Dalam sebuah seminar seorang remaja bertanya: “Apakah kita seharusnya membenci atau mengasihi Iblis?” Di balik pertanyaan ini ada sebuah asumsi teologis yang besar: kita dituntut mengasihi semua ciptaan Allah, termasuk Iblis (walaupun Allah hanya menciptakan penghulu malaikat yang pada akhirnya menjadi Iblis). Selain itu, tindakan membenci tampaknya tidak sesuai dengan karakteristik orang Kristen sebagai orang yang penuh kasih. Jadi, ada dua isu utama yang terkandung dalam pertanyaan di atas.
Yang terutama harus kita pahami adalah bahwa tidak semua tindakan membenci adalah salah. Dalam Alkitab tindakan membenci kadangkala diterapkan pada Allah:
Allah membenci orang yang melakukan kejahatan (Mzm 5:6; 11:5; Hos 9:15)
Allah membenci ibadah yang munafik (Am 5:21)
Allah membenci Esau (Mal 1:3//Rom 9:13)
Allah membenci perceraian (Mal 2:16)
Allah membenci dosa-dosa yang lain (Ams 6:16-19)
Senada dengan hal ini, Alkitab pun mengajar kita untuk membenci beberapa hal, misalnya orang yang membenci TUHAN (Mzm 139:21-22), kejahatan (Ams 8:13), dan keluarga (Luk 14:26).
Petunjuk Alkitab di atas mengajak kita untuk mendefinisikan “benci” secara tepat, sesuai dengan konteksnya. Kebencian kepada orang yang berbuat jahat yang dilakukan oleh Allah maupun kita harus dipahami dalam arti “tidak berkenan” (Mzm 5:5-6) atau “tidak menyetujui” (Mzm 139:21-22). Kebencian kepada dosa juga harus dimengerti dalam arti yang sama. Kebencian Allah kepada Esau atau kebencian kita kepada keluarga harus dilihat dalam arti “kurang mengasihi X dibandingkan dengan Y”. Tafsiran ini didasarkan pada ayat paralel Lukas 14:26 yang ada di Matius 10:37 “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku”. Kejadian 29:30-31 juga menerangkan “kebencian Yakub” kepada Lea dalam arti Yakub lebih mencintai Rahel daripada Lea.
Jika prinsip ini kita terapkan pada kasus Iblis, kita memang harus membenci Iblis dalam arti kita tidak menyetujui kehendaknya. Kita bahkan harus melawan dia (Ef 6:12-13; Yak 4:7; 1 Pet 5:9). Seandainya kita tidak melawan dia pun, Iblis akan tetap menjadi musuh kita (Kis 13:10 “musuh segala kebenaran”) dan menghancurkan hidup kita (Yoh 8:44; 10:10).
Apakah dalam hal ini tidak berlaku prinsip “kasihilah musuhmu” (Mat 5:44)? Kita sebaiknya tidak mencomot suatu teks tanpa memperhatikan konteksnya. Perintah ini diajarkan dalam konteks relasi antar manusia (ayat 43 “Kasihilah sesamamu manusia”). Di samping itu, perintah untuk mengasihi sesama manusia malah bertentangan dengan tindakan mengasihi Iblis. Mengapa? Iblis berusaha untuk membinasakan semua manusia (Yoh 8:44). Kalau kita mengasihi sesama kita, kita harus melawan rencana Iblis tersebut.
Hal lain yang perlu kita pahami adalah kaitan antara mengasihi dan Iblis. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa mengasihi berarti selalu bersikap baik terhadap orang lain. Dalam kasih ada disiplin, hukuman, dan keadilan (Ibr 12:5-11). Selama semuanya itu ditujukan untuk membuat orang lain menjadi lebih baik, kita harus melakukannya. Dalam kasus Iblis, ia tidak mungkin menjadi lebih baik. Dia berdosa dari dalam dirinya sendiri. Dia dan pengikutnya tidak ditebus oleh Allah (Ibr 2:16). Jadi, membicarakan tentang “mengasihi” yang ditujukan pada Iblis merupakan sesuatu yang tidak relevan dan tidak diperlukan.