Bolehkah orang Kristen merayakan Imlek?

Posted on 22/02/2015 | In QnA | Leave a comment

Beberapa hari yang lalu kita baru saja merayakan Imlek. Banyak orang memanfaatkan momen ini untuk berkumpul bersama keluarga besar atau liburan bersama keluarga. Walaupun sebagian orang Kristen turut menyambut Imlek dengan sukacita, sebagian lagi memilih untuk tidak merayakan sama sekali. Bagi kelompok yang kedua ini, perayaan Imlek dianggap kafir dan bertentangan dengan firman Tuhan. Benarkah demikian?

Pertama-tama kita memang harus mengakui bahwa asal-usul perayaan ini diwarnai oleh kisah-kisah mitologis yang kurang tepat secara perspektif Kristiani. Tradisi pengusiran roh-roh jahat melalui lampion dan petasan jelas berlawanan dengan Alkitab. Motivasi pemberian angpao pun tidak selaras dengan prinsip memberi menurut iman Kristen.

Apakah hal tersebut berarti kita harus menolak perayaan Imlek? Tidak! Kita perlu menyadari bahwa orang-orang Kristen dipanggil untuk mentransformasi budaya (Kej 1:26; Yoh 17:15-19). Tidak ada budaya yang bebas dari distorsi dosa. Tiap budaya memiliki elemen-elemen tertentu yang rusak oleh dosa. Tugas orang Kristen bukan meniadakan semua elemen budaya, melainkan mengubah elemen-elemen yang berdosa tersebut dengan kebenaran firman Allah. Kita terpanggil untuk menunjukkan keunggulan nilai-nilai Kristiani dan memasukkannya ke dalam praktek-praktek budaya tertentu yang pada dirinya sendiri memang tidak keliru. Dengan kata lain, kita memberi landasan filosofi Kristiani pada masing-masing elemen budaya.

Di samping itu, orang-orang Kristen juga terpanggil untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah adaptasi budaya. Artinya, di mana pun kita berada, kita berupaya untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain dengan cara menghargai budaya setempat. Inilah yang dilakukan oleh Paulus dalam pelayanannya (1 Kor 9:19-23). Ia rela menjadi segala-galanya bagi semua orang demi Injil Yesus Kristus.

Apakah Paulus hidup persis seperti orang lain secara mutlak? Tentu saja tidak! Ia bahkan menegur jemaat Korintus yang hidup seperti orang-orang dunia (5:1; 15:33). Paulus hanya mengikuti praktek-praktek tertentu dalam beragama budaya yang ia temui sejauh hal itu pada dirinya sendiri tidak berdosa. Jika suatu praktek sudah salah, baik dari sisi konsep maupun praktek, hal itu jelas tidak boleh diikuti. Misalnya, praktek homoseksualitas di lingkungan orang-orang kafir atau pelacuran bakti di kuil-kuil berhala pada zaman Paulus.

Sebagai contoh, makan bersama keluarga dan membagi-bagikan angpao. Dua praktek ini pada dirinya sendiri tidak keliru. Kita bahkan harus menyediakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga dan berbagi kasih. Tanpa perayaan Imlek pun kita harus mengupayakannya, apalagi kita mempunyai momen yang baik pada saat Imlek. Orang-orang Kristen bisa memanfaatkan dan memodifikasi dua praktek ini supaya lebih Kristiani. Prinsip tentang berbagi kepada orang lain (pemberian angpao) perlu diwarnai dengan prinsip kasih Kristiani: kita mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh 4:7-12). Momen kumpul bersama bisa diisi dengan persekutuan rohani yang menguatkan.

Hal-hal tertentu yang bersifat netral, seperti lampion, pohon angpao, dan baju jibao, tidak usah diributkan. Yang penting kita tidak mempercayai mitos-mitos di baliknya. Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi batu sandungan bagi sesama orang Kristen sebaiknya dihindari, misalnya gambar naga, walaupun pada dirinya sendiri itu hanyalah sebuah seni lukis.

Terakhir, kita juga seyogyanya memikirkan situasi sebaliknya apabila kita memilih untuk tidak merayakan Imlek. Jika kita berada di lingkungan keluarga besar yang masih merayakan Imlek dan kita tidak mau berkumpul bersama mereka, hal itu akan menjadi syak bagi mereka. Sikap apatis dan ofensif mereka terhadap kekristenan akan lebih mengkristal. Jadi, adalah pilihan yang lebih bijaksana apabila kita turut merayakannya, tetapi dengan konsep yang Kristiani dan memanfaatkannya sebagai kesaksian memberitakan iman kita. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko