukan berarti dampak dari kejahatan mereka kurang tragis dibandingkan dengan pembunuhan secara langsung. Kegagalan mereka dalam mengendalikan orang-orang kejam (ayat 17) bisa saja berakibat pembunuhan bagi orang-orang yang menjadi korban kekejaman mereka. Ketidakpedulian mereka terhadap keadilan bagi anak-anak yatim dan para janda (ayat 17) dalam konteks kuno berarti ketidakadaan perlindungan dan sumber penghasilan bagi mereka. Keadaan ini jelas tidak lebih baik daripada membunuh mereka secara langsung.
Dengan semua kejahatan dan dampaknya yang tragis ini, tidak heran TUHAN memiliki pandangan yang begitu buruk terhadap ibadah mereka. Apa yang mereka lakukan dalam kehidupan berpengaruh terhadap cara TUHAN memandang ibadah mereka. Perkumpulan mereka merupakan “perkumpulan yang penuh kejahatan” (LAI:TB/NIV).
Jikalau ibadah yang benar harus melibatkan kehidupan yang benar, maka ibadah yang benar juga tidak dapat dipisahkan dari Yesus Kristus, Sang Kebenaran. Hanya melalui korban-Nya yang sempurna kita bisa disempurnakan. Kebenaran-Nya menjadi alasan bagi Allah untuk membenarkan kita. Sesudah dibenarkan secara cuma-cuma, sudah sepatutnya kita hidup seturut dengan kebenaran. Hanya dengan proses seperti inilah kita dapat memberikan ibadah yang memperkenankan hati Allah. Soli Deo Gloria.